Loading…

Sangat… Sangat… Awam

Aku hanya merasa takut. Menjadi manusia pemberani memang menyenangkan. Mudah berbicara, mudah bergerak, mudah membangkang, mudah menyapa dan mudah berbuat dosa. Hidup terasa begitu menyenangkan…

Keyboard

Ada sebuah iklan di televisi! Iklan sekelompok anak berlomba balap perahu dayung. Kemudian, setelah selesai berlomba mereka semua bersama-sama munum sirup rasa stroberi dan melon. Enak sekali.

Aku tidak begitu yakin sedang menulis apa. Hanya sedang mencoba mengisi waktu luang yang begitu melimpah ruah yang tidak tahu harus kugunakan untuk apa. Jika semuanya dikalkulasikan, bisa dibilang sebenarnya semua ini sudah cukup untuk mengisi waktu pembuatan tiga lembar komik bebas. Bahkan lebih dari cukup.

Di latar cerita lain, dua ekor kucing dewasa terdengar mengaum dan berlari pontang-panting tertinting-tinting entah ke mana. Mungkin sekarang sedang musim kawin. Eh, tidak juga. Bukankah bagi mereka, setiap hari adalah musim kawin?
Di sini, di samping kanan ada sebuah meja tua. Cukup besar, jika dibandingkan dengan seekor semut. Tanpa alas dan tanpa vas bunga. Tempat makanan. Seekor kucing kecil putih belang hitam duduk di atas meja. Aku bisa melihatnya just the way he are. Seperti biasa: garuk-garuk pantat!
Dia duduk dengan adat seperti halnya makhluk berkebangsaan kucing pada umumnya, sembari memperhatikan ke luar jendela layaknya seorang tetangga dekat dengan rasa keingintahuannya.
Mungkin, sepasang kekasih di luar nikah (dalam sudut pandang dunia mereka) sedang bertengkar dengan begitu dahsyat.

Kudengar kabar bahwa yang barusan terjadi itu bukanlah huru-hara pertengkaran hubungan rumah tangga seekor kucing jantan dan betina seperti halnya dugaanku, melainkan pertengkaran seekor kucing jantan putih yang kini sedang dalam gendongan dan seekor kucing jantan besar berwarna jingga yang biasa mampir ke sini. Kedua-duanya adalah kucing jantan.

Jadi, kucing jantan bisa kawin dengan kucing jantan?

Plakkk!!!

Mungkin memang bukan rejeki. Hanya itu saja yang coba kupikirkan. Hampir saja Aku mendapatkan pekerjaan kesibukan kecil yang pastinya bisa menambah penghasilan tabungan misterius milikku sekaligus mengurangi frekuensi kalkulasi naskah-naskah virtual pemikiran liar-bernyawa-membahana-astaganaga-mahadahsyat-luar-binasa yang selama ini terus dan terus menghantui diriku. Aku takut jika kepalaku sampai meledak karena ide-ide ini tidak pernah tersalurkan. Namun sayangnya kesempatan itu hilang begitu saja. Hilang, terbawa batas waktu yang telah habis bertugas. Pulsa habis, itu artinya sama dengan kehilangan modal.

“Halo, Ibu sudah sampai di mana?”
“Oh, ini… sudah sampai di… sudah hampir sampai Purworejo. Nanti kamu jemputnya kapan?”
“Ya nanti Ibu SMS kalau sudah hampir sampai…”
“Lah, terus kalau nanti pas sudah sampai kamu belum datang bagaimana? Masalahnya ibu nggak bawa uang (untuk membayar angkot) …”
“Ya, SMS harus nanti pokoknya harus SM…”
“Ya! Ya! Ya. Nanti tak SMS terus-terusan. Halo?”

Pembatalan rejeki yang kualami terjadi pada hari-hari menjelang kepulangan ibuku dari Semarang. Suara-suara berisik barusan adalah suara kakakku bersama ibuku, dengan bahasa yang sudah kuterjemahkan berdasarkan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia - Ngapak Banyumas 2000.000.000.000 (Dua Trilyun). Aku di sebelah sini, sesaat duduk sesaat jongkok seperti orang ambeyen, menyampingi televisi, sedang menulis jurnal secara offline.

Luar biasa sebenarnya, menyadari bahwa ibuku bisa pergi dan pulang tanpa bermodalkan uang banyak. Mungkin memang sudah rezeki. Begitulah, rezeki kita dibatalkan untuk memenuhi rezeki-rezeki yang lain. Ambil hikmahnya saja, pasti ada kabar baik menanti kita setelah ini *wink*

Sok sompret. Bergaya bicara seperti profesor tapi masih tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan penghasilan dengan benar untuk menghidupi diri haha… Awam dan dilematis. Meskipun… kedua orangtuaku bisa dibilang masih mampu dalam hal membiayai urusan makan dan minum untukku, namun tetap saja, dalam lubuk hatiku yang paling dalam ini (cieee…), tentunya masih ada rasa ataupun keinginan untuk bisa membiayai hidup sendiri. Hidup, berinteraksi dan berlaku sesuai kehendak sendiri, bukan karena orang-orang ke tiga. Bagiku hal itu masih menjadi impian. Bekerja, bergaul dan bertanggung jawab, sekaligus menanggungjawabi orang lain. Jujur, Aku tidak pernah merasakan masa-masa seperti itu secara sempurna.
Aku tidak pernah menyesali apa yang sudah tejadi sekarang, karena Aku sadar bahwa apa yang telah terjadi selama ini sama sekali tidak aneh, dan terbilang cukup adil. Hanya saja, Aku tidak pernah habis-habisnya berpikir tentang bagaimana cara mereka, orang-orang dengan sudut pandang pengabdian ilmu secara open-source dan gratis bisa menghidupi diri mereka. Dengan donasi? Apakah dengan mengandalkan donasi saja sudah cukup? Dan lagipula, kupikir menghidupi diri dengan donasi yang berasal dari orang lain justru akan membuat sesuatu menjadi tampak sedikit kotor. Tidak etis, hidup dengan uang dari hasil donasi. Ehhh???

Aku hanyalah seorang pria berusia 20 tahun. Memangnya hal-hal ajaib apa yang akan terjadi?
Pepatah mengatakan, “Tak ada rotan kafilah berlalu”. Yang menjadi pertanyaan adalah: apa hubungannya?!

9 Agustus 2012

1 Komentar:

Top