Setengah Jadi
Sudah cukup. Ini hari baru, seharusnya akan ada perubahan dalam waktu dekat. Ini bukan permintaan, tapi niatan. Aku ingin mengubah sudut pandangku mengenai permainan ini dengan memulainya melalui menulis dalam keterbatasan. Tidak akan ada lagi keluhan. Hanya akan ada motivasi, harapan dan semangat hidup untuk bangkit dan bangkit lagi. Mulai sekarang, buku ini akan bersih dari hal-hal buruk yang biasa kutuliskan akhir-akhir ini. Penyesalan dan kepasrahan mungkin iya, tapi tidak untuk keluhan. Tidak lagi. Aku tidak akan mengeluh lagi.

Cerita ini berawal dari berbagai tanggapan orang-orang di kampungku yang beraneka ragam seperti biasanya. Semenjak dua tahun yang lalu, hari-hari besar yang kualami memang selalu diliputi dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pekerjaanku. Apakah Aku memang sudah setua itu ya? Beberapa orang mengaku merasa kagum dan mengira bahwa pekerjaanku merupakan sesuatu yang bisa menghasilkan uang berlimpah. Saat itu Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, karena meski kukatakan hal sesungguhnya bahwa penghasilanku selama ini sangat kecil, namun agaknya mereka kurang begitu percaya. Sementara beberapa orang yang lebih mengerti tentang profesi mengaku merasa khawatir dan tampak sedikit meremehkan pekerjaanku. Sebagian besar dari mereka mempertanyakan tentang mengapa Aku tidak merantau saja ke Jakarta, mencari uang di PT, karena beberapa anak mereka dan anak-anak tetangga mereka telah terbukti berhasil menjadi “orang kaya”.
Ah, Aku tidak tertarik. Baik anak-anak kalian maupun anak-anak tetangga kalian semua itu tidak ada sangkut-pautnya denganku. Aku ini bukan anak kalian dan bukan pula anak-anak tetangga kalian. Seleksi, training, gaji besar, binar-binar dunia perkotaan, semua itu kurasa tidak sepenuhnya bisa membuatku tergugah. Aku ini bukan tipe orang yang suka berkompetisi. Berbondong-bondong dan berkumpul dalam sebuah lapangan luas dengan baju-baju kami yang sama, semata-mata untuk mencari perbedaan setelah susah payah kami memakai celana hitam dan kemeja putih yang senada seperti ini. Semuanya sudah pernah kualami dulu. Anehnya, bukannya perasaan gembira dan semangat berkompetisi yang kurasakan saat itu, tapi justru perasaan-perasaan terdiskriminasi dan terpojok dari peserta-peserta lain. Aku merasa mereka semua seperti sudah menjadi musuhku saja.
Aroma karbol, bangku besi, paru-paru membeku, dinginnya AC dan hamparan meja kantin yang berminyak. Aku masih ingat dengan jelas suasana waktu itu. Harusnya kalian semua mengerti tentang keadaanku, bahwa Aku masih kesulitan melupakan masa laluku. Jadi kuharap, jangan lagi-lagi kalian mencoba untuk membujukku pergi ke sana. Aku sedah lelah. Tidak begitu banyak cerita-cerita tentang keberadaanku di kota, karena memang sangat sulit bagiku untuk menceritakan hal-hal rumit dalam tulisan. Aku ini anak visual. Aku bisa menggambarkan dengan dengan tegas akan suasana, lokasi dan waktu kejadian dalam benak, namun Aku tidak bisa mengungkapkannya. Dan yang terburuk, Aku tidak bisa melupakan semua itu.
Meski Aku telah berada di tempat yang berbeda hari ini, namun mata, hati dan pikiranku tidak akan pernah bisa tertipu. Aku masih bisa berpindah-pindah dimensi dari tempat satu ke tempat lainnya. Seperti indera ke enam, hanya saja levelnya lebih rendah. Jauh lebih rendah, namun sudah cukup bagiku untuk merasa terganggu.
Komentar-komentar positif maupun negatif selalu menjadi hal yang terlalu mudah untuk diserap. Namun memilih elemen-elemen tersebut sebagai pengabdian dan pedoman hidup tidaklah semudah seperti apa yang Aku dan kamu bayangkan. Kita ini adalah orang-orang yang sangat mudah terpengaruh, kita sadari itu. Dan kenyataannya, yang terpenting, tersulit dan terrumit saat ini adalah tentang bagaimana cara kita memilih komentar-komentar yang dapat membangun diri kembali, membentuk kepribadian kita yang baru setengah jadi.
1 September 2011
0 Komentar