Yang Mana yang Penjahat
Jika ditanya soal hal apa yang paling membuatku penasaran tentang hidup, maka salah satunya adalah wanita, namun ada juga satu hal lain, yang tidak kalah membuatku penasaran selama ini yaitu mengenai bagaimana sebenarnya latar belakang kehidupan orang-orang jahat. Di sini Aku membicarakan tentang kepribadian majikanku. Tapi bukan berarti Aku menganggap majikanku itu jahat. Orang-orang di sini yang bilang begitu. Dan karena dasar-dasar itulah yang justru semakin membuatku ingin tahu tentang apa yang sebenarnya membuat mereka tampak jahat, kenapa mereka begitu tak peduli dengan desas-desus kami di belakang mereka dan kenapa penampilan kejahatan-kejahatan mereka justru tampak canggung bagiku. Ada sesuatu yang aneh di sini. Dan Aku benar-benar ingin membongkar semuanya.

Jujur saja, Aku ini orangnya tidak suka membicarakan soal aib. Ketika orang lain begitu antusias membicarakan aib-aib orang jahat, yang bisa kulakukan hanya mendengarkan saja. Namun mendengarkan bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Setiap kali kudengarkan cerita tentang betapa jahatnya mereka, semakin penasaran hati ini untuk mengetahui tentang latar belakang kehidupan mereka. Karena Aku percaya bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Setiap orang baik mempunyai alasan tersendiri untuk mempertahankan sikap mereka, dan setiap orang jahat juga pasti mempunyai alasan mereka sendiri. Manusia bukan malaikat, namun juga bukan iblis. Yang jelas, betapapun menyebalkannya sikap mereka padaku, itu tidak menunjukkan bahwa mereka sepenuhnya jahat. Ada satu hal baru, yang membuatku sedikit lebih mengerti tentang kepribadian mereka.
“Fik, kalau kamu habis subuh kamu tidur lagi aja… biar besok malemnya pas ngurusin kerudung jadi nggak ngantuk lagi.”
Untuk pertama kalinya kudengar Pakde mengucapkan sesuatu yang manusiawi. Dan jika kupikir-pikir lagi, mereka memang tidak pernah tampak sejahat yang orang-orang katakan. Meskipun… melembur kerudung sampai larut malam begini memang cukup membuatku jenuh. Tapi justru pada saat-saat beginilah, ketika sepasang majikan kami bergabung bersama karyawan di malam hari, membuat hubungan antara majikan dan karyawan menjadi lebih dekat. Seringkali kudengar mereka membicarakan tentang rencana perekrutan karyawan baru, masalah Rozak, masalah perkembangan bisnis dan beberapa tentang hubungan antara Pakde dan kawan-kawannya di DPRD.
Pakde pernah berkata begini, “Weleh-weleh… tidur di hotel semalam bayar 600.000, pisang goreng 400.000, kopi 40.000.”
Untuk tahun 2011, nilai mata uang per seribu rupiah terhadap butiran permen dapat disetarakan sebagai sepuluh butir permen.
“Kopi secangkir harganya 40.000, Fik. Mahal banget, ya!” Pakde bergumam padaku. “Daripada beli kopi harganya sampe 40.000, mendingan minta bikinin saja sama si Ras. Gratis!”
Mbak Ras cuma senyum-senyum saja di sebelahku. Ras adalah seorang pengurus anak di sini. Namun karena tempat ini sedang kekurangan karyawan, terkadang dia juga jadi ikut masak di dapur, mencuci baju dan melembur kerudung di sini.
Sebenarnya pekerjaan melembur kerudung sangatlah sederhana. Kami hanya melakukan proses membungkus, mengganti dan memasang label harga baru pada tiap-tiap lembar kerudung. Namun karena jumlahnya yang begitu banyak dan karena sisa-sisa pekerjaan siang tadi yang telah membuat kami sangat kelelahan tentunya membuat kami tidak betah melakukan ini setiap malam. Masih mending kalau dapat gaji tambahan. Lah, ini?
“Lembur kerudung? Lembur kerudung apa? Dapet uang lembur juga kagak. Kalau ini mah namanya bukan lembur, tapi kerja bakti!” Aku masih teringat tentang ocehan Sunardi padaku ketika kami sedang makan malam di dapur. Nardi bilang apa yang selama ini kita lakukan pada setiap malam bukannya melembur, melainkan hanya kerja bakti membantu majikan.
Hmmm… setelah kupikir-pikir, ada benernya juga tuh! Hehe…
Bagaimana tidak. Bekerja seharian di toko yang dipenuhi dengan beban berat dari jam tujuh pagi sampai jam delapan malam, terus langsung bekerja bakti membantu majikan. Kebetulan di sini baru beberapa minggu dibangun sebuah ruangan terpisah khusus untuk mengurusi kerudung. Mungkin itulah sebabnya, karena telah berhasil membangun ruangan baru, membuat Pakde dan Bude jadi tambah bersemangat lagi dalam bekerja. Kadang-kadang bisa sampai jam sebelas malam! Lah, kapan istirahatnya?
Mereka tidak peka terhadap karyawan. Itulah intinya. Mereka tidak menyadari bahwa karyawan-karyawan di sini sebenarnya sudah capek bekerja seharian. Meskipun di sisi lain, Aku juga harus tetap memberikan penghargaan kepada mereka karena mereka juga mau ikut berbaur bersama kami untuk bekerja semalaman. Dan berkat seringnya kami berbaur bersama majikan, hal positifnya adalah membuat Aku dan Ras menjadi lebih diperhatikan daripada yang lain. Mereka sudah mulai jarang mengomeli kami lagi seperti dulu. Meskipun permintaan mereka tetap saja aneh-aneh. Mereka itu orangnya suka membeli makanan, tapi tidak suka makan. Dimulai dari Pakde, Bude sampai ke anak-anak mereka. Mereka semua hobinya cuma membeli makanan.
Terkadang Aku tidak habis pikir ketika seorang anak lelaki terbesar mereka (kita sebut saja Ade) menyuruhku untuk membeli segelas es teh. Saat itu pemilik warung es teh di sini sempat bertanya padaku, “Beli es teh buat siapa, Mas?”
“Itu, buat anak juragan”, kataku.
“Lah, kok? Emangnya majikanmu nggak punya lemari es?”
“Ya, gimana ya, Mbak. Orang-orang di situ emang permintaannya aneh-aneh. Sukanya nyari yang nggak ada.”
Selain itu, kebiasaan mereka menyuruh kami untuk membeli jajan telah membuktikan pernyataan Rozak padaku, bahwa mereka itu orangnya penakut. Mereka tidak percaya diri untuk membeli jajan sendiri dan berbicara dengan tetangga. Kalaupun mau mengobrol, paling-paling sama konsumen atau teman-teman yang statusnya setara dengan mereka. Setelah kulihat-lihat, mereka memang tampak minder jika sedang berbicara dengan tetangga mereka di pinggir jalan, meskipun status tetangga mereka jauh lebih rendah. Seolah ada perasaan iri tertentu yang sangat mendalam dalam diri mereka terhadap tetangga di sekitar mereka yang biasa-biasa saja. Benarkah mereka tidak merasakan kebahagiaan dari apa yang mereka dapatkan? Benarkah mereka menyesal karena telah menjadi orang kaya?
“Iya, nggak apa-apa. Kalau habis subuh kamu tidur lagi saja. Terus jam enam pagi nanti bangun lagi”, Bude melanjutkan.
“Lah, terus burungnya gimana?” tanyaku.
Mereka malah tertawa, “Nggak usah mikirin burung… burungnya biar mas Rozak saja yang ngurusin.”
Mereka mempunyai seekor burung beo di samping rumah. Biasanya Aku, Sunardi dan Rozak yang mengurusnya. Dimulai dari member makan sampai membersihkan sangkar. Dan karena pertanyaanku tentang burung beo itu, obrolan kami yang tadinya membicarakan seputar masalah Rozak dan istrinya kini malah jadi beralih topik ke burung beo.
“Iya, pantesan tuh burung beo dijual. Mungkin gara-gara burungnya udah nggak bisa ngomong”, Bude tampak kesal karena telah membiarkan Pakde membeli burung itu, meskipun tetap saja tampak santai.
“Sebenarnya aku udah punya rencana buat beli rekaman yang bisa ngomong assalamu’alaikum atau apa lah. Biar burungnya jadi bias ngomong”, kata Pakde sembari duduk santai menghisap rokok di ambang pintu. “Kamu kalo ngasih makan sambil ngajarin ngomong dong, Fik. Biar burungnya jadi bisa ngomong.”
Aku cuma geleng-geleng kepala.
“Alah, Topik… bisanya cuma geleng-geleng kepala”, Pakde tertawa.
Hari benar-benar sudah larut malam saat itu. Namun tak ada sedikitpun perasaan gundah dalam hatiku yang mengisyaratkan bahwa mereka adalah sepasang penjahat. Mereka itu bukan orang jahat. Aku percaya itu. Karena satu-satunya masalah mereka adalah tentang kepercayaan diri dan kepekaan. Itulah yang selama ini telah membuat mereka menjadi tampak temperamental dan diskriminatif. Mereka cuma memiliki kesulitan di dalam memahami keadaan kami. Karena mereka tidak peka terhadap karyawan. Namun satu hal yang terpenting adalah, mereka masih tetap menyayangi anak-anak mereka dan mendidik mereka dengan baik. Mereka akan memuji jika anak mereka melakukan hal baik, dan akan menegur jika anak mereka melakukan hal buruk. Sama seperti orangtua pada umumnya. Sama seperti orangtuaku.
***
Keesokan paginya Aku langsung bangun kesiangan. Wah, saat itu Aku langsung bergegas menyapu dan mengurus burung beo yang sampai sekarang hanya bisa mengucapkan nama anak perempuan ke tiga majikan kami. Kita sebut saja Amelia.
“A… Aaa… Amelia. Amelia…”
Dan meskipun Pakde dan Bude sudah mengizinkanku untuk tidak mengurus burung beo, bukan berarti Aku jadi bisa bebas bermalas-malasan di sini. Seperti yang kita tahu, majikan di sini mudah emosi, tapi juga mudah ramah. Itulah yang membuat kami, anak-anak rajin akan terus bekerja dengan baik dan terus memupuk semangat hidup seabadi mungkin. Sampai hari ini. Sampai detik ini.
Nikmati saja kehidupanmu kali ini, Fik. Dan jangan mudah tersinggung. Karena apa yang dikatakan majikanmu itu sebenarnya tidak selamanya serius, mereka cuma sedang emosi. Hingga hari ini, harusnya kamu bisa menyadari bahwa kamu telah mengalami perkembangan mental yang luar biasa. Sekarang kamu sudah bukan anak cengeng lagi. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai saat itu tiba, kita akan berjalan bersama di jalur yang sama. Kita tunggu saja, dan tetap optimis pada masa depanmu. Seperti kata pepatah, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kalau belum lewat lima menit, artinya masih bisa dimakan.”
8 April 2011
0 Komentar