Tidak Akan Pernah Semewah Itu
Kembali ke alam nyata. Saat itu tiga orang datang mengunjungi Koperasi Unit Desa tempatku bekerja. Kebetulan sekitar satu minggu yang lalu memang datang seorang petugas lapangan (tampaknya begitu) yang menanyai kami tentang apa dan bagaimana keadaan pusat layanan internet kecamatan ini. Sesaat dia bicara dan sesaat lagi memotret. Aku tidak begitu yakin apakah saat itu Aku menjawabnya dengan benar atau tidak. Pak Mahmud yang lebih banyak bicara disamping kekurangan gerakannya itu.
Kami mendapatkan sebuah papan nama keterangan dibukanya sebuah pusat layanan internet kecamatan dan beberapa kelengkapan untuk mengganti barang-barang yang rusak.
Saat Anda membaca tulisan ini, kesannya memang tampak mewah bukan? Tapi kenyataannya tidak. Di sini sama sekali tidak mewah. Banyak masalah dan, yah… seperti biasa. Kebanyakan pegawai dalam bidang organisasi memang memiliki sebuah kekurangan, yaitu hilangnya respon alami di dalam memberikan bantuan kepada seseorang yang tampak membutuhkan bantuan. Seperti Aku. Mereka lebih suka mengurusi pekerjaannya masing-masing dan tidak peduli lagi dengan tanggung jawab orang lain. Mereka bilang, setiap pegawai memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri.
Aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin mereka bisa hidup dengan cara seperti itu. Berkali-kali kurasa Aku tidak pernah dianggap sebagai seseorang yang membutuhkan bantuan. Perasaan tidak acuh sangat kental di sini.
Hal ini sama persis seperti yang pernah dikatakan Rozak padaku, “Dunia bekerja itu ada dua macam: Seorang pegawai yang bisa hidup rukun dengan pegawai yang lain namun tidak rukun dengan atasan, dan seorang pegawai yang bisa hidup rukun dengan atasannya namun tidak rukun dengan pegawai/teman-teman kerjanya.”
Kali ini Aku merasakan kenyataan yang ke dua. Ya, Aku benar-benar telah merasakan kedua jenis dunia bekerja itu. Hidup rukun dengan pegawai namun tidak dengan atasan, dan hidup rukun dengan atasan namun tidak dengan pegawai. Meski harus kutekankan juga di sini: Kurasa, saat ini Aku juga tidak hidup rukun dengan atasanku. Aneh, kurasa dunia bekerja tidak hanya dua macam saja, tapi juga tiga macam bahkan mungkin lebih. Saat-saat seperti ini yang selalu kualami setiap hari terkadang membuatku merasa rindu akan sekolah. Meskipun sekolah ternyata juga memiliki berbagai lapisan seperti halnya pekerjaan. Yang jelas, dunia ini tidak akan pernah bisa diteorikan olehku yang baru sekitar 19 tahun hidup di sini dengan jangkauan pengalaman yang sangat terbatas.
Kabar baiknya, Aku masih tetap bertahan di sini. Aku memiliki alasan tersendiri untuk itu. Ini berhubungan dengan semacam luka psikis. Ya, tidak salah lagi. Namun saat ini Aku belum ingin membicarakannya. Ibuku sudah tahu tentang kelainanku ini saat itu, meski mungkin dia sudah melupakannya karena masalah ini tidak begitu penting.
Tidak ada kerukunan sejauh 6 bulan Aku bekerja. Luar biasa! 6 bulan! Aku bisa bertahan selama 6 bulan dengan mentalku yang abnormal ini?!
Jawabannya ada satu. Karena Aku sudah bisa mematikan rasanya. Bertahun-tahun mengalami pengalaman-pengalaman yang aneh bin ajaib setiap harinya memang kuakui telah mengubah pola pikirku sedikit demi sedikit. Terkadang Aku bisa saja menjadi sesorang yang sangat jahat. Namun jiwa seni ini masih tetap mempertahankan diriku untuk berpikir secara logis dari segi hati.
Saat ini prinsipku cuma satu: “Aku adalah dunia dan pepohonan, sementara mereka adalah manusia yang mendiamiku.” Jika mereka berlaku baik padaku, maka Aku akan berlaku baik kepadanya, tapi jika mereka berlaku buruk padaku, maka Aku tidak akan melakukan kontak fisik apapun kepadanya. Aku hanya akan mengusirnya dari diriku. Dengan caraku.
Pernah mendengar tentang mempengaruhi mental orang lain? Aku tidak pernah. Tapi andaikan saja ada, Aku ingin sekali mempelajarinya. Karena kupikir, beberapa orang yang tidak kukehendaki kehadirannya setelah Aku mengenali keburukannya seringkali tampak sedikit takut padaku. Rasa kebencian yang sebenarnya tidak ingin kuhadirkan dalam diri ini ternyata cukup mempengaruhi mereka meskipun Aku tidak melakukan apa-apa. Bahkan sekedar bicara atau mengindikasikan bahasa tubuh penolakanpun tidak. Aku hanya melihatnya saja. Itu saja. Bukan dengan muka marah atau semacamnya, Aku sama sekali tidak memberikan ekspresi apapun.
Dari kenyataan tersebut sepertinya Aku telah menemukan sebuah teori psikologi baru, bahwa perasaan takut dan senang yang ditimbulkan dari kehadiran orang lain di hadapannya pada dasarnya berasal dari diri mereka sendiri. Saat mereka takut dengan diri mereka sendiri (berburuk sangka sejak awal), maka secara otomatis mereka akan merasa takut dengan orang-orang yang menjadi sasarannya. Meski kenyataannya rasa takut itu tidak selalu diwujudkan dengan jeritan atau tangisan. Marah juga termasuk dalam perasaan takut. Memang, membaca mereka tidak akan semudah membaca buku atau garis tangan, namun lama-lama kalian juga pasti akan terbiasa dengan auranya. Sesuatu yang bisa dirasakan namun tidak bisa diceritakan.
Kami hanya menatap papan keterangan itu yang disandarkan di depan kursi. Rasanya datar. Aku merasa tidak begitu yakin dengan rencana pemerintah ini. Dan mungkin pak Mahmud juga begitu. Aku tidak tahu, karena saat itu Aku hanya melihat punggungnya dari belakang.
Sore hari, seusai mempelajari “puisi-puisi” dalam dunia maya itu, Aku berdiri sejenak untuk melemaskan pinggang. Dan saat itu kusadari bahwa mungkin selama ini Aku memang tidak pernah bekerja untuk atasan atau untuk kalian semua. Aku bekerja untuk diriku sendiri. Aku tahu, ini adalah teori yang sangat salah dan tidak layak untuk ditiru dan diresapi, namun Aku terlalu panik untuk mengakui bahwa Aku adalah seorang pegawai di sini. Itu aneh, mengingat lebih dari sejuta orang di muka bumi ini tidak pernah merasa panik dengan itu, namun Aku sebaliknya. Apa ini semacam fobia baru?
Dulu Aku pernah mengatakan bahwa Aku akan lebih rajin bekerja di saat tidak ada atasan di hadapanku. Sementara orang lain mengatakan bahwa mereka justru lebih rajin bekerja di saat atasan mereka berada di hadapannya. Itu aneh, dan Rozak yang menerima pernyataanku saat itu juga mengatakan bahwa sudut pandangku itu adalah salah. Berkali-kali kupikirkan pernyataanku saat itu hingga kusadari bahwa kupikir selama ini Aku memang tidak pernah layak menjadi seorang pegawai. Berperilaku seenaknya sendiri hanya dengan mempertimbangkan teori-teori yang selalu kubuat sendiri.
Aku harus menjadi seorang wiraswasta. Bekerja di atas kaki sendiri. Seperti ayahku, meskipun hanya usaha kecil-kecilan dalam bidang elektronik yang telah ia geluti seumur hidupnya, dan kini semua itu telah menjadi semakin tua. Kurasa Aku harus menghadapi kenyataan bahwa Aku memang tidak mempunyai kemampuan menjadi seorang pegawai. Dan mau tidak mau Aku harus menjadi seorang wiraswasta suatu saat nanti, bukan karena Aku memiliki bakat menjadi seorang wiraswasta, namun karena kusadari bahwa Aku benar-benar tidak memiliki kemampuan lagi untuk menjadi seorang pegawai.
19 November 2011
Semua orang memiliki etos kerjanya masing2.
BalasHapusDan, cara pandangnya pun berbeda2, jadi tetap harus dihargai
Semoga sukses mas berwiraswastanya
@Zippy: Belum... masih lama. Saya baru 16 tahun. Lebih tepatnya 19 tahun *nah loh. Bingung?*
BalasHapusPengalaman memang tidak jarang menjadi sumber inspirasi, mas. Sehingga dapat menentukan langkah kita selanjutnya. Sebenarnya saya memiliki impian untuk jadi pegawai kembali (sebelumnya pernah bekerja di perusahaan swasta), namun karena lain hal terpaksa mengundurkan diri. Sekarang pemikirannya tinggal bagaimana menghidupi keluarga setelah berhenti bekerja? Yah, mau tidak mau dengan jalan wiraswasta walau kecil-kecilan (mengutip kata mas Hompimpa di atas). Mungkin Tuhan telah mengukir jalan bagi kita, tidaklah salah walau dengan rezeki seadanya tapi kita amini melalui banyak bersyukur.
BalasHapus@aris asmara: Saya sendiri sebenarnya sejak dulu merasa bahwa wiraswasta itu jauh lebih mantap dalam hal apapun dibandingkan dengan pegawai di bawah perintah.
BalasHapusbukannya bekerja tuk diri sendiri terdengar lebih menyenangkan..?!??! segala sesuatunya kita yang atur.. iya sih karena masih kerja sama orang.. hal seperti itu agak kurang masuk akal (ada yg namanya team work).. oleh karena itu... kenapa gak nyoba jd entrepreneur aja.. wirausaha sendiri gitu atau gimana ;( hmm...
BalasHapusBelajar Photoshop
@PS Holic: yah.. macem-macemlah yang bikin rumit.
BalasHapusBagus juga tuh pemikiran untuk berwiraswasta, bisa menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan org lain.. tp bro, semuanya itu ga mudah, mungkin kmu juga perlu mengumpulkan banyak pengalaman untuk bekerja bersama org lain dulu sebagai pegawai, pasti banyak sekali ilmu2 yg bisa diserap dan diactualisasikan saat dirimu sdh bisa memulai berwiraswata.
BalasHapusJd inget kata2nya pak Mario Teguh, "jadilah ikan kecil dlm kolam yang besar..(itu disaat kita masih muda dan belum punya pengalaman, agar kita bisa mencontoh perilaku ikan2 besar, bagaimana caranya agar kita bisa hidup nyaman dan sukses..) dan pada saatnya nanti, jadilah ikan besar dalam kolam yang kecil..(dimaksudkan, saat kita sudah mulai matang menyerap ilmu2 dari si ikan besar, maka dengan sendirinya akan siap untuk menjadi ikan besar dikolam kecil milik kita sendiri, dan memegang kendali atas semua yang ada disekeliling kita..)
Haduh.. banyak banget yah komengku... sok tahu nih..
Selama Kita masih bekerja untuk Orang lain.. maka Kita kan selalu merasa kurang berkembang... akan terasa lain halnya kalo KIta Berwiraswasta.. selain gak ada yang akan memerintah Kita.. juga bekerja lebih merasa Enjoy.. & lebih leluasa...
BalasHapusHweeehehe...
@Lina Marliana: Luar binasa jeng!
BalasHapusShare anyware,, itu yang Penting
BalasHapusMenurut saya ni ya, menjadi pegawai memang tidak pernah enak!
BalasHapusApa-apa tetep akan kembali pada atasan..
Coba kalau kita berani membuka usaha sendiri tentu lebih baik..
Saya setuju dengan pendapat sahabat yang ingin berwiraswasta, sukses ya!
jujur dan polos.. semakin penasaran nih..
BalasHapus