Rencana Eksekusi Terapi Level II
Blah. Judul apa lagi ini??? Aku tidak punya ide lagi.

Mencoba untuk berubah lebih cepat. Meski kurasa ini sudah keluar dari pola yang sudah lama kurancang. Sampai kupikir, kenapa tidak? Kita memiliki tubuh yang normal. Tangan dan kaki yang normal, yang bisa kita gunakan untuk berjalan dan bertindak, namun kita tidak pernah menggunakannya dengan benar. Yang menjadi masalah sejak dulu pada dasarnya hanyalah pola pikir kita masing-masing. Meski mungkin pada dasarnya pola pikir itu tidak merugikan banyak orang, tapi tanpa kita sadari hal itu telah merugikan diri kita sendiri.
Aku tidak pernah berpikir bahwa pemikiran ini menjadi masalah bagiku. Sama seperti yang kita rasakan selama ini. Tapi bagaimana jika anggapan kita itu salah? Kita merasa nyaman dengan itu, tapi bagaimana jika itu adalah kesalahan? Kemampuan kita dalam menciptakan toleransi terhadap diri sendiri terlalu besar, hingga keinginan kita untuk berubah tidak pernah terjadi secepat yang dunia nyata harapkan. Kita bilang, orang lain adalah sesuatu yang lain, mereka tidak ada dalam kategori pemikiran kita mengenai segala hal di sekitar kita.
Ketika mereka merasa bahwa dunia luar adalah tempat yang menyenangkan, kita malah berpikir bahwa dunia luar adalah pemicu terbesar sikap kewaspadaan. Selain rumah ini Aku sudah tidak punya tempat lagi. Rumah, atau dalam bahasa lain juga bisa disebut sebagai fisik seutuhnya.
Aku lebih sering menyembunyikan beberapa pendapat pribadi karena kutahu bahwa sekali saja kuungkapkan pendapatku mengenai sesuatu, mereka akan segera menganggapku sebagai seseorang yang cukup egois. Entah mereka memandangnya dari sebelah mana. Mungkin yang mereka maksudkan adalah blak-blakan. Bukan, bukan seperti itu. Kami pada dasarnya bisa dengan sangat mudah menerima pendapat atau cara kerja masing-masing individu di sekitar kami. Bahkan kami tahu bahwa setiap orang di sekeliling kami juga menyadari itu. Itulah kenapa kami bisa diterima dalam dunia kalian dengan cara yang sangat spesial, bukan karena kepopuleran atau karena kepintaran atau karena kekayaan atau bahkan karena kemiskinan kami, tapi karena kemampuan kami sebagai seorang penengah.
Kita selalu merasa memiliki alternatif lain yang kita rasa lebih baik. Pernah merasakan itu? Saat seseorang menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu atau ketika seseorang melakukan sesuatu di hadapanmu, dan saat itu kamu merasa bahwa apa yang mereka lakukan atau katakan masih ada yang kurang sedikit. Masih bisa dikembangkan!
Setidaknya kita sadar bahwa penolakan-penolakan itu hanya muncul beberapa kali dalam kurun waktu yang lama. Kita saja yang terlalu banyak memikirkan itu =\
Di dunia ini tidak ada yang namanya manusia dengan pendapat selalu benar dan selalu bisa diterima. Orang-orang benarpun lebih sering ditolak dibandingkan orang-orang yang tidak terlalu benar.
Kita bukanlah orang-orang yang memiliki niatan jahat terhadap sesama. Orang baik bukanlah orang yang selalu melakukan segalanya dengan benar, orang baik adalah orang-orang yang salah yang selalu memperbaiki kesalahannya.
***
Sudah beberapa kali Aku membaca buku-buku tentang psikologi perkembangan anak. Ibuku dan kakakku adalah sepasang guru Taman Kanak-Kanak sejati. Jadi wajar saja jika Aku bisa dengan mudah menemukan buku-buku semacam itu. Sekarang mereka semua hilang (bukunya).
Meski membuang-buang waktu, tapi Aku hanya mencoba mendalami diriku sendiri lebih lunak. Dimulai dari mencoba melihat diri sendiri melalui orang ke tiga. Saat membaca buku itu, Aku mengubah diriku sendiri menjadi orang ke tiga. Hal itu bisa juga dikatakan sebagai: Aku mencoba untuk menjadi seseorang di sebelahku. Mengubah statusku yang tadinya adalah seorang siswa yang sedang kesusahan mengerjakan soal ulangan harian menjadi seorang guru yang sedang memperhatikan diriku yang sedang kesusahan mengerjakan soal ulangan harian. Aku mencoba memperhatikan diriku sendiri menggunakan cara itu. Meski sulit untuk dimengerti, tapi semoga perlahan-lahan kalian bisa mengerti apa yang sedang kumuntahkan di sini.
Aku tidak tahu apakah kalian mempunyai satu pertanyaan hidup yang tidak pernah terjawab atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan sederhana, yang selalu teringat sepanjang masa. Aku punya satu pertanyaan yang tidak pernah terjawab, tapi kuharap dalam waktu dekat Aku bisa memutuskan jawabannya --Menggunakan versiku sendiri tentunya.
Lagipula, jawaban dari sebuah pertanyaan itu tidak selalu harus benar kan? Kadang kita bisa menggunakan cara kita sendiri untuk menjawab karena kita merasa bahwa memang tidak ada jawaban yang sepenuhnya benar. Sama seperti mata pelajaran. Meski kita dihadapkan oleh tiga buah mata pelajaran utama saat bersekolah, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tapi pada dasarnya ketiga jenis mata pelajaran itu hanya terdiri dari dua macam: Ilmu Pasti dan Bukan Ilmu Pasti (Aku lupa apa nama kategori mata pelajaran yang ke dua, jadi anggap saja mata pelajaran “Bukan Ilmu Pasti”).
Kita hanyalah orang-orang istimewa yang masih diliputi perasaan-perasaan takut, dan masih membutuhkan waktu untuk mengobati diri sendiri dengan cara yang khusus, yang hanya sesuai untuk masing-masing keistimewaan, karena hanya kita sendiri yang tahu caranya. Itulah yang menyebabkan kita tidak bisa berada dalam dunia nyata dengan cara yang umum. Sayangnya kita tidak pernah mau memberitahukan cara spesial itu agar kita bisa segera sembuh, karena kita tidak ingin orang lain tahu. Kita tidak ingin mereka melakukan sesuatu terhadap kita karena keinginan kita. Kita ingin orang-orang melakukan sesuatu karena mereka memang mau melakukan itu.
Dunia ini terlalu ajaib untuk kuabaikan dalam segi apapun. Di satu sisi Aku takut untuk ditinggalkan, dan di sisi lainnya lagi Aku takut untuk meninggalkan.
Taufik Nurrohman. Sebenarnya kamu itu anak kecil yang terjebak dalam cara berpikir orang dewasa, ataukah orang dewasa yang terjebak dalam fisik anak-anak?
26 Juli 2012
betul mas, jawaban dari sebuah pertanyaan tidak selalu harus benar, namanya juga manusia
BalasHapuspunya salah dan punya benar
Hapus