Menyerahlah

Suatu hari setelah kuliah skill lab, Saya mencolek tangan Tifani yang saat itu sedang duduk di sebelah meja berwarna putih dimana di atasnya terdapat beberapa bak instrumen berisi alat-alat untuk keperluan prosedur oksigenasi dan suction. Saya tanya ke dia, “Fan, habis ini kamu langsung pulang?”

“Iya. Kenapa memangnya?” Dia tanya.

“Temenin Aku sebentar. Aku mau cerita sesuatu.”

Obat sakit hati itu sangat adiktif. Ketika obat tersebut telah habis dan hilang efeknya, maka pada saat itu Saya akan butuh banyak bantuan untuk mencarinya lagi.

Ketika sakit hati Saya kambuh lagi, yang akan Saya lakukan adalah berusaha mencari orang-orang baru yang sekiranya bisa Saya ajak untuk curhat. Orang-orang tersebut, mereka semua adalah salah satu bentuk obat sakit hati yang cukup bermanfaat bagi Saya, namun masih belum dapat menyembuhkan. Efeknya hampir sama seperti ARV.

ARV dapat dikonsumsi oleh para penderita HIV sebagai salah satu usaha untuk mencegah perkembangan dari virus tersebut di dalam tubuh, yaitu dengan cara meningkatkan kekebalan tubuh si penderita. Namun hal tersebut tetap tidak akan bisa menyembuhkan penyakit AIDS itu sendiri. Akibatnya, kita perlu untuk mengonsumsi ARV sepanjang hidup, agar kita bisa menjalani hidup dengan normal seperti orang lain.

Hidup di bawah ketergantungan obat-obatan. Bagi Saya itu terasa seperti sedang menunjukkan kepada semua orang bahwa Saya itu lemah, bahwa Saya tidak bisa hidup tanpa obat, bahwa Saya tidak bisa mengandalkan diri sendiri untuk menangani diri sendiri. Hampir sama sebenarnya, dengan mereka para pecandu obat-obatan terlarang. Hanya bedanya, di sini obatnya tidak terlarang.

Menceritakan masalah-masalah Saya kepada orang-orang yang Saya percayai membuat Saya merasa lebih baik. Karena dengan cara itu, Saya merasa perlahan-lahan seperti berhasil mengumpulkan orang-orang yang dapat mendukung keyakinan Saya dan mengerti akan keadaan Saya. Akan tetapi, ada saat dimana Saya merasa khawatir kalau sampai nanti Saya jadi terlalu banyak melibatkan orang lain. Saya khawatir akan melibatkan terlalu banyak orang ke dalam permasalahan Saya, dan oleh karena itu Saya jadi makin ketergantungan.

1
Dari kiri ke kanan, lalu ke tengah: Rizki Adiarti Lestari, Dian Ramadhani, Dian Sulistyawati, Ade Wahyu Putri Efendi, Riza Umami dan Tifani Mauliza.
2
Tifani.
3
Sutikno, Tifani.
4
Rizki, Tifani.

Kalau dipikir-pikir lagi, Saya yang sudah sampai pada tahap acceptance ini seolah akan kembali lagi ke tahap bargainning setiap kali Saya berada bersama orang-orang yang Saya percayai. Kadang Saya berpikir: Kalau saja Saya pergi dari sini, mungkin masalah Saya akan teratasi. Kalau saja Saya berbeda kelas dengan dia, mungkin Saya akan baik-baik saja. Kalau saja dia berbeda kelas dengan dia, mungkin Saya akan merasa baik-baik saja meski dia atau dia berada satu kelas dengan Saya.

Pernah Saya katakan kepada Rian bahwa pada dasarnya Saya sudah bisa jatuh cinta lagi, akan tetapi selama Saya masih berada di tempat yang sama, semua itu akan percuma saja.

Kesimpulannya, Saya baru bisa dikatakan sudah sembuh secara total ketika Saya sudah tidak lagi berada di tempat ini.

Trauma

Orang-orang —bahkan dia dan teman-temannya— berpikir bahwa masalah yang sedang Saya alami adalah masalah yang sangat sepele. Hanya masalah penolakan cinta dan sudah, itu saja. Sayangnya, masalah ini sudah terlanjur berkembang menjadi trauma dibandingkan sekedar pengalaman buruk yang mudah untuk dilupakan.

Bahkan Saya sudah tidak sanggup menyebut namanya lagi.

Dan mungkin juga, salah satu penyebab Saya jadi sulit melupakannya adalah karena Saya menuliskannya. Itu adalah salah satu kesalahan yang tidak mungkin bisa Saya hindari, karena beginilah cara Saya dapat bertahan hidup. Tanpa menulis, mungkin hidup Saya sekarang sudah sangat berantakan.

Semua orang selama ini menganggap Saya telah membesar-besarkan masalah, akan tetapi mereka tidak memahami bahwa mental masing-masing orang itu juga berbeda-beda. Masa lalu orang juga berbeda-beda. Kamu tidak pernah memiliki pengalaman buruk karena telah dikucilkan oleh lingkungan di masa kecil, kamu tidak pernah memiliki pengalaman mendapatkan sebutan ‘anak payah’ dari orang-orang dewasa di masa kecil. Kamu tidak pernah memiliki pengalaman mengambil keputusan untuk turun dari panggung karena merasa tidak sanggup memainkan musik Ibu Kita Kartini sampai pada lirik “harum namanya” dengan piano di depan orang banyak, yang mana sepertinya itu telah membuat ibu Saya jadi kecewa dan ikut menanggung malu saat itu.

Lari

Saya sadar bahwa berjuang untuk menyerah itu jauh lebih sulit dibandingkan dengan berjuang untuk bangkit. Karena seluruh umat manusia di muka bumi ini banyak bicara soal bagaimana caranya untuk bangkit, bukan untuk menyerah. Ketika kamu berjuang untuk bangkit, maka pada saat itu seluruh dunia akan mendukung kamu, akan tetapi tidak ketika kamu berjuang untuk menyerah. Ketika kamu berusaha untuk menyerah, tidak akan ada seorang pun di dunia ini yang akan mendukung kamu. Kamu berjuang sendirian. Dan kamu tahu bahwa kamu akan gagal karena itu.

Sudah dua kali Saya mengungkapkan pendapat Saya mengenai cara menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara pergi dari tempat dimana klien tinggal saat itu dan pergi dari lingkungan dimana terdapat orang-orang yang telah menimbulkan trauma pada klien akan berhasil menyembuhkan trauma yang dialami oleh klien. Akan tetapi mereka sepakat bahwa itu tidak akan menyelesaikan masalah. Itu hanyalah sebuah usaha untuk lari dari masalah.

Tidak ada yang bersedia mendukung usaha Saya untuk menyerah.

Jadi, pada intinya mau tidak mau Saya harus tetap berada di tempat ini, dan untuk mengatasi trauma Saya, maka Saya perlu menggantungkan diri Saya kepada orang lain, menggantungkan diri Saya kepada obat-obatan. Memberikan pengakuan kepada semua orang bahwa Saya itu lemah, dan tidak bisa hidup tanpa mereka.

Saya belajar bahwa tidak ada yang namanya perbuatan baik tanpa pengharapan balasan. Wanita cenderung akan memberikan balas budi kepada seorang pria yang lebih terbuka untuk menunjukkan kebaikannya di depan matanya dibandingkan dengan pria yang menutup-nutupi kebaikannya. Tapi mau bagaimana lagi, Saya benar-benar tidak punya hak untuk melakukan hal-hal yang pria tersebut lakukan kepadanya. Mengucapkan salam, menanyakan kabar, menjemput pergi dan mengantar pulang, mengucapkan selamat ulang tahun…

Semua ini terasa percuma saja.

Tong Dao pernah berkata bahwa kebahagiaan akan selalu berada di atas penderitaan orang lain. Sekarang Saya tahu bagaimana rasanya. Cinta tanpa pamrih itu tidak ada. Ketika kamu jatuh cinta kepada seseorang, maka kamu juga pasti berharap orang tersebut akan mencintai kamu juga.

Gagal Menghindar

Kadang kita perlu menunjukkan kepada Tuhan bahwa kita juga bisa melakukan segalanya tanpa Dia. Bagi Saya, ini adalah salah satu bentuk pengabdian. Saya harus bisa menunjukkan kepada Tuhan bahwa Saya juga bisa menjadi orang yang mandiri. Saya ingin menunjukkan kepada Tuhan bahwa Saya bukan merupakan makhluk tidak berguna yang setiap hari hanya bisa berdoa dan mengeluh saja tanpa berusaha. Tapi entah mengapa, hari-hari berlalu dan rasanya makin sulit saja untuk mengakhiri semua ini.

Setiap hari Saya berusaha menghindari bertatapan mata dan mendengar suara-suara mereka, dan Saya tahu bahwa itu tidak akan mungkin. Dan kemudian Saya gagal. Saya berusaha menyibukkan diri dengan teman-teman organisasi untuk menghindari mereka dan Saya tahu bahwa itu tidak akan menyelesaikan masalah. Dan kemudian Saya gagal. Saya berusaha mencari alasan yang tepat untuk bisa keluar dari kampus ini dan Saya sadar bahwa Saya masih memiliki tanggung jawab kepada orangtua Saya sampai Saya lulus nanti. Dan kemudian Saya gagal. Saya berusaha meminta bantuan kepada bu Wina untuk pindah kelompok atau pindah kelas, dan Saya sadar bahwa itu akan rumit dan akan terlalu banyak melibatkan orang. Dan kemudian Saya gagal. Saya berusaha untuk jatuh cinta kepada orang lain dan Saya sadar bahwa Saya sedang berada di tempat dan waktu yang salah. Dan kemudian Saya gagal.

Andaikan kamu tahu bahwa semua yang telah Saya lakukan semenjak hari itu semata-mata merupakan usaha Saya untuk menyerah, dan Saya melakukan semuanya sendirian… apakah kamu mau untuk setidaknya sedikit lebih menghargai dan menjaga perasaan Saya?

Tanpa Saya sadari, mungkin perilaku Saya yang akhir-akhir ini jadi lebih berani menunjukkan buku harian ini kepada orang-orang juga merupakan salah satu usaha Saya untuk menyerah. Kadang Saya berpikir: apa yang akan terjadi andaikan Saya menunjukkan buku harian ini kepada dia?

Di satu sisi, Saya merasa bahwa apabila Saya menunjukkan buku harian ini kepada orang-orang yang terlibat dalam permasalahan Saya, maka itu sama artinya Saya sedang ikut campur dan berusaha merekayasa takdir Tuhan. Tapi di sisi yang satunya lagi, kadang Saya juga merasa perlu untuk menyelesaikan semuanya. Dan di sisi yang lainnya lagi, Saya merasa seperti sedang berusaha memperoleh belas kasihan saja dari mereka. Tapi di sisi yang lainnya lagi, Saya juga merasa kasihan kepada diri Saya sendiri ketika menyadari bahwa Saya tidak mendapat perlakuan seperti apa yang Saya harapkan.

Mengutip dari pernyataan Long (1996) mengenai definisi nyeri:

“Nyeri adalah perasaan tidak nyaman yang sangat subjektif, dan hanya orang yang mengalaminya saja yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut.”

Rasa empati yang nyata itu mustahil terjadi pada orang-orang tertentu, terutama pada orang-orang yang tidak pernah mengalami perasaan yang sama dengan kamu. Saya sungguh ingin menyarankan kamu untuk menyerah saja apabila memungkinkan, sebelum semuanya terlambat. Menyerahlah.

Menyerahlah, karena pada dasarnya tidak akan ada orang lain yang dapat merasakan apa yang sedang kamu rasakan. Menyerahlah, karena seluruh usaha dan pengorbanan yang telah kamu lakukan pada akhirnya hanya dapat membuat mereka jauh lebih bahagia dari kamu. Menyerahlah, karena betapa pun kamu berusaha, kamu tetap tidak akan bisa mendapatkan kebahagiaan yang sama melalui orang yang sama. Menyerahlah, karena mungkin, kamu memang akan lebih baik tanpa bangkit.

Di Seberang Jalan

Kembali kepada Tifani. Setelah skill lab selesai, Saya meminta dia untuk mengikuti Saya sekaligus juga untuk memisahkan diri dari dia dan teman-temannya. Kami berdua sempat duduk sebentar di kursi panjang di depan laboratorium. Kami menunggu. Dia tanya sebenarnya Saya mau cerita apa? Saya jawab, nanti Saya cerita kalau semua orang sudah keluar dari laboratorium.

Buttercup
Buttercup.

Beberapa minggu yang lalu Saya pernah menyebut dia mirip dengan salah satu tokoh kartun dalam film Powerpuff Girls, namanya Buttercup. Karena dari segi suara dan gaya hidup sehari-harinya memang Saya lihat sangat mirip. Sepertinya dia senang dengan sebutan itu.

Dia terlihat agak grogi, dan mungkin sempat terlintas dalam pikirannya bahwa Saya akan menembaknya. Tifani itu orangnya memang gampang baper.

Tidak, Saya tidak menembaknya. Dia sudah punya pacar.

Merasa awkward, akhirnya Tifani mengajak Saya untuk cerita sambil jalan saja, pulang memutar melewati sisi jalan raya terlebih dahulu ke arah kos dimana Tifani tinggal, sehingga itu akan membuat waktu perjalanan menjadi sedikit lebih panjang.

Beberapa langkah sebelum kami keluar dari gerbang kampus, Saya memulai pembicaraan: “Kamu nggak tau kan, kalau sebelumnya Aku udah pernah nembak cewek satu kelas?”

“Siapa Fik?” tanya dia penasaran.

Saya diam.

Dia sewot, “Ih, Tofik! Kamu lah gitu kalau ngomong suka setengah-setengah. Siapa Fik?!”

Suasana masih hening sampai kemudian Saya bilang, “Aku di—.”

“Apa Fik? Aku nggak denger!”

“Aku ditolak.”

“HAHAHAHAHAAA…”

Dia malah ketawa. Sepele sekali dia bilang, “Kalau udah ditolak ya udah lah Fik.”

Dia diem.

“Kamu nggak tau gimana ceritanya sih Fan…”

Berat sekali rasanya untuk mengucapkannya, bahkan Saya sempat berpikir kalau dia sebenarnya sudah tahu mengenai masalah ini. Sambil berjalan pulang, sampai keluar dari gerbang kampus, dia tanya sekali lagi, “Siapa Fik?”

Lalu dia mencoba menebak, “Dian?”

Saya jawab, “Bukan.”

“Dian Sulis?”

“Bukan.”

Deput?”

“Bukan.”

“Ani Sugiri?”

“Bukan.”

Kiki?”

“Bukan.”

“Riza?”

“Bukan.”

“Aduh, siapa sih? Fatimah?”

“Bukan.”

“Ika?”

“Bukan.”

“Yuli?”

“Bukan.”

“Yunissa?”

“Bukan.”

“Rizka Dera?”

“Bukan.”

“Cilla?”

“Bukan.”

“Amel?”

“Bukan.”

“Ih, siapa sih Fiiik??”

Hampir seluruh nama cewek satu kelas dia sebutkan. Tapi aneh, sekali pun Saya tidak mendengar dia menyebutkan nama Rifa. Semua nama orang yang dia sebutkan Saya tanggapi dengan jawaban “bukan” berkali-kali. Sembari menunggu dia menyebut namanya, sembari jalan. Saya menunggu dan menunggu. Dan ternyata memang tidak terlintas nama dia di dalam pikirannya. Sedikit pun. Sampai kemudian kami berdua sampai pada suatu titik di pinggir jalan raya. Saya mengarahkan jari telunjuk tangan Saya ke sebuah rumah kos berwarna hijau di seberang jalan.

Dia kaget.


Tifani, kalau kamu berhasil membaca tulisan ini, maka itu artinya Saya sudah berhasil memberi tahu kamu mengenai kebiasaan buruk Saya ini. Beberapa hari yang lalu Saya pernah bilang ke kamu kalau Saya ingin meminta pertolongan. Jika kamu bersedia, maka sepertinya kita perlu bicara. Karena Saya takut jika Saya sampai salah langkah karena ini. Tapi sebelum itu, ada dua hal penting yang ingin Saya tanyakan:

  1. Seberapa parahkah keadaan Saya menurut kamu, dilihat dari pernyataan Saya yang ingin memberi tahu keberadaan buku harian ini kepada mereka?
  2. Menurut kamu, seberapa besar risiko yang akan terjadi pada diri Saya, kamu dan mereka apabila semua ini pada akhirnya terbaca oleh mereka?

22 November 2015