Tak terasa sudah datang saja akhir Semester II. UAS kini sedang dilaksanakan, dan Saya masih sama saja. Santai, tidak ada rasa khawatir apa-apa. Tidak ada rasa memiliki tujuan atau target yang bagus tentang ini.

Saya sudah kenyang dengan dongeng-dongeng dari guru Saya mengenai prestasi, mengenai bagaimana orang-orang yang berprestasi dapat terjamin kesuksesannya di masa depan, dan sebagainya dan sebagainya. Sekarang Saya lebih banyak berpikir mengenai bagaimana caranya agar Saya bisa hidup bahagia saat ini. Saya ingin bisa hidup bahagia setiap hari.
55 hari berlalu sejak Saya ditolak oleh Rifa secara resmi. Akhir-akhir ini Saya jadi sering memperhatikan jam. Jam analog di tangan Saya, di mana saja. Detik-detik berganti. Saya pikir, dua tahun pasti akan segera berlalu…
Jum’at 8 Mei 2015, sekitar jam 8 malam. Itu adalah saat yang tidak mungkin bisa Saya lupakan. Di luar dari itu, sekarang Saya jadi makin dipusingkan oleh sulitnya mencari jalan keluar untuk menyelesaikan tulisan-tulisan ini secara damai. Saya tahu bahwa penderitaan yang Saya alami ini lebih besar, tapi Saya juga harus menunjukkan kepada kalian semua bahwa Saya terhormat dan sportif. Kelak, Saya harus bisa memperbaiki nama baik Rifa dan Habib. Serta nama baik Saya sendiri. Karena di sini Saya juga telah memperburuk kepribadian diri Saya sendiri di mata para pembaca.
Berbicara mengenai teori berduka dari Kübler Ross (1969), pada saat itu Saya sadar bahwa Saya sedang berada pada fase denial. Saya tidak percaya bahwa Rifa sudah ada yang punya. Bahkan Saya bisa menunjukkan beberapa bukti akan keraguan Saya kepada kalian jika kalian mau. Akan tetapi menjadi terlambat rasanya andaikan kalian meminta Saya untuk menunjukkan buktinya sekarang; setelah Saya selesai menuliskan cerita ini. Mungkin kalian hanya akan menganggap Saya sudah tidak waras. Depresi. Ya, bahkan Saya sendiri merasa begitu. Entah mengapa logika Saya yang seperti biasanya jadi tertutup gara-gara semua ini. Akhir-akhir ini Saya terlalu banyak menggunakan perasaan. Dan Saya lupa bahwa perasaan tidak memiliki logika. Selain itu, secara pribadi Saya juga menganggap kalau Patrick itu orangnya tidak bisa dipercaya perkataannya. Saya pikir, yang waktu itu dia katakan kepada kami mungkin hanya merupakan sebuah gurauan sesaat yang tidak penting.
Udara malam itu terasa dingin menusuk. Awan-awan mendung di langit mulai terbuka sedikit-sedikit dan mulai menampakkan beberapa bintik bintang. Suasana di sekeliling kampus tidak lagi terasa bersahabat. Saya mungkin bisa pingsan di sini karena kedinginan. Malam hari di kampus yang biasanya ramai oleh para mahasiswa yang sedang memanfaatkan fasilitas internet kini terasa sangat hening. Hanya beberapa orang satpam saja yang terlihat sesekali berjalan dan bersepeda melewati jalan setapak di hadapan Saya.
Saya sendirian di kampus. Duduk di kursi besi yang dingin, memegangi laptop kecil yang tidak menyala di pangkuan Saya supaya tidak tampak mencurigakan, menunggu kedatangan Rifa bersama Yunissa seorang diri setelah sebelumnya Saya mengirimi dia pesan:
Aku sudah di kampus. Aku tunggu kamu sampai jam 11. Kalau kamu tidak datang juga itu artinya kamu benar-benar tidak punya hati!
Teman
Sebelumnya di tempat kos, untuk terakhir kali Saya mencoba menghubungi Rifa setelah sekian lama dia tidak bisa lagi dihubungi. Di luar dugaan, kali ini pesan Saya sampai kepadanya:
Rifa,
Beberapa puluh detik jeda waktu yang terjadi sebelum mendapatkan balasan darinya sebenarnya sudah memberikan firasat yang tidak baik kepada Saya. Saya tahu bahwa dia sudah tidak mau lagi:
Dalem
Saya balas:
Masalah kita masih belum selesai.
Pada saat itu Saya pikir dia akan langsung paham dengan apa yang Saya maksudkan sebagai ‘masalah’ dalam pesan tersebut, sehingga Saya harap dia akan bersedia untuk sedikit membahas mengenai masalah besar Saya ini, karena saat itu Saya sudah merasa rela, mencoba untuk pasrah kepada hasil apapun yang akan Saya dapatkan. Saya harap saat itu Rifa juga merasakan hal yang sama, merasakan apa yang sedang Saya rasakan; mengenai ketidakberdayaan Saya. Tapi tahukah kamu apa yang kemudian dia katakan kepada Saya?
Masalah apa ya?
Ya Allah ya rabb… Saya sampai harus mengucap nama Tuhan berkali-kali saat itu. Yang Saya tidak habis pikir adalah, bagaimana mungkin dia bisa sampai memberikan tanggapan seperti itu?! Bagaimana mungkin semua yang telah terjadi bisa begitu saja dilupakan, diabaikan? Sulit sekali bagi Saya untuk mempercayai semua itu.
Sempat emosi, Saya mengirimi dia pesan lagi dan memberikan kritik kepadanya kalau dia itu orangnya tidak peka! Dia kemudian membalas pesan Saya dan memberikan penegasan kalau dia juga selama ini tahu kalau dirinya itu orangnya tidak peka, karena orang-orang di sekitarnya juga bilang begitu kepadanya. Saya juga berkata kepadanya kalau selama ini dia telah berkali-kali membuat hati Saya sakit, dan dia malah menanggapi Saya dengan kebingungan.
Sebelum Saya tahu dan melek dengan kenyataan bahwa Rifa sudah ada yang punya, sempat terbayang dalam angan-angan Saya bahwa apabila kelak Saya bisa berhasil menyatakan cinta Saya kepada Rifa dan kemudian dia menerimanya, maka yang ingin Saya lakukan pertama kali adalah, Saya ingin mengungkapkan kekhawatiran Saya mengenai seorang laki-laki yang akhir-akhir ini sering mendekatinya, yang entah bagaimana, begitu bodohnya, dan bisa-bisanya, Saya sampai tidak terpikir sedikit pun, kalau ternyata laki-laki yang Saya waspadai tersebut adalah pacarnya. Sebelumnya Saya telah membuat rencana untuk memberikan nasihat semacam ini kepada Rifa: “Rifa, Aku nggak suka kalau kamu deket-deket sama Habib. Kalau kamu masih saja dideketin sama dia, aku minta tolong sama kamu supaya kamu tegas, bilang sama dia kalau kamu itu sudah ada yang punya… supaya kamu nanti tidak dideketin lagi sama dia…”
Namun keadaan malah berbalik kepada Saya.
Pesan-pesan yang Saya kirimkan kepada Rifa makin lama makin tidak bermakna. Saya terbawa emosi. Dia menginginkan Saya untuk memperjelas semuanya. Dia meminta Saya untuk menuntaskan apa yang sebenarnya ingin Saya ungkapkan kepadanya selama ini. Berkali-kali Saya bilang tidak bisa dan tidak sanggup. Saya tidak bisa mengungkapkan perasaan Saya melalui ponsel. Bagi Saya itu sangat tidak gentle dan pengecut! Hingga sampai pada keinginan Saya untuk bertemu dengan dia malam itu juga, sendirian, berdua saja. Dia tanya, “Ngapain Fik?” Saya jawab kalau Saya ingin bercerita, Saya ingin menceritakan semuanya kepada Rifa, untuk sekali ini saja Saya memohon kepada Rifa agar kita bisa bertemu sekarang, berdua saja. Tapi kemudian dia membalas, “Maaf Fik… aku nggak bisa kalau sendirian.” Saya tanya, “Kenapa?” Saya langsung bersiap-siap untuk menjemput dia, karena mungkin dia takut kalau harus keluar malam-malam sendirian. Dia membalas, “Kamu tau kan posisi aku sekarang gimana?” Saya terhenti sesaat dan bertanya lagi, “Maksudnya?”
“Aku sudah ada yang punya Fik. Sekarang aku sudah sama Habib, aku nggak bisa kalau harus keluar berdua sendirian sama kamu.”
Saya syok. Seperti mau pingsan. Ingin rasanya teriak sekeras-kerasnya tapi tidak bisa. Suara Saya tidak keluar. Sempat terbesit keinginan untuk bunuh diri juga saat itu tapi kenapa? Kenapa Saya harus bunuh diri?! Dengan apa Saya bisa bunuh diri di sini?! Saya mengusap-usap muka Saya, mengacak-acak rambut Saya. Ingin sekali rasanya menangis tapi air mata tidak mau keluar. Semuanya terjadi di dalam ruang yang tertutup. Di kamar kos Saya. Tidak akan ada orang yang tahu. Tidak akan ada orang yang bisa merasakan penderitaan Saya. Tidak akan ada orang yang bisa mendengar kesedihan Saya, tangisan Saya. Saat itu, untuk pertama kalinya Saya benar-benar merasa sendirian. Sangat kesepian. Tidak ada teman. Tidak ada keluarga. Tidak ada Tuhan.
Dia telah merusak martabat Saya sebagai seorang laki-laki menjadi jatuh ke posisi yang serendah-rendahnya. Harga diri Saya serasa diinjak-injak. Perasaan Saya serasa dipermainkan, tidak dihargai. Dia telah memberi Saya pengalaman yang sangat pahit; mengungkapkan rasa cinta kepada seseorang yang telah memiliki kekasih. Itu adalah hal yang paling rendah yang tidak seharusnya dilakukan oleh laki-laki kepada wanita. Jika harga diri wanita menjadi sangat rendah setelah dirinya diperkosa, maka seperti inikah cara wanita memperkosa laki-laki?
Saya makin tidak terkendali. Berkali-kali Saya tanya dan protes ke dia, “Kenapa kamu nggak bisa nunggu aku Fa? Padahal kan dulu aku pernah minta kamu buat nunggu?!” Dia jawab, “Loh, emang dulu aku jawab apa Fik?”
Saya terdiam dan berpikir. Baru tersadar sekarang, bahwa mungkin sejak dulu Saya sudah buta. Terlalu percaya diri bahwa Saya akan diterima oleh Rifa. Saya tanya ke dia, “Kenapa kamu nggak dari dulu bilang ke aku kalau kamu udah jadian sama Habib? Sekarang aku jadi begini Fa… Aku udah remuk!!” Dia jawab, “Kan kamu nggak pernah tanya ke aku Fik.”
“Terus aku harus gimana Fa? Sekarang aku udah nggak ada harganya lagi… aku udah remuk!!!”
Selang beberapa detik dia membalas, “Lebih baik kita temenan aja.”
Mimpi
Saya terdiam, berhenti bernapas. Mencoba menutup mata dan berharap kalau semua ini cuma mimpi.
Dia mengirim pesan lagi:
Kalau kamu mau tau alasannya, nanti kita ketemu di kampus. Tapi maaf, aku harus bawa temen.
Pada akhirnya Saya bertemu dengan Rifa dan Yunissa di kampus malam itu. Pertama kali Saya tanya ke Rifa soal bagaimana kabarnya, tapi suara Saya tidak keluar. Hanya itu saja yang berhasil Saya katakan. Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Dalam hati ini sebenarnya rasa sudah sangat emosi, tapi mengeluarkan emosi di sini pasti akan sangat melelahkan dan percuma. Saya bahkan merasa malas, karena Saya tahu bahwa betapapun Saya mengungkapkan kemarahan Saya kepada Rifa, hasil akhirnya tetap tidak akan berubah. Ini adalah takdir.
Kami bertiga terdiam cukup lama tanpa kata-kata. Mungkin sekitar 15 menit. Saya duduk di sisi kursi sebelah paling kiri tangan Saya, dan Rifa duduk di sisi kanan Saya, berjarak antara satu sampai dua pinggul orang dewasa. Yunissa duduk bersandar di tiang membelakangi kami berdua, berpura-pura asik bermain ponsel.
Saya mulai menceritakan semuanya, menceritakan tentang rencana-rencana Saya untuk Rifa, tentang keterbatasan Saya, penderitaan Saya, perasaan Saya kepada Rifa, semuanya. Saya benar-benar merasa sudah tidak ada harganya lagi saat itu. Beberapa kali dia memotong pembicaraan Saya. Mungkin saat itu dia merasa eneg, takut. Saya sadari itu. Saya sadar bahwa saat itu Saya sedang bercerita dengan emosi. Saya tidak sedang mengungkapkan perasaan Saya kepada Rifa, sebaliknya, Saya sedang mengintimidasi Rifa supaya dia menyesal, supaya dia takut lalu menyerah dan pada akhirnya memutuskan untuk memilih Saya. Saya harap Saya bisa tampak lebih mengerikan dari Habib. Saya benar-benar sudah tidak waras.
Tidak waras, karena bagaimana mungkin Saya bisa sampai harus menceritakan soal kesedihan Saya ke Rifa? Untuk apa Saya menceritakan semua itu kepadanya? Untuk mengharapkan belas kasihan darinya? Taufik, kamu tidak akan mungkin bisa bahagia dengan cinta atas dasar perasaan kasihan seperti itu…!!!
Saya yakin kalau ada orang lain yang mendengar cerita Saya saat itu secara langsung, orang tersebut juga pasti akan merasa takut. Andaikan Saya bisa melihat diri Saya sendiri saat itu, melihat ekspresi wajah Saya, melihat raut muka sedih Saya, Saya pasti sudah mengambil pisau atau gunting dari laboratorium untuk menusuk diri Saya sendiri karena merasa jijik!
Berkali-kali Saya bertanya tentang hal-hal pribadi ke dia, mengulangi pertanyaan yang sama sampai dia mau menjawab; soal mengapa dia tidak memilih Saya, mengapa dia membenci Saya, apa yang dia suka dari pacarnya dan sebagainya. Dia tidak banyak menjawab. Sepertinya dia ketakutan. Tapi pada intinya dia bilang kalau dia tidak pernah membenci Saya. Selama ini dia hanya menganggap Saya sebagai teman biasa, tidak lebih. Saya tanya ke dia tentang bagaimana solusi untuk Saya saat itu yang telah benar-benar berada dalam keadaan remuk dan sakit hati. Saya harus bagaimana? Jawab dia: dia ingin agar Saya membuang perasaan Saya kepadanya.
Sedikit pun dia tidak menerima perasaan Saya. Saya dibuang.
Kembali lagi Saya memberikan banyak pertanyaan kepadanya yang sebenarnya sudah jelas-jelas telah dia jawab sebelumnya. Sampai kemudian mungkin dia telah mencapai pada titik jenuh dan tidak mau lagi mendengarkan semua omong kosong Saya, dia memotong perkataan Saya, “Sudah?! Masalah kita sudah selesai kan?!” Pada saat itu Saya sadar bahwa semuanya telah berakhir. Tidak ada lagi kesempatan bagi Saya untuk mengharapkan dia. Sekarang dia telah membenci Saya.
Dia beranjak dari tempat duduknya dan sempat mengucapkan beberapa permintaan maaf kepada Saya dengan datar, “Maaf karena aku sudah bikin kamu sakit hati, maaf karena aku sudah bikin kamu salah paham, maaf karena aku sudah bikin kamu merasa dimanfaatkan.”
Saya tahu.
Saya tahu bahwa sebelumnya dia telah mempersiapkan semua itu; ucapan-ucapan maaf yang telah dia hafalkan sejak awal untuk dia sampaikan kepada Saya di akhir pertemuan kita di sini.
Marah
Satu hari berlalu. Sabtu pagi Saya berangkat ke kampus, sampai kepada memasuki lantai bawah gedung D. Saya lihat dia sudah tertawa-tawa saja seperti biasa. Ekspresi wajahnya baru berubah ketika dia melihat kedatangan Saya. Saya duduk cukup jauh.
Panjang umur; Tifani, teman sekelas Saya yang paling rame orangnya, yang sama sekali tidak tahu soal peristiwa malam itu malah menggoda-goda Saya di depan semua orang, termasuk di depan Rifa, “Hai Tofiikkk… malem minggu rencana ke mana Fik?”
Saya cuek. Tapi tetap berusaha untuk menjawab, “Enggak ke mana-mana.”

Suara Saya tidak keluar. Sedih sekali rasanya pagi-pagi sudah ditanya seperti itu. Saya memutuskan untuk naik ke atas. Menyendiri.
Saya memasuki fase anger. Saya marah! Ada beberapa hal yang membuat Saya menjadi marah; bukan hanya kepada Rifa, tetapi juga kepada Habib, dan semua orang yang pernah dekat dengan Rifa, teman-temannya. Beberapa hal yang Saya jelaskan di sini akan Saya jadikan sebagai pembelaan terhadap diri Saya. Saya bosan terus-menerus menjadi orang yang baik yang selalu pasrah pada semua orang dan terus-menerus menganggap diri sendiri sebagai pihak yang salah. Setiap orang punya hak untuk membela diri, sekalipun sudah jelas bahwa dia berada dalam posisi yang salah.
Saya tidak berada dalam posisi yang salah karena:
Pertama, Saya tidak pernah jatuh cinta kepada kekasih orang. Saya sudah naksir sama Rifa sejak Rifa belum memiliki kekasih. Keadaan ini membuat Saya seolah-olah tampak sebagai sosok perusak hubungan orang lain. Saya tampak seperti seseorang yang memiliki kepribadian yang paling buruk di antara semua orang yang terlibat dalam permasalahan ini, tidak sopan, egois, hanya memikirkan diri sendiri. Di sini Saya diposisikan seolah-olah Saya adalah seorang pelaku kejahatan, padahal jelas-jelas Saya yang telah menjadi korban. Saya ditusuk dari belakang! Saya didahului oleh orang lain!
Ke dua, Saya marah kepada Rifa. Hal pertama yang membuat Saya jadi marah kepada Rifa adalah mengenai mengapa Rifa bisa sebegitu mudahnya menerima dia dan tidak bisa menunggu Saya sedikit lebih lama lagi. Karena saat itu Saya berpikir bahwa kemungkinan Saya bisa diterima oleh Rifa sudah ada lebih dari 50%, sehingga Saya hanya perlu menunggu waktu yang tepat saja untuk mengungkapkannya.
Ternyata dugaan Saya meleset total. Rifa tidak pernah punya waktu. Dan bahkan Rifa sendiri yang mengatakan kepada Saya saat itu, bahwa dia tidak pernah memiliki perasaan apa-apa kepada Saya. Selama ini dia menganggap Saya sebagai teman biasa seperti yang lain.
Hal ke dua yang membuat Saya marah kepada Rifa adalah mengenai mengapa Rifa jadi seperti ini. Sorot matanya saat itu, Saya benar-benar tidak melihat Rifa yang biasanya. Dia bisa dengan mudah menolak Saya tanpa ada rasa bersalah dalam matanya. Dia bahkan dengan tegas meminta Saya untuk membuang perasaan Saya jauh-jauh. Dia meminta Saya untuk membuang rasa suka Saya kepada dia, dan itu artinya dia lebih suka kalau Saya menjadi musuhnya (karena bagaimana mungkin Saya bisa menjadi temannya setelah mendapat perlakuan seperti ini?). Dalam lubuk hati Saya, Saya masih percaya bahwa saat itu yang Saya lihat bukanlah Rifa. Mungkin dia cuma sedang dalam keadaan emosi, atau sedang dalam pengaruh orang lain untuk dapat mengatakan apa yang orang tersebut inginkan. Situasinya saat itu benar-benar serba mendadak. Saya marah, karena firasat Saya mengatakan kalau saat itu Rifa sedang berbohong, sedang berada di bawah tekanan pihak ke tiga. Saya tidak tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi di antara mereka, Rifa dan teman-temannya. Masalah yang terjadi mungkin jauh lebih rumit dari perkiraan Saya. Saya benar-benar tidak memiliki gambaran apa-apa, sampai sekarang.
Ke tiga, Saya marah kepada teman-teman Rifa. Saya tidak tahu sebenarnya mereka semua sedang menutup-nutupi apa. Saya tahu ada beberapa hal yang sedang mereka sembunyikan dari Saya. Saya itu orangnya tidak bisa dibohongi. Mau bagaimana lagi, Saya telah kalah jumlah. Di sebelah sana, Rifa dikelilingi oleh begitu banyak teman, dipengaruhi oleh mereka, didukung oleh mereka. Sedangkan di sebelah sini, Saya berjuang sendirian. Berjuang untuk membela diri sendiri.
Usia Rifa saat itu baru 19 tahun. Masih muda, tentunya masih lebih memikirkan waktunya untuk bersenang-senang dengan teman-temannya dibandingkan dengan memikirkan komitmen kepada satu orang.
Rifa itu orangnya masih sangat polos dan masih rawan sekali untuk terjerumus ke dalam lingkungan yang tidak baik. Hal yang membuat Saya khawatir kepada Rifa mengenai teman-temannya adalah, Saya khawatir kalau selama ini Rifa hanya dijadikan sebagai boneka. Saya paham betul dengan kepribadian Rifa. Rifa itu orangnya manja, tidak bisa sendirian, masih bergantung kepada teman-temannya. Dia masih belum bisa memutuskan sesuatu sendiri. Saya khawatir kalau semua hal yang dia putuskan mengenai hidupnya hanya didasarkan pada saran dan permintaan dari teman-temannya, bukan murni dari keinginannya sendiri.
Ke empat, Saya marah kepada Habib. Saya tidak suka dengan tangannya, dan kata-katanya kepada Rifa. Walaupun begitu, terkadang Saya berpikir kalau kemarahan Saya kepada Habib justru terasa lebih umum jika dibandingkan dengan kemarahan Saya kepada yang lain. Secara umum, Saya tidak suka dengan orang-orang yang suka berperilaku dan berkata-kata menjerumus. Itu berlaku pada semua laki-laki lain tanpa terkecuali, hanya karena di sini posisi Habib adalah sebagai pacar Rifa, Saya jadi makin emosi. Untuk pilihan yang terburuk, mungkin sebenarnya Saya akan merasa baik-baik saja apabila yang menjadi pacar Rifa saat itu bukanlah Habib.
Ke lima, Saya marah kepada diri sendiri. Karena Saya terlambat.
Sebenarnya Saya memiliki potensi untuk menjaga Rifa, tapi Rifa sendiri yang mengatakan kalau dia tidak mau. Sekarang Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Saya khawatir setengah mati, khawatir kalau Rifa sampai diapa-apakan oleh mereka. Ini bukan cuma soal Habib, tapi soal semuanya.
Sekarang yang bisa Saya lakukan hanya melihat saja tanpa bisa melakukan apa-apa.
Amnesia
Pada fase bargainning, Saya jadi makin sering berdoa kepada Tuhan. Tapi itu tidak Saya lakukan untuk meminta agar Rifa berubah pikiran atau semacamnya. Harapan Saya dalam doa-doa Saya saat itu adalah agar Saya dibimbing untuk bisa segera melupakan Rifa, agar Saya bisa segera mendapatkan jawaban atas semua cobaan yang telah menimpa diri Saya saat ini. Saya juga berharap agar Tuhan mau melindungi Rifa dari segala hal buruk yang mungkin terjadi. Karena tidak mungkin jika Saya yang harus melakukannya.
Tapi Saya akui, memang ada saat-saat dimana Saya mengharapkan sesuatu yang mustahil kepada Tuhan. Pada saat itu, Saya berharap agar Tuhan membukakan mata hati Rifa agar dia dapat melihat dan merasakan bagaimana sulitnya Saya menjalani masa-masa ini. Agar Rifa bisa berubah pikiran. Agar semua hal di muka bumi ini yang seharusnya mustahil untuk terjadi bisa terjadi untuk Saya.
Saya memasuki fase depression. Hari-hari Saya lalui dengan penuh kesedihan, murung, minder. Kalau sudah sampai pada keadaan cukup parah, Saya bisa kelihatan seperti orang mau menangis. Ibu Paul, selaku dosen praktik skill lab kelompok kami, sampai harus susah payah melawak di depan semua orang setiap hari hanya untuk membuat Saya tertawa. Percuma saja, itu tidak akan berhasil. Karena sumber pemicu yang telah membuat Saya jadi depresi selama ini berada di sini, di tempat yang sama.
Sebenarnya sudah dari dulu Saya merasa sangat tidak enak hati kepada Ibu Paul. Sejak pertama kali Saya bertemu dengan beliau. Sejak pertama kali Saya memecahkan termometer milik kampus. Semua usahanya untuk membuat Saya kembali ‘normal’ sia-sia. Hanya orang-orang di sekeliling Saya saja yang berhasil tertawa, sedangkan Saya tidak. Kenapa? Karena di situ ada Rifa. Ke mana saja Saya pergi di situ selalu saja ada Rifa. Kita berdua satu kelas. Bahkan satu kelompok!
Ibu Paul sepertinya sudah menyerah dengan Saya. Terakhir kali Saya sampai harus dipanggil ke ruang dosen (tanggal 30 Juni 2015 yang lalu) karena para dosen berpendapat kalau Saya itu orangnya terlalu diam, pasif. Saya memang memiliki prestasi akademik yang baik, tapi Saya gagal mengeksplorasi kemampuan diri sendiri. Kemampuan komunikasi Saya sangat jelek! Apa jadinya nanti jika Saya sampai menjadi seorang perawat yang tidak dapat berkomunikasi?? Dosen wali Saya bilang kalau saat ini Saya terancam untuk dipindahkan dari tempat praktik Saya sebelumnya yang direncanakan akan ditempatkan ke Rumah Sakit Margono (tempatnya orang-orang pintar) menjadi ke Rumah Sakit lain yang kualitas pelayanannya katanya sangat jelek (tempatnya orang-orang bodoh?).
Saya masih harus menemui Ibu Wina juga hari Senin besok untuk membahas masalah yang sama. Tidak tahu akan seperti apa jadinya nanti. Saya pusing. Belum lagi beliau saat ini sedang hamil tua. Kalau pas kebetulan Saya datang menemui beliau dan beliau sedang memiliki mood jelek, bisa-bisa Saya habis dimarahi olehnya.
Sebenarnya Saya tidak pernah ada masalah dengan tempat praktik Saya. Ke mana saja Saya ditempatkan, maka di situlah Saya akan menyesuaikan diri. Tapi entah kenapa mereka begitu peduli dan seolah menganggap kalau keadaan Saya sekarang ini telah sampai pada titik yang sangat parah dan tidak wajar.
Saya pernah membolos kuliah sampai benar-benar tertulis huruf A di dalam lembar absensi, meskipun pada akhirnya Saya tetap harus berangkat juga karena Saya dibujuk oleh kawan sekelompok Saya untuk berangkat. Ada tugas penting katanya.
Saya pernah membolos dengan cara titip absen ke teman. Ketika Saya tidak membolos, yang Saya lakukan hanyalah duduk menunduk, diam, cuek, tidak pernah lagi melihat sekeliling; berusaha menghindari bertatapan langsung dengan Rifa saat dia berada di sekitar Saya, atau menghindari siapa saja yang ada hubungannya dengan Rifa yang Saya khawatirkan apabila Saya sampai melihat wajah atau mendengar suara mereka, maka itu akan membuat Saya teringat lagi kepada Rifa. Setiap hari Saya berusaha untuk melupakan Rifa. Berusaha melupakan seseorang yang jelas-jelas masih berada di sekeliling Saya. Setiap hari Saya menghabiskan waktu kuliah Saya untuk melakukan sesuatu yang sia-sia, hingga sampai pada titik dimana Saya benar-benar merasa ingin keluar saja dari kampus ini. Seperti beberapa teman yang lain. Saya lelah.
2 Juli 2015
1 Komentar
Adi
Sesungguhnya kebahagian-kejayaan umat manusia, hanya dalam pengamalan agama yang sempurna sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi SAW. Bukan terletak pada Rifa. Mencintai mahkluk secara berlebihan, akan berkarhir dengan kekecewaan. Tapi mencintai Allah, akan berarkhir dengan kebahagian yang selama lama lama lamanya..
Mirip