Sedia Kala

“Kamu apa tidak apa-apa begitu, membiarkan orang lain mendapatkan ilmu secara gratis sementara kamu tidak mendapatkan apa-apa?” Pertanyaan kakakku di sore itu.
“Mau bagaimana lagi, memang kenyataannya tidak bisa”.
“Tidak bisa bagaimana?”
“Kalau sudah tidak bisa ya sudah begini saja”.
“Tidak bisa apanya?”
“…”
“Kuliah?”
“…”
“Tahun 2014. Nanti pasti kamu bisa kuliah”.
Saat itu kami sedang mengisi waktu sore hari saja untuk melihat trafik blog yang telah kubuat untuk menumpahkan semua hal yang tidak pernah bisa kulampiaskan selama ini karena ketidakmampuanku menanjak tangga kuliah. Kakakku sendiri selama ini telah membiayai dirinya sendiri, dan masih tetap meneruskan sekolahnya sampai sekarang. Dia bilang sekitar tahun 2014 kuliahnya selesai. Dan jika sudah, maka tidak akan ada lagi beban dalam keluarga sehingga giliranku bisa segera dimulai.
Kami semua memang sudah terbiasa membiayai diri kami masing-masing, hanya saja mungkin Aku yang paling berbeda di antara mereka. Dua orang kakak perempuan, sementara Aku terlahir sebagai laki-laki sendiri. Seandainya saja Aku terlahir jauh lebih awal dari mereka berdua, mungkin saat itu justru Akulah yang mengatakan ini itu seperti itu. Akan tetapi hidup menjadi seseorang terkecil diantara mereka dan dengan sedikit masalah mental memang cukup dahsyat untuk membuat seluruh anggota keluarga berguling-guling comberan. Secara teknis, Aku tidak begitu mengerti apakah ini merupakan A, B atau C. Yang jelas, semuanya sepertinya terasa mati. Aku sendiri sadar bahwa sangat membingungkan untuk mengembalikan jiwa seperti sedia kala. Itu sangat berat. Terlebih jika sejak awal Aku sama sekali tidak mengetahui tentang apa sebenarnya sesuatu yang barusan Aku katakan sebagai “jiwa seperti sedia kala”. Seperti apa sedia kalanya diriku sendiri pun Aku sama sekali tidak tahu.
Sekitar tanggal 7 Januari 2012
Ternyata ada juga yang sama dengan aku, aku juga dari keluarga kurang mampu mas, dulu waktu aku sekolah dari kelas 4 SD sampai aku lulus SMA semua aku tanggung sendiri. orang tuaku cuma memberi makan saja mas. setelah lulus SMA aku cuma bengong berbulan2 mikirkan nasib ini, hingga suatu saat keberuntungan selalu berpihak padaku...bersambung aja mas ntar sedih>>
BalasHapusHahaha...
Hapus