Mimpi Pantai Pasir Putih

Saya bermimpi sedang dalam perjalanan menuju ke arah utara, ke tempat kerja Saya mengendarai sepeda motor, dan tanpa sengaja melihat (diperlihatkan) sebuah percabangan jalan yang sebelumnya tidak pernah ada. Percabangan jalan tersebut ada di sebelah kiri Saya, terletak beberapa meter sebelum Saya mencapai jembatan di depan, diapit oleh pepohonan pinus menjulang tinggi di kiri dan kanan sepanjang jalan. Jalannya beraspal dan cukup lebar, hanya saja sangat sepi pengendara, seolah jalan tersebut adalah jalan yang sangat khusus semisal untuk pintu masuk ke sebuah vila misterius yang harusnya telah dijaga ketat oleh satuan pengamanan jika Saya memaksa masuk ke jalan tersebut hingga 100 – 200 meter lagi ke dalam.

Permukaan jalan tersebut tampak kotor, debu dan pasir berserakan di mana-mana, tak menumpuk, membentuk pola-pola garis hasil dari bekas lalu-lalang ban kendaraan yang melewatinya. Dari sela-sela pepohonan pinus di samping jalan lurus menuju jembatan yang Saya lewati tampak bahwa percabangan jalan tersebut menuju ke sebuah tanjung atau pantai berpasir putih yang menurut Saya sangat indah perwujudannya. Sebuah pemandangan yang sangat kontras dengan keadaan jalan yang telah Saya lewati sebelumnya yang hanya terdiri dari sawah dan perumahan. Hutan pinus yang Saya lihat hanya tampak di sekitar percabangan jalan tersebut dan tidak menyebar ke mana-mana.

Di dunia nyata Saya, posisi percabangan jalan itu tidak ada dan hanya merupakan perumahan biasa yang tidak mengandung kesan khusus, setelahnya adalah jembatan yang memang nyata dimana sebelumnya terdapat sebuah masjid yang menjorok ke arah dalam, pun bentuknya sudah cukup kekinian, tidak seperti suasana dalam mimpi Saya yang kebanyakan hanya berupa hutan dan kanopi dengan sedikit cahaya matahari. Tanah yang basah, daun-daun yang berembun, tapi permukaan jalannya kering. Melihat tempat yang tampak sangat indah tersebut Saya jadi terngiang-ngiang sepanjang perjalanan: kalau saja ada waktu luang Saya ingin menyempatkan diri mampir ke situ, melihat pantai dan sebagainya, bersama anak laki-laki Saya (padahal Saya tidak punya anak). Karena waktu itu Saya pikir jalan tersebut adalah jalan baru yang dibuat oleh Pemerintah sebagai jalan menuju ke sebuah objek wisata baru (pantai).

Setelah itu Saya tidak ingat lagi. Yang jelas ketika terbangun Saya baru sadar bahwa sebelumnya Saya juga pernah mengalami mimpi serupa, dua kali. Mimpi pertama adalah posisi Saya yang sudah berada di permukaan laut; mengendarai semacam jetski lurus ke depan hingga akhirnya Saya sampai pada ujung laut yang ternyata adalah dinding-dinding goa dimana permukaan air di bawahnya sudah dangkal, sehingga pemandangan bawah air bisa tampak. Ketika Saya bingung karena menemukan jalan buntu, tiga orang anak laki-laki berusia antara 15 – 17 tahun, anak-anak pantai yang sedang berboncengan di atas jetski berpapasan dengan Saya. Mereka bilang ke Saya agar jangan takut atau khawatir dan sebagainya. Setelah itu Saya tidak ingat lagi.

Mimpi ke dua Saya adalah Saya memutuskan masuk ke percabangan jalan tersebut, tapi sendirian. Beberapa kali Saya berpapasan dengan kendaraan roda empat hingga kemudian Saya terpaksa harus berhenti karena ternyata jalannya buntu. Tidak ada tanjung atau pantai pasir putih sejauh mata memandang seperti yang telah Saya lihat dari luar. Jalanannya gelap, dan lebih tampak sebagai bekas reruntuhan. Hingga Saya tak habis pikir, dari mana sebenarnya kendaraan-kendaraan yang telah memapas Saya berasal. Di depan jalan yang sudah buntu tersebut adalah dinding tanah yang bercampur dengan batu, dengan reruntuhan batang pohon yang telah mati, berantakan. Saya melihat ke arah kiri dan akhirnya menyadari bahwa ini adalah jalan yang menurun. Karena di sebelah kiri Saya juga merupakan dinding tanah bercampur batu. Melihat ke atas adalah penampakan sisi belakang rumah-rumah yang telah Saya lihat dalam perjalanan sebelumnya. Melupakan soal dari mana asal kendaraan-kendaraan yang telah berpapasan dengan Saya, Saya masih lebih penasaran lagi dengan pemandangan pantai yang saat itu entah kenapa ingin sekali Saya lihat dari dekat.

Mungkin rasanya seperti sedang merindukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada, namun telah lama menjadi angan-angan. Rasa penasaran tersebut mendorong Saya untuk memberanikan diri naik ke atas sedikit-sedikit, mendaki dan menginjaki reruntuhan, untuk melihat puncaknya. Dugaan pertama Saya saat itu adalah di sebelah atas terdapat jalan setapak atau perpotongan jalan lanjutan yang dapat membawa Saya menuju ke pantai berpasir putih yang telah Saya lihat dari jauh. Tapi ternyata, tidak ada apa-apa lagi di atas. Sama sekali tidak. Seperti keadaan sebelumnya, hanya terdiri dari reruntuhan tak berbentuk. Batu-batu besar berserakan ke mana-mana. Reruntuhan batang pohon, bongkahan tanah dan sebagainya. Saya melihat tempat tersebut tidak lebih dari sekedar hutan yang mati. Hutan yang telah mati. Tidak ada makhluk hidup, tidak ada ujung, tidak ada jalan keluar.

Suasananya jadi agak mistis.

Kemudian Saya melihat ke belakang, dan menyadari ada seorang pria tua yang sedang duduk di atas kursi goyang, membelakangi Saya, di atas tanah, dikelilingi oleh reruntuhan ranting pohon yang jarang-jarang, berserakan. Secepat kilat Saya sampai pada kesimpulan bahwa orang tersebut mungkin adalah penampakan hantu atau zombi. Seperti dalam film-film, yang ketika orang tersebut menoleh ternyata wajahnya berdarah-darah rusak tak beraturan.

Tapi ternyata tidak. Ketika ia menoleh, wajahnya tampak normal-normal saja layaknya seorang tua pada umumnya. Seperti seorang mantan pemburu binatang di hutan, dia memegangi sebuah senapan laras panjang. Ekspresinya tampak sangat menderita. Melihat Saya, perlahan-lahan dia bangkit dari tempat duduknya dengan susah payah. Belum sempat Saya melihat-lihat dan mengingat-ingat apakah Saya pernah mengenal beliau sebelumnya, Saya sudah diteriaki habis-habisan soal tanggung jawab! Dia meminta Saya untuk bertanggung jawab atas bencana yang telah menimpanya hingga membuat keadaannya menjadi seperti sekarang. Tidak, yang Saya pahami saat itu adalah dia berteriak putus asa kepada Saya karena hanya Saya satu-satunya orang yang sedang berada di sana. Kebetulan saja Saya menjadi bahan pelampiasan atas penderitaan yang telah dia lalui sepanjang hidup karena saat itu memang tidak ada siapa-siapa lagi di sana kecuali Saya.

Telapak kakinya tidak ada. Tampak jelas bagian ujung tulang pergelangan kakinya mencuat keluar. Kulit kaki di sekitarnya sudah mengering dan mati.

28 Januari 2018