Perawat Bedah

Mungkin butuh waktu dua sampai tiga bulan untuk mampu menceritakan kembali secara mendetail tentang hal-hal yang telah Saya lalui sejak wisuda pada bulan Oktober 2017 yang lalu hingga sekarang. Singkat cerita, sekarang Saya berada pada bulan Februari 2018 dan telah memperoleh pekerjaan sebagai perawat bedah di sebuah Rumah Sakit Umum swasta di Banyumas bernama Siaga Medika.

Awal pertama Saya masuk, Saya hanya sebatas magang saja dan kondisi saat itu adalah Saya masih belum wisuda. Batas pendaftaran magang hanya sampai tanggal 25 September 2017 sedangkan wisuda Saya dilaksanakan pada tanggal 2 Oktober 2017. Jadi saat Saya datang ke HRD, Saya coba tanya ke staf di sana, bagaimana jadinya jika Saya ingin mendaftar magang kerja tapi posisi Saya masih belum wisuda. Transkrip nilai sudah keluar, Saya juga sudah mengikuti yudisium dan dinyatakan lulus.

Setelah melakukan diskusi ke sana-sini, akhirnya beliau bersedia untuk mempertimbangkan. Beberapa hari sebelum hari pertama magang Saya mengikuti tes tertulis dan wawancara. Pada tanggal 26 September 2017, akhirnya Saya resmi bekerja sebagai karyawan magang. Agak bingung dan kaget juga ketika awal-awal mengikuti tes karena selain tes tertulis mengenai ilmu keperawatan, ada juga tes mengenai akidah dan akhlak. Rumah Sakit yang aneh.

Saya tidak boleh berlama-lama dalam posisi menganggur karena gara-gara Saya impian dan cita-cita kakak Saya jadi tertunda: dia harus menggunakan uang yang ada untuk membiayai kuliah Saya selama tiga tahun. Selain itu, Saya juga sudah jenuh berada di kampus. Ini bukan soal kampus, tapi soal beberapa orang yang ada di dalamnya. Ada beberapa orang, yang kau tahulah siapa, yang membuat Saya begitu tidak betah hingga andai saja keluar dari kampus adalah solusi yang legal, maka Saya lebih memilih untuk keluar. Dan ketika Saya mendapati sebuah pengumuman magang kerja di Banyumas dengan imbalan berupa uang transport, makan siang dan sertifikat, waktu itu Saya nekat untuk ikut saja tanpa pikir panjang, karena Saya merasa waktu itu adalah waktu yang sangat tepat untuk bisa keluar dari kampus secara terhormat, tanpa harus membuat pihak kampus beserta teman-teman Saya di sana menjadi terbebani dengan Saya yang tiba-tiba menghilang. Dengan cara ini, maka secara tidak langsung Saya sebenarnya sedang mencoba untuk berpamitan secara baik-baik.

Namun tentu saja masalah pribadi tersebut tidak kemudian Saya ungkapkan begitu saja pada saat wawancara. Saya tahu bahwa kita tidak boleh mencampur-adukkan antara urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Saya sudah dewasa. Jadi pada saat itu Saya coba untuk mencari alasan lain yang lebih masuk akal, alasan tentang mengapa Saya berminat untuk magang kerja di IBS.

Saya katakan kepada beliau, pak Sumambal, bahwa pekerjaan sebagai perawat di IBS itu terasa lebih khusus atau spesial. Beliau bertanya kepada Saya bagaimana dengan posisi sebagai perawat IGD atau ICU?

Saya bilang ke beliau bahwa itu tidak masalah selama masih dalam bidang keperawatan, sesuai dengan kompetensi Saya.

Kepada Kabid Keperawatan, Saya ungkapkan bahwa Saya tidak pandai dalam melakukan multi-tasking. Saya agak kesulitan jika harus mengurus beberapa pasien sekaligus. Untuk jangka pendek mungkin bisa, tapi untuk jangka panjang Saya tidak mampu menjamin. Di IBS, pasien masuk dan keluar dan dikerjakan satu per satu, sehingga Saya bisa lebih fokus dalam mengerjakan pasien Saya tanpa harus merasa terganggu dengan pasien-pasien yang lain.

Yang ikut magang ada 11 orang. Aslinya 12 orang tapi satu orang tidak datang. Ketika itu Saya benar-benar tidak punya ide sebenarnya Saya sedang apa berada di sana, bersama orang-orang asing pula. Selain itu Saya datang ke sana juga atas dasar keinginan sendiri. Saya tidak mungkin membawa teman-teman dari kampus karena mau bagaimana lagi kami semua masih dalam posisi belum wisuda, jadi Saya yakin tidak akan ada yang mau ikut dengan Saya.

Saya tidak ingin berlarut-larut dengan hal tersebut. Waktu itu yang Saya pikirkan hanya soal bagaimana caranya agar Saya bisa mengenal teman-teman baru Saya secepatnya, karena saat itu Saya sudah berkomitmen untuk meninggalkan teman-teman yang lama. Walau sampai sekarang kita masih sering komunikasi, saling memberi tahu kabar masing-masing, tapi Saya juga harus siap dengan kemungkinan terburuk di masa depan. Ketika masing-masing dari kita mulai terpisah jarak dan tidak sanggup lagi untuk berkomunikasi dengan benar. Saya tidak ingin patah hati lagi.

Biarlah orang terkagum-kagum dengan apa yang mereka anggap luar biasa dalam diri Saya. Bahwa mendaftar magang sebelum wisuda adalah hal yang sangat jarang dan perlu mendapat apresiasi. Mereka pikir Saya luar biasa, tapi apakah mereka tahu alasan sebenarnya yang kemudian membuat Saya menjadi begitu terburu-buru? Saya rasa tidak. Orang lain hanya melihat dari sisi luarnya saja. Mereka hanya berorientasi kepada hasil, dan tidak peduli dengan sejarah di belakangnya; tentang awal mula terjadinya Saya yang sekarang, dan luka apa yang sedang berusaha Saya tutup-tutupi.

Satu setengah bulan berlalu dan Saya sudah menyempatkan diri untuk mengikuti proses wisuda dengan kondisi seadanya (kebetulan waktu itu hari libur), meski Saya harus membolos jadwal seminar juga selama dua hari dengan tema seputar persiapan untuk memasuki dunia kerja, dan juga membolos pendalaman Uji Kompetensi sepanjang jadwal yang ada, sampai-sampai bu Tri merasa khawatir dan oleh karena itu mencari-cari Saya melalui Tifani. Saya jadi merasa sangat bersalah saat itu.

Saya yang tidak bisa berbuat banyak hanya bisa memantau kegiatan mereka melalui status-status di Instagram dan WhatsApp sambil berharap yang terbaik untuk mereka. Perlahan menyadari Saya yang sendirian di sini, dan melihat mereka semua yang masih bersama membuat Saya harus mengakui bahwa Saya sebenarnya juga rindu.

Di sini, Saya beserta teman-teman magang yang lain memperoleh kesempatan untuk menjadi karyawan kontrak. Jadi kesimpulannya, kami bisa segera berhenti menjalani masa-masa bekerja sebagai karyawan magang untuk kemudian lanjut bekerja sebagai karyawan kontrak. Alasannya sederhana: pihak Rumah Sakit sedang kekurangan tenaga kerja.

Saya mencoba untuk memotivasi teman-teman yang lain agar bersedia ikut karena ini adalah kesempatan yang sangat langka. Selain itu, mendapatkan penawaran kontrak berarti sudah dapat dipastikan bahwa kita semua akan langsung diterima sebagai karyawan tanpa harus mengikuti tes dan lain sebagainya. Kita hanya tinggal terima gaji saja!

Tapi beberapa dari mereka ada yang keras kepala dan tetap tidak mau ikut, karena mereka sudah terlanjur dicekoki gosip-gosip negatif tentang Rumah Sakit ini dari orang-orang yang sudah resign. Dan itu sempat membuat kami jadi bertengkar. Terakhir kali Saya cuma membujuk mereka agar setidaknya melihat draft kontraknya terlebih dahulu. Jika ternyata tidak sesuai, maka silakan untuk tidak membubuhkan tanda tangan dan lanjut saja bekerja sebagai karyawan magang hingga dua setengah bulan ke depan.

Waktu itu Saya datang ke HRD agak siang. Saya melihat wajah teman-teman Saya sangat lesu, kecewa. Mereka bilang ke Saya bahwa penawaran kontrak yang dimaksud adalah untuk bekerja sebagai perawat ruangan dan bukannya sebagai perawat bedah. Mereka belum memutuskan untuk setuju atau menolak penawaran tersebut karena masih terbawa suasana. Setidaknya pihak HRD masih memberikan kesempatan.

Saya pribadi tidak merasa keberatan dengan posisi Saya jika harus berganti menjadi perawat ruangan (rawat inap). Karena saat itu yang menjadi prioritas Saya hanya tentang bagaimana caranya agar Saya bisa berhenti menganggur dan mendapatkan uang untuk membiayai hidup Saya sendiri, dan juga hidup keluarga Saya. Saya tidak ingin merepotkan siapa-siapa lagi. Saya juga bisa memaklumi jika mereka merasa kecewa, atau tetap teguh pendirian untuk tidak ikut bahkan jika penawaran yang dimaksud adalah memang untuk bekerja sebagai perawat bedah. Setiap orang memiliki tujuan hidup mereka masing-masing. Saya tidak boleh memaksakan kehendak Saya kepada mereka karena hidup mereka adalah mereka sendiri yang harus memutuskan.

Melihat dari sisi manapun, mereka semua memang masih tergolong sebagai anak-anak muda yang labil. Mereka masih menganggap dunia sebagai tempat untuk mencari pengalaman dan mencoba-coba, masih mudah diombang-ambingkan oleh pendapat sekelompok orang dengan jumlah yang lebih banyak, masih tidak punya pendirian yang tetap.

Mereka masih belum pernah mengalami situasi-situasi yang sangat mendesak seperti Saya.

Salah seorang teman magang yang saat itu satu kelompok dengan Saya merasa bimbang dan bertanya kepada Saya. Saya hanya bisa memberikan saran agar dia tidak mengambil keputusan karena ikut-ikutan dengan Saya. Saya harap dia mengambil keputusan karena memang dia mau atau tidak mau, agar kelak dia tidak menyesali keputusan-keputusannya itu.

Saya pergi ke HRD menemui Kabid Keperawatan, pak Budi, yang mengaku baru bekerja di sana selama sekitar dua minggu. Saya diwawancarai lagi. Beliau bertanya kepada Saya apakah bersedia jika Saya ditempatkan sebagai perawat ruangan, karena pihak Rumah Sakit saat itu sedang sangat membutuhkan tenaga kerja di ruangan, sedangkan kuota perawat IBS sudah mencukupi. Saya jawab Saya bersedia.

Kemudian beliau juga bertanya andaikan diberi kesempatan untuk memilih, Saya ingin bekerja di bagian apa? Saya jawab Saya ingin bekerja di IBS dengan alasan seperti yang Saya sebutkan sebelumnya, dan karena Saya merasa lebih familiar dengan lingkungan IBS saat itu.

Beliau juga bertanya apakah Saya bersedia untuk dirotasi ke IGD, poli dan ruangan sebelum ditempatkan secara permanen di suatu unit kerja? Saya jawab Saya bersedia.

Selesai wawancara, beliau mengatakan akan berusaha merekomendasikan Saya untuk ditempatkan di IBS jika suatu saat IBS membutuhkan tenaga tambahan. Setelah itu Saya diminta untuk menemui pak Sumambal selaku Kasi SDM yang ternyata adalah pemilik PT Siaga Medika.

Jujur, ada banyak hal yang Saya tidak mengerti mengenai Rumah Sakit ini yang justru membuat Saya makin penasaran dan oleh karena itu membuat Saya ingin bergabung dengan mereka. Beliau menjelaskan mengenai seluk-beluk kontrak kerja dan lain sebagainya, kemudian Saya diberi kesempatan untuk memikirkannya selama sehari.

Sehari kemudian adalah tanggal 7 November 2017, Saya resmi menandatangani kontrak kerja selama tiga tahun sebagai perawat ruangan. Tapi kemudian, sesuai dengan wawancara sebelumnya, Saya akhirnya dirotasikan.

Mulai tanggal 9 November 2017, Saya ditempatkan di IGD selama seminggu. Setelah itu Saya akan dipindahkan lagi entah ke mana. Saya hanya diminta untuk menemui pak Budi setelah satu minggu berlalu dan memberikan laporan kegiatan, setelah itu Saya akan mengikuti rotasi selanjutnya sesuai dengan keputusannya. Beliau mempercayakan Saya kepada kepala ruang IGD, pak Vendy, untuk mengorientasikan Saya dan menjelaskan alur kerja di IGD.

Di IGD, Saya bekerja non-shift dan oleh karena itu hanya berangkat di pagi hari. Saya libur pada hari Minggu. Setelah beberapa hari berlalu bekerja di IGD Saya merasa sudah mengerti alur kerja yang ada. Saya juga tidak perlu lagi memikirkan hal-hal teknis seperti cara memasang infus atau kateter urin karena Saya sudah menguasai itu selama praktik di masa-masa kuliah Saya. Saya hanya perlu fokus pada lingkungan kerja yang ada dan menyempatkan diri untuk berkenalan dengan orang-orang di sana.

Seminggu kemudian Saya dipindahkan ke ruang Lily C, sebuah unit rawat inap untuk pasien-pasien kelas III dengan kuota sekitar 45 bangsal. Di sana Saya bekerja non-shift juga selama seminggu dan bertemu dengan dua orang pegawai baru yang memang sejak awal akan ditempatkan di ruangan.

Seminggu setelah itu Saya direncanakan untuk ditetapkan di IGD saja karena permintaan kepala ruang IGD yang mengaku sedang kekurangan satu orang tenaga kerja. Selain itu, dari pihak Kabid Keperawatan juga mengatakan hendak mengikuti amanah dari pak Sumambal agar karyawan bisa segera ditempatkan permanen, jangan dipindah-pindahkan lagi, agar pengurusan seragam, keuangan dan lain sebagainya dapat segera diselesaikan.

Pada akhirnya… Saya malah ditempatkan di IGD yang notabene memerlukan kemampuan multi-tasking. Di IGD, Saya masuk ke dalam tim yang terdiri dari mas Hasan sebagai perawat primer (ketua tim), pak Pujiarto dan mbak Herwinda sebagai perawat pelaksana.

Meski sudah menetap di IGD, kadang Saya masih harus pergi ke IBS juga untuk konsul anestesi atau mengirim pasien CITO, begitu pula saat Saya masih dirotasi di unit rawat inap. Saat bertemu dengan perawat-perawat di sana sebenarnya Saya merasa malu dan minder, karena makin hari tentu saja akan makin banyak pertanyaan dan keheranan di sana-sini tentang mengapa Saya malah dikontrak untuk bekerja di IGD dan bukannya di IBS seperti saat pertama Saya magang.

Beberapa karyawan magang yang masih lanjut kerja di IBS kadang juga suka tanya-tanya ke Saya perihal kontrak kerja dan nominal gaji yang diberikan saat kami sedang bertemu di ruang transit untuk mendaftarkan pasien. Meski kemudian Saya menanggapinya dengan serius, tapi Saya tahu bahwa mereka sebenarnya hanya sedang mencari-cari celah untuk mengejek keputusan-keputusan yang telah Saya ambil. Karena melihat dari pertanyaan yang mereka ajukan kepada Saya saja sudah terlihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang tidak sopan. Jadi apapun yang akan Saya ungkapkan nantinya pasti hanya akan ditanggapi dengan respon yang sinis. Saya hanya bisa tertawa dalam hati karena entah mengapa saat itu Saya merasa seperti sedang melihat gumpalan tinja yang bisa bicara.

Masa-masa itu ternyata tidak berlangsung lama sebagaimana masa-masa Saya bekerja di IGD. Saya bertahan di IGD selama dua bulan saja karena kabarnya Saya akan dimutasi kembali ke IBS. Waktu itu Saya sedang mengantar pasien fraktur klavikula ke Lily B dan ketika Saya hendak memindahkan pasien dari brangkar ke tempat tidur, Saya disapa oleh pak Budi yang ternyata dari tadi sudah berdiri di depan pintu. Beliau bertanya ke Saya, “Antum sudah tahu kalau bulan depan antum mau dipindahkan ke IBS lagi?”

“Eh, belum.”

Sebenarnya Saya sudah mendapatkan kabar itu dari pak Vendy tapi Saya kira rencana mutasi yang dimaksud adalah masih dalam bentuk wacana dan mungkin akan dilaksanakan seminimal-minimalnya tahun depan. Tapi ternyata Saya malah dikembalikan lagi ke IBS pada tanggal 1 Januari 2018 yang lalu, padahal waktu itu Saya sedang betah-betahnya di IGD. Kabarnya dua orang pegawai telah dikeluarkan dan satu orang yang lain memutuskan untuk resign. Jadi Saya dipindahkan ke sana untuk mengisi kekosongan tersebut. Satu kekosongan yang lain diisi oleh teman Saya yang waktu itu merasa bimbang dan kemudian memutuskan untuk bersedia dikontrak sebagai perawat ruangan. Kemudian satu kekosongan yang lain akhirnya diisi oleh teman satu kelompok Saya yang saat itu masih berstatus sebagai karyawan magang.

9 Februari 2018