Hari ini Saya pergi ke kantor pos bersama kakak Saya. Tidak. Lebih tepatnya kakak Saya yang pergi bersama Saya. Kami berdua memiliki urusan masing-masing. Walaupun pada akhirnya jika dibuat kesimpulan sebenarnya tetap saja, kedua urusan tersebut adalah merupakan urusan Saya.
Saya suka nervous ketika harus mengisi formulir, apalagi mengisi formulir sendiri. Apalagi jika di dalam formulir tersebut tercantum beberapa bidang yang harus diisi dengan angka seperti: Berapa nomor telepon Saya, berapa nomor induk Saya, berapa nomor KTP Saya, berapa usia Saya, atau Saya lulusan tahun berapa.
Kakak Saya pergi ke kantor pos untuk melakukan pembayaran uang kuliah Saya yang tersisa. Sedangkan Saya pergi ke kantor pos untuk mencairkan penghasilan dari Google AdSense.
Waktu itu… tanpa Saya sadari di samping Saya ternyata ada seorang teman SMK Saya yang sudah lama sekali tidak Saya temui. Saya pikir dia masih di Jakarta atau di sekitar daerah Jakarta. Dia sedang mengutak-atik bungkusan kertas. Seperti amplop kecil bermotif. Amplop wanita. Setelah kemudian muncul lagi dua buah amplop yang lain. Dia teman lama Saya. Namanya Asep Triono. Dia datang ke sini bersama pacarnya, dan satu orang lagi adalah laki-laki, membawa kardus seperti berisi minuman-minuman untuk dijual. Dalam penglihatan sepintas Saya loh ya! Tapi yang jelas, dia saat itu kelihatan seperti bersemangat sekali mengurusi sesuatu. Dua buah amplop cokelat berukuran besar yang biasa digunakan untuk keperluan mendaftar pekerjaan atau pengiriman surat-surat penting. Milik pacarnya.
Asep, sejak awal lulus dari SMK sudah punya inisiatif atau memiliki keinginan untuk bekerja ke luar kota. Bekerja di PT tentunya. Saat itu Saya berasumsi bahwa amplop-amplop tersebut hendak digunakan untuk keperluan yang berhubungan dengan pekerjaan, bukan untuk sesuatu seperti pendidikan atau pengiriman surat-surat berharga.
Saya memandanginya. Memandangi apa saja yang sedang dia kerjakan. Berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dia menoleh dan memandang Saya setidaknya selama tiga detik saja, sehingga Saya bisa menyapanya dengan berkata “Hai!” atau dengan sekedar melambaikan tangan kepadanya. Itu komunikasi yang sangat sederhana. Meskipun Saya adalah seorang introvert, akan tetapi untuk melakukan komunikasi semacam ini sepertinya Saya sanggup.
Namun dia sama sekali tidak berpaling ke arah Saya.
Di sekolah Saya, golongan siswa secara umum terbagi menjadi dua, yaitu golongan siswa nakal dan golongan siswa baik. Teman Saya ini masuk ke dalam golongan siswa yang nakal, sedangkan Saya masuk ke dalam golongan siswa yang baik, yang kebanyakan diisi oleh orang-orang lugu, cupu dan rajin belajar. Ketika siswa-siswa nakal sibuk membicarakan mengenai cewek dan video porno, Saya dan teman-teman Saya malah lebih sibuk membicarakan soal warnet dan bagaimana caranya membuat puisi. Hubungan Saya dan teman Saya yang satu ini tidak begitu dekat, akan tetapi setiap kali kami bertemu di kelas pasti masing-masing dari kami saling tahu dan sanggup untuk berkomunikasi satu sama lain tanpa ada perasaan canggung.
Indera ke Enam
Saya termasuk tipe orang yang percaya akan hal ini:
“Ketika kamu memandangi seseorang dari suatu tempat, maka cepat atau lambat orang yang kamu pandangi tersebut pasti akan menoleh kepadamu.”
Itu adalah reflek. Itu adalah indera ke enam. Saya percaya bahwa semua orang memiliki itu. Firasat, dan perasaan seperti sedang dipandangi seharusnya akan muncul ketika seseorang benar-benar sedang dipandangi. Meskipun orang tersebut adalah orang asing. Meskipun orang tersebut kamu pandangi melalui bagian punggungnya. Meskipun orang tersebut kamu pandangi dari jarak yang jauh. Indera ke enam setiap manusia pada dasarnya akan tetap bekerja selama mereka sadar akan keberadaan diri mereka.
Waktu itu teman Saya tetap tidak menoleh ke arah Saya. Melalui kepercayaan Saya ini, Saya anggap bahwa dia sebenarnya sudah mengetahui akan keberadaan Saya, hanya saja dia tidak mau menyapa. Orang yang sedang berada dalam situasi normal seharusnya akan reflek menoleh ketika dipandangi.
Saya tidak memiliki pandangan negatif apa-apa akan respon tersebut. Saya tidak akan menganggap bahwa sekarang dia jadi sombong atau apa. Itu adalah sebuah keadaan yang bisa Saya pahami. Tidak sedikit orang di dunia ini —termasuk Saya— yang lebih memilih untuk menghindar dan pura-pura tidak tahu ketika seseorang yang dulu dia kenal sedang berada di dekatnya. Alasannya sederhana: Mereka tidak suka dengan sesuatu yang mendadak, dan mereka tidak suka dengan basa-basi. Mereka tidak suka dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini:
- “Eh, kamu! Lagi ngapain di sini?”
- “Sekarang kamu (tinggal) di mana?”
- “Kerja di mana kamu sekarang?”
- “Ini siapa? Pacarmu ya?”
- “Setelah ini kamu mau ke mana?”
Untuk beberapa hal, ekstrovert pada dasarnya sama saja dengan introvert.
Semua urusan selesai. Pada akhirnya Saya dan kakak Saya pergi meninggalkan kantor pos. Saya tidak memberikan sapaan apa-apa kepadanya. Cuma kita berdua yang saling tahu. Kakak Saya tidak tahu siapa dia dan pacarnya juga tidak tahu siapa Saya. Dan yah, karena di situ ada pacarnya juga si, Saya pikir bahkan jika Tuhan memberikan kesempatan kepada Saya untuk menyapa dia, Saya masih tetap berpikir bahwa itu bukanlah sebuah keputusan yang baik. Itu hanya akan membuat seseorang yang Saya sapa menjadi makin canggung. Situasinya benar-benar sedang tidak mendukung saat itu.
Setelah itu sebenarnya ada sebuah kesempatan dimana Saya bertemu lagi dengan teman Saya itu. Setelah Saya meninggalkan kantor pos, Saya dan kakak Saya pergi menuju ke sebuah toko besi/keramik untuk membeli keramik lantai tambahan. Setelah itu kami pergi ke sebuah warung Mi Ayam. Dan di situ Saya bertemu lagi dengan dia. Waktu itu Saya sedang dalam keadaan sudah selesai makan. Dia sempat memandang ke arah Saya sebentar, walaupun ketika awal-awal masih tampak berusaha menghindar dengan memandang-mandang ke tempat lain. Dia melangkah menuju kursi dimana Saya duduk. Mau tidak mau, karena pacaranya memilih untuk duduk di kursi yang berada di hadapan Saya. Saya beranjak dari kursi untuk pulang, dia memberikan respon dengan membungkuk dan menggeser kursinya sedikit untuk dirinya sendiri.
Saya anggap itu sebagai jawaban “Hai juga!”
25 Agustus 2014
5 Komentar
Bayu Handono
saya juga suka malu kalau ketemu sahabat jaman saya sd. bukannya tidak mau menyapa tapi kelewat malu. pakek banget.
Taufik Nurrohman
@Bayu Handono — Mungkin bukannya malu tapi canggung.
Taufik Nurrohman
Ralat: Bukan pacar tapi istri. Selisih 15 hari
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4688400383247&set=np.36995033.1706112245&type=1&from_close_friend=1
Fahmi
Berangkat ke kantor pos, tepatnya ngambil uang gajian dari google, bertemu teman lama malah ketemu sampe dua kali di tempat makan lagi kenapa gk sekalian traktir makan? hehe.. ngobrol sambil makan-makan malah lebih asik, mungkin lain waktu akan bertemu lagi ya dengan temanmu itu.
Abu Tholeb
@Taufik Nurrohman — haha sudah menikah.
bacaan yang bermanfaat.
Mirip