Satu Hati, Seribu Kewajiban
Jika kalian menjadi Aku, pilihan mana yang akan kalian pilih antara, mengingkari janji persahabatan untuk menyenangkan hati orangtua, dan menyakiti hati orangtua untuk menepati janji persahabatan. Apakah memilih mengingkari janji persahabatan dengan jalan keluar dari tempat kerjamu dimana dulu kita saling bersuka dan duka bersama sambil mengikat janji untuk terus bersama dalam situasi apapun demi kekukuhan persahabatan, untuk menyenangkan hati orangtua dengan jalan memasuki dunia kerja yang mereka inginkan, ataukah memilih untuk menyakiti hati orangtua dengan jalan menolak permintaan tulus mereka yang sebenarnya bertujuan untuk memperbaiki diriku yang sekarang, untuk menepati janji persahabatan kita yang sudah terlanjur terlalu solid dan saling mempercayai satu sama lain?
Ketika sebuah pesan singkat datang di tanggal Nardong. Dikhususkan kepada Rozak, dia adalah orang dewasa pertama yang entah kenapa begitu mempercayaiku sebagai seorang bocah untuk menampung curahan hatinya. Hingga terkadang, Aku juga suka memberinya sedikit saran dan motivasi untuk kelangsungan hidupnya dengan penuh sok bijak. Harusnya Aku bukanlah menjadi orang yang tepat untuknya, karena Aku adalah seorang yang munafik. Namun dia terlalu mempengaruhiku untuk mengeluarkan pendapat-pendapat dan saran yang bahkan tidak bisa kulaksanakan sendiri. Sudah menjadi tabiat. Mungkin. Sejak pertama kali Aku berinteraksi dengan umat manusia di dunia sampai akhirnya Aku menjadi seorang remaja sepenuhnya, ternyata Aku masih tidak mengalami perubahan apa-apa. Aku terlalu dungu untuk berinisiatif sendiri. Hingga waktu-waktu yang berputar sempat berhenti sekali. Hanya sekali saja. Sebuah bom kini telah meledak.
Kepalaku bergasing, beban-beban bertebaran, berkembang api, lumpuh layuh, entah apalah namanya. Saat itu Aku menarik sebuah galon dari barisan paling bawah dahulu hingga membuat sebuah galon di atasnya terjatuh dan menimbulkan suara ledakan, layaknya bom. Genangan air berlari-larian ke mana-mana, membuat kardus-kardus minuman basah kuyup. Begitu juga mataku. Mataku basah kuyup, itu adalah sebuah ungkapan. Aku yakin kalian mengerti maksudnya. Siang itu, entah kenapa Aku sampai menghujani seluruh lantai toko dengan mataku. Aku merasa begitu terbebani. Mungkin karena janji. Karena kemunafikan. Karena kepribadianku yang tak bisa kukendalikan. Aku tak tahu. Sampai malam menjelang, suara sesak-sesak itu masih tak kunjung hilang.
Kuputar waktu lebih jauh lagi ke belakang. Saat-saat kehidupan setelah kelulusanku di SMK dulu sempat membuatku merasa kesepian. Pada awalnya, kupikir Aku mempunyai begitu banyak sahabat. Sampai saat kelulusan tiba, pada saat itulah baru kutahu bahwa Aku memiliki sebuah perbedaan. Dan sebuah perbedaan itu saja sudah cukup untuk membuatku merasa terpisah dari sahabat-sahabatku yang lainnya. Mereka semua pada akhirnya pergi meninggalkanku satu per satu. Bukan karena mereka membenciku, namun karena saat itu Aku masih berada di bawah usia mereka. Saat itu, sebagian besar sahabatku di SMK Giripuro mengalami kelulusan mereka di usia 18 sampai 19 tahunan, sementara Aku, saat itu baru berusia 17 tahun. Itu membuatku tidak bisa ikut bersama mereka untuk mencari kerja atau kuliah. Aku belum cukup umur.
Saat-saat kesepian itu terus berlangsung selama Aku begitu kesulitan mencari pekerjaan, ketika pergi ke Bekasi, hingga pada akhirnya Aku menambatkan hatiku di sini. Sebuah toko sederhana dengan begitu banyak orang baik yang takkan mungkin ingin kulupakan. Kalian tahu? Terkadang Aku merasa begitu senang di sini. Aku merasa, dengan hidup di sini Aku bisa segera melupakan cita-citaku untuk sementara. Aku begitu sulit meninggalkan mereka. Karena di sini, untuk pertama kalinya Aku bisa merasa sangat dihargai sebagai seorang bocah dengan segala kekurangan yang meliputiku. Aku takut jika sampai saat-saat kesepian itu muncul lagi ketika pada akhirnya Aku memutuskan untuk meninggalkan kalian semua demi orangtuaku.
“Jangan terlalu percaya kepada orang lain. Karena jika tidak begitu, maka kamu hanya akan berakhir dengan sakit hati saja. Setiap orang itu pada dasarnya mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.”
Jangan terlalu percaya kepada orang lain. Saat itu yang kumaksudkan adalah, jangan terlalu banyak menaruh harapan kepada orang lain. Ya, Rozak adalah seseorang yang terlalu solid dalam bersahabat. Entah apa yang membuatnya begitu. Mungkin karena dia adalah seorang mantan aktivis pramuka. Akibat kesolidannya itu, sampai-sampai Aku sempat dia sebut sebagai seorang sahabat senasib sepenanggungannya hanya karena Aku mau melakukan berbagai pekerjaan berat yang biasa ia lakukan. Asal tahu saja, sejak kecil Aku ini memang sudah terlahir sebagai seorang anak yang tidak tegaan. Melihat seekor ayam disembelih saja Aku masih tidak mampu. Jadi jangan terlalu membesar-besarkan kerelaanku ini. Hingga ketika kulihat binar-binar matanya yang seolah memberitahukan rasa kepercayaannya padaku bahwa selamanya Aku tidak akan pergi darinya, saat itu Aku langsung mencegahnya dengan mengucapkan kalimat itu. Aku bukanlah seseorang yang engkau harapkan. Aku adalah sosok penjahat dalam cerita ini, seseorang yang suatu saat nanti akan menghianatimu. Betapapun solidnya persahabatan kita semua, pada dasarnya setiap orang tetap tidak akan bisa memenuhi kebutuhan persahabatannya semata. Kita semua ini sudah mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang tidak akan pernah bisa disatukan sama lainnya. Karena pada dasarnya setiap orang hanya memiliki satu hati saja. Suatu saat nanti pada akhirnya kita harus memilih, apakah kita akan terus berusaha untuk mengukuhkan persahabatan kita selamanya, ataukah memutuskan untuk menghilang sesaat demi sebuah tujuan yang lebih penting. Tentang kewajiban kita terhadap keluarga, orangtua, anak-anak, pasangan hidup, atau bahkan kewajiban kita terhadap diri kita sendiri. Hati kita hanya satu. Dan hati itu tidak akan pernah bisa dibagi-bagi. Harusnya kamu bisa mengerti itu.
Andai saja dulu kamu mau menuruti semua perkataanku, mungkin kamu tidak akan pernah merasa sesakit ini. Bahkan Aku sendiri masih sempat tidak percaya bahwa ternyata kamu juga bisa menangis sama sepertiku. Meskipun Aku sendiri masih tidak tahu pasti, apakah air matamu itu keluar karena perasaan sakit di hatimu ataukah hanya karena kontak batin kita saja. Yang jelas, saat itu Aku sempat sekilas melihatmu menyempatkan diri menyeka kedua matamu dengan lembaran-lembaran kertas nota toko yang bahkan tidak selayaknya difungsikan sebagai kertas tisu. Sepertinya Aku masih belum bisa mengambil keputusan.
1 Mei 2011
0 Komentar