Bahagia Sampai Lupa

Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang hidup mereka. Tentang kebahagiaan dan kesedihan, nasib baik dan nasib buruk. Orang-orang dengan mental yang baik pada umumnya akan memandang bahwa kehidupan itu terkadang bisa ada di atas dan terkadang bisa ada di bawah. Kadang kita senang, tapi kadang kita juga bisa sedih. Kadang beruntung dan kadang sial. Ini semua adalah sesuatu yang normal-normal saja.

Saya termasuk orang yang memiliki pandangan hidup baik. Itu jika dilihat dari sisi orang lain yang memandang Saya. Namun terasa menjadi buruk ketika Saya mencoba memandang diri Saya sendiri.

Orang melihat Saya sebagai orang yang baik, ramah, pendiam, santai, berpikir positif, apa adanya dan menyenangkan. Masih bisa diajak bicara (itu yang paling penting). Entah bagaimana mereka bisa memandang Saya sebagai orang yang seperti itu. Karena pada kenyataannya, berdasarkan yang Saya rasakan, Saya itu orangnya sangat jarang mengekspresikan perasaan, jarang tertawa dan bahkan tersenyum. Berkebalikan dari kondisi yang Saya rasakan tersebut, mereka masih senang berada di dekat Saya, membuat Saya merasa memiliki dan dimiliki oleh orang lain.

Akan tetapi Saya memiliki sudut pandang yang kurang positif terhadap kesenangan dan kesedihan. Apa itu senang dan apa itu sedih. Saya lebih banyak mempertahankan posisi Saya ke dalam posisi orang yang sedih, dengan alasan bahwa jika Saya lebih sering merasa sedih, maka Saya akan makin bisa terbiasa dengan perasaan itu sehingga lama-kelamaan rasa sakitnya tidak akan terasa sesakit ketika Saya tidak melakukan itu.

Semuanya benar-benar telah dikontrol oleh sesuatu yang lain yang selalu mengawasi Saya. Tuhan dan alam semesta. Saya memang sendirian, namun itu hanya secara fisik, tidak secara rohani.

Saya selalu berusaha untuk tidak terlalu larut dalam kebahagiaan, sekecil apapun itu, bukan karena Saya tidak suka bahagia dan juga bukan karena seperti apa yang telah Saya katakan sebelumnya, bahwa bahagia dan sedih itu adalah merupakan sesuatu yang normal dan akan terjadi. Akan tetapi karena pengalaman pribadi Saya sendiri yang telah Saya alami sepanjang hidup.

Saya akan selalu tahu bahwa, ketika Saya merasa bahagia dan sampai lupa, maka pada saat itu pasti akan datang sesuatu yang tidak menyenangkan. Ini bisa berupa apa saja. Rasa kehilangan, rasa sakit baik secara fisik maupun mental, rasa malu, rasa marah, mendapat beban baru, kehabisan uang, dimarahi orang asing, dimarahi orang yang dikenal, dipermalukan orang asing, dipermalukan orang yang dikenal, mendapatkan hasil dan nilai yang tidak sesuai dengan dugaan dan perjuangan, dan sebagainya dan sebagainya.

Mungkin kalian pernah atau bahkan sering mendengar bagaimana cara seorang ibu atau ayah mengingatkan anak laki-lakinya yang masih berusia sekitar lima tahun, yang sejak dari tadi pagi sampai sore masih saja sibuk bermain-main, tertawa-tawa main pedang-pedangan sampai tidak kenal lagi sama yang namanya lelah. Ketika orangtua dari anak tersebut sudah kewalahan menangani sikap yang tidak terkendali, biasanya meraka hanya akan mengingatkan anak mereka tersebut seperti ini, dengan nada yang sedikit menyindir, “Kamu lari-larian begitu, ketawa-ketawa ntar gari nangis…”


Hari ini Saya merasa bahagia sekali. Meskipun tugas dari kampus semakin menumpuk, akan tetapi entah bagaimana Saya merasa tidak terbebani. Saya merasa bisa menikmati semuanya. Saya bisa berbicara lebih lancar, serta mengekspresikan diri Saya secara lebih baik. Dimulai dari pagi tadi, sampai hari ini jam dua siang.

Bulan ini adalah bulan yang cukup sering dipenuhi dengan hujan. Ketika itu Saya pulang, suasana di luar masih berada dalam keadaan sedikit gerimis. Sendirian. Rencananya sebenarnya Saya tadi mau pulang sama Sutikno, karena dia yang pertama kali mengajak Saya pulang bersama. Tapi pada akhirnya Saya tetap saja pulang sendirian. Seperti yang telah Saya katakan sebelumnya, bahwa semuanya telah dikontrol oleh takdir.

Waktu itu Saya hendak menyeberang jalan. Di bawah kaki Saya ada banyak genangan air. Ketika itu ada mobil Taksi lewat. Brruussshhh… air yang sejak tadi berusaha Saya hindari kini terciprat semua ke badan Saya. Dari situ Saya merasa dipermalukan sekali sebenarnya, tapi Saya mencoba untuk bersikap biasa saja dan sabar menghadapi keadaan. Saya sudah biasa mengalami keadaan seperti itu. Mengalami kesialan setelah meluapkan kebahagiaan. Waktu itu ada dua orang mahasiswi jurusan S1 yang hendak menyeberang jalan searah dengan posisi Saya. Meraka menaiki sebuah sepeda motor berboncengan dan kebetulan mereka melihat Saya dari kejauhan. Jaraknya sekitar tiga puluh meter di sebelah kanan Saya. Saya melihat seorang yang sedang membonceng di belakang terlihat marah-marah sendiri seolah ingin mengatakan kepada sopir Taksi yang telah jauh melewati Saya bahwa apa yang telah dia lakukan itu tidak benar. Dia bilang kalau Saya itu kasihan.

Mendengar itu Saya malah jadi merasa makin nelangsa.

Kemudian Saya terkena cipratan air lagi dari mobil lain yang lewat.

Dua kali. Dan mereka berdua masih berada di tempat yang sama.

Entah, sebenarnya Tuhan itu sedang berusaha mengingatkan Saya tentang apa? Saya merasa pesan tersebut tidak pernah jelas, karena Saya mengalaminya sepanjang hidup. Dan Saya merasa tidak mengalami perkembangan yang baik dari peristiwa-peristiwa sejenis yang Saya alami sebelumnya, meskipun Saya telah melakukan sesuatu yang Saya pikir sudah menjadi terjemahan bahasa Tuhan yang paling tepat mengenai pengalaman Saya ini, yaitu agar Saya tidak melulu larut dalam kebahagiaan.

Hari ini adalah hari Senin. Baju seragamku basah, namun untungnya air yang terciprat tadi adalah air yang berasal dari genangan di atas aspal dan bebatuan, jadi airnya tidak terlalu kotor. Masih bisa dikeringkan untuk dipakai lagi besok.

Saya menyeberang jalan. Seorang bapak yang sedang duduk-duduk di depan dealer sepeda motor memecahkan lamunan Saya. Saat itu dia tertawa dan cuma bilang ke Saya bahwa kalau mau menyeberang itu mbok ya jangan terlalu ke tengah. Begitu katanya.

Melihat bagaimana orang tersebut menanggapi Saya dengan tertawa, meskipun mungkin tidak se–antusias bagaimana seorang mahasiswi tadi yang mengomentari keadaan Saya, akan tetapi itu sudah cukup untuk mengubah sudut pandang Saya sedikit. Bahwa, mungkin apa yang Saya alami hari ini adalah sesuatu yang sepele, dan tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Mungkin itu karena Saya yang salah dalam menyeberang. Mugkin karena hujan yang turun. Mungkin karena Tuhan menurunkan hujan. Mungkin karena memang seharusnya begitu.

Saya jadi ingat. Siang itu Komar mengembalikan buku ke perpustakaan dalam keadaan lusuh seperti habis kena basah, sampai-sampai kode nomor bukunya menjadi tidak bisa terbaca lagi oleh komputer. Dia bilang sih, buku tersebut sejak awal dipinjam kondisinya memang sudah seperti itu. Tapi tetap saja, dia masih kena marah juga sama petugas perpustakaan.

6 April 2015