Pre-Elementary

Saya suka menulis, betatapun Saya sering mengatakan bahwa Saya sangat suka dengan menggambar. Akhir-akhir ini Saya menyadari bahwa ternyata Saya lebih suka menulis dibandingkan dengan menggambar. Saya suka menuliskan cerita Saya sendiri. Selain itu, kode-kode yang membuat tampilan blog ini menjadi unik juga dilakukan dengan cara menulis. Menulis kode. Masalah menggambar, ada beberapa hal yang pada akhirnya membuat Saya mulai bosan. Pertama adalah karena Saya merasa sudah menguasai semuanya. Bagi Saya menggambar itu sangat mudah. Sedangkan untuk selebihnya Saya merasa tidak tertarik. Mungkin karena tidak ada tantangan atau semacamnya, dan selain itu juga Saya rasa menulis merupakan satu hal baru yang lebih segar, yang dapat memuaskan hati Saya dalam hal mengekspresikan diri untuk tahun-tahun belakangan ini. Itu bukan berarti bahwa Saya sudah tidak bisa menggambar lagi. Saya hanya merasa sedang bosan saja untuk menggambarkan hal-hal yang cukup serius seperti apa yang Saya lakukan dengan menulis.

Suatu hari Saya dan teman-teman yang lain diminta oleh dosen bahasa Inggris kami untuk membuat sebuah daftar kesukaan dan ketidaksukaan secara bertingkat. Masing-masing tingkat harus mengandung dua poin.

Kami semua adalah anak-anak kelas bahasa Inggris tingkat Pre-Elementary di kampus. Jadi, sebelum Saya benar-benar resmi menjadi seorang mahasiswa, dulu pas selesai sesi matrikulasi, Saya sempat melakukan tes bahasa Inggris terlebih dahulu untuk menentukan kelas bahasa Inggris mana yang cocok untuk Saya. Dan kebetulan Saya masuk di level Pre-Elementary bersama dengan teman-teman sekelas yang lain di semester pertama ini. Di bawah level itu ada lagi dua level yang lain yaitu level Beginner II dan level Beginner I. Tidak ada unsur diskriminasi atau sesuatu hal apapun yang spesial dalam penentuan level belajar ini. Semua materi yang diberikan sama persis. Hanya metode belajarnya saja yang dibedakan, untuk mempermudah setiap mahasiswa dalam mempelajari bahasa Inggris.

Jujur, kelas Pre-Elementary itu lebih asik. Suasananya tidak pernah tegang, dan seolah jam belajar hanya dilakukan untuk bermain-main saja dengan bahasa Inggris. Oya, ngomong-ngomong soal daftar yang diminta untuk dibuat, berikut ini adalah daftar yang Saya buat saat itu:

  • Like
    • Drawing
    • Computer
  • Love
    • Cartoon
    • Writing
  • Dislike
    • Talking
    • Sport
  • Hate
    • Politic
    • Math

Sebenarnya akan lebih tepat jika kategori love ditempatkan di bagian paling atas, tapi pada saat itu keadaannya adalah kita semua menyatakannya setelah kategori like.

Miss Icha memeriksa daftar yang Saya buat dan dia hanya berkomentar begini, “Let me see… Drawing, computer. Hmmm… Oh, so you like writing? Writing what?”

Ehm. Saya tidak bisa mengatakannya, jadi Saya bilang saja kalau itu rahasia. Dia berkata lagi, “You don’t like politic and math.”

Blablablaaa… hanya itu saja yang Saya ingat. Setelah selesai membuat daftar, kami semua diminta untuk membagi diri menjadi dua kelompok.

Di kelas Pre-Elementary ini hanya ada dua orang laki-laki. Yang pertama adalah Saya dan yang ke dua adalah Ihvan. Ihvan Nur Sauqih. Orangnya tinggi besar, tapi tidak bisa dibilang gemuk. Hanya seperti bapak-bapak saja. Dulu dia sempat mendaftarkan diri menjadi polisi tapi akhirnya gagal diterima karena matanya minus. Itu adalah sedikit cerita yang Saya dengar dari dia sendiri.

Jadi, ketika kelompok sudah terbentuk, maka pada masing-masing kelompok hanya akan ada satu orang laki-laki saja. Setiap orang dalam kelompok diminta untuk berbagi tentang hal-hal yang disuka dan yang tidak disuka, sama seperti apa yang telah dituliskan dalam daftar masing-masing dengan menggunakan bahasa Inggris.

Pokoknya begitulah! Saat itu Saya berkata “I don’t like talking”, semua cewek di kelompok Saya bertanya, “Kamu nggak suka ngomong? Kenapa?” Mereka tanya ke Saya serius sekali sampai wajahnya didekatkan ke muka Saya dekat sekali, jarak yang bisa dibilang terlalu dekat untuk ukuran Saya. Saya jawab kalau itu bukan merupakan bakat Saya. Begitu saja. Setelah itu Saya juga bilang kalau Saya tidak suka dengan olahraga (dalam bahasa Inggris). Kemudian mereka tanya lagi, “Kamu nggak suka sport? Berarti kamu nggak suka olahraga dong? Kenapa?” Saya jawab kalau olahraga itu membosankan bagi Saya. Miss Icha yang sejak tadi mendengarkan obrolan kami dari belakang menimpali kami tanpa memandang, “In English please…” karena sejak tadi kita ngobrolnya pakai bahasa lokal, hehe.

Jujur, semuanya terasa menyenangkan di sini. Meskipun sebenarnya mata kuliah bahasa Inggris bukan merupakan target Saya dalam hal pencapaian tujuan hidup Saya yang sekarang, yaitu untuk menjadi seorang perawat. Akan tetapi, tanpa kelas ini mungkin kuliah Saya akan jadi terasa sangat membosankan. Kenapa?

Saya tidak bisa mengatakan bahwa mempelajari bahasa Inggris adalah sesuatu yang percuma dan/atau membuang-buang waktu. Setiap orang pasti akan membutuhkannya kelak, betapapun membosankannya hal itu. Dan satu hal yang terpenting dari semua ini adalah bahwa, sejak awal kelas bahasa Inggris ini berjalan, si dia sudah berada di kelas Pre-Elementary bersama dengan Saya. Satu kelas dengan Saya. Jauh sebelum Saya memiliki perasaan khusus kepadanya.

Sebelumnya Saya tidak pernah memiliki keberanian untuk menuliskan hal-hal semacam ini. Tapi beberapa hal seperti usia yang sudah makin membengkak dan tujuan hidup Saya yang makin jelas membuat Saya menjadi lebih santai dan cuek dengan apa yang Saya ceritakan. Bahkan jika ternyata nantinya Saya gagal untuk memiliki hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang tersebut, Saya rasa Saya tidak akan merasa malu dan menyesalinya. Saat ini Saya hanya ingin menikmati apa saja yang sedang terjadi dalam diri Saya.

Asalnya dari Tegal. Anaknya manis. Usianya masih 18 tahun. Bapaknya adalah seorang guru SMA, ibunya adalah seorang perawat di sebuah klinik di Tegal. Tiga bersaudara, wanita semua. Kakak pertamanya adalah seorang perawat, yang ke dua adalah seorang mahasiswa kebidanan di kampus yang sama dimana dia berada saat ini. Sayangnya sampai saat ini Saya belum pernah melihat sekali pun dia bertemu atau mengobrol secara langsung dengan kakaknya di sini.

Mungkin lain kali.

Sebelum ini Saya percaya akan istilah “cinta pada pandangan pertama”. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman hidup yang telah Saya lalui, sampai sekarang Saya belum pernah mengalami hal semacam itu.

Pas awal-awal kuliah dulu Saya tidak memiliki perasaan khusus sedikitpun kepadanya. Bagi Saya, semua wanita di sini derajatnya sama yaitu sebagai teman satu kampus saja. Akan tetapi sekarang situasinya sudah berbeda. Seiring berjalannya waktu, Saya jadi sering memperhatikan dia karena dia sepertinya juga sering memperhatikan Saya. Sebelumnya Saya hanya merasa penasaran saja sebenarnya apa si yang ada di dalam pikirannya setiap kali dia memperhatikan Saya. Dan semakin hari Saya memperhatikan dia, semakin hari Saya malah jadi merasa seperti, “Eh, kalau dilihat-lihat lagi, ternyata dia manis juga ya.”

Makin hari makin manis. Kalau nulis SMS suka ditambahi emotikon. Dia juga terlihat cocok kalau memakai baju-baju bergambar kartun kawaii, padahal tidak banyak loh, wanita berhijab yang bisa terlihat cocok dengan gaya berpakaian semacam itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir bahwa Saya akan suka dengan wanita yang memakai hijab. Prediksi terakhir yang Saya ketahui adalah dia suka dengan tokoh kartun Tasmanian Devil. Udah gitu aja dulu. Sekian. Babaaayyy…

6 Desember 2014