Barisan Hitam Putih
Dasar kantin industri… semuanya serba dingin! Dan bau ini, hmmm… sejauh yang Aku kenal, ini adalah bau-bauan semacam karet penghapus anak-anak zaman dulu. Ya, kurasa cuma bau mirip karet penghapus dan suasana dingin inilah yang menurutku paling memberikan kesan sejak pertama Aku datang ke sini pagi tadi. Hari ini adalah saatnya Aku menjalani tes masuk PT. Tidak kusangka, ternyata di sini banyak sekali anak seumuranku yang bisa dibilang mempunyai tujuan yang sama, mencari pekerjaan. Dan di dalam kantin ini jugalah kami semua akan menjalani masa-masa tes kemampuan memasuki dunia bekerja. Aku gugup sekali!
Di sinilah Aku, terdiam duduk bosan seperti patung, dengan seragam hitam putihku yang menurutku malah semakin membuatku mirip dengan kotoran cicak! Kotoran cicak berukuran raksasa, yang tidak hanya bau namun juga bisa berbicara dan berjalan-jalan. Dan yang terburuk, kusadari ternyata Aku sedang berada di antara gerombolan kotoran cicak dalam berbagai ukuran dan spesies yang tidak hanya bau namun juga bisa berbicara dan berjalan-jalan. Mengerikan!
Tiga orang anak duduk di hadapanku. Yang pertama, kulihat dari ijazahnya, dia bernama Kristyanto. Seorang anak yang tampak dewasa dan mandiri, sagat berbeda denganku, meski ukuran badanku masih sedikit lebih tinggi darinya. Dan yang kedua bernama Jeffry, dari Kebumen. Seorang anak berkulit sawo matang dan tampak pendiam, sepertinya dia termasuk tipe pekerja keras. Hmmm… sedangkan yang paling kanan itu, entah siapa namanya, tapi sewaktu pertama kali kita bertemu, dia bilang dia berasal dari Subang. Sedari tadi dia hanya duduk menunduk, sibuk meruncingkan pensilnya yang hanya tinggal 7 cm itu. Dasar aneh! Tapi jika kulihat sepintas dari wajah dan cara dia berbicara, menurutku dia termasuk dalam golongan anak-anak yang rajin. Entah kenapa, sejak awal kuyakini dia akan segera diterima di sini.
“Krodok… krodok… NGIIIINNNNNGGGGGG!!!!!!”, suara mikrofon yang terketuk itu membuat kami semua tersantak kaget. Tesnya akan dimulai! Pertama kali, seorang instruktur sekaligus psikolog lelaki beruban dan tampak galak itu meminta kami semua untuk mengingat nomor peserta kami yang saat itu dia buat secara mendadak (sang instruktur praktis berkulit putih itu hanya menghitung kami semua dari depan ke belakang berurutan layaknya sedang menghitung sekumpulan bangkai katak yang hendak dia telan). Kebetulan Aku mendapatkan nomor 43. Ya, kurasa itu nomor yang bagus! Dan beberapa saat setelah itu, tahap psikotes pertamapun dimulai. Semangat!
***
“Eh, Fik, waktu psikotes kemarin, yang bagian garis melengkung kecil itu kamu gambar jadi apa?” Seorang anak berkulit cokelat tiba-tiba saja bertanya padaku malu-malu. Namanya Jeffrino. Dia adalah orang pertama yang berhasil membuatku menoleh ke belakang dengan susah payah! Pertama kali Aku mengenalnya di masjid dua hari yang lalu, ketika kami semua sedang beristirahat sehabis melewati tahap psikotes yang pertama. Tadinya dia bekerja di Innovation Store, bagian penjualan, namun karena merasa bosan dan tidak cocok, pada akhirnya dia memutuskan untuk keluar. Sayang sekali.
Dia juga orang pertama yang dengan santainya mengatakan kalau Aku ini orangnya kemayu. Huakhakhakhakha… Aku cuma tertawa saja dalam hati. Mungkin itu cuma karena warna kulitku yang (katanya) putih dan juga sifat pemaluku yang sejak lahir memang sudah melebihi dosis. Padahal, dari dalam lubuk hati dan gejolak jiwa mudaku yang paling dalam ini, jelas-jelas Aku sudah tersertifikasi pabrik sebagai seorang lelaki tulen yang masi bisa dag-dig-dug brot ketika disuguhi video mesum! (Hohohohooo…)
Sebenarnya Aku tidak terlalu keberatan dengan komentar-komentar orang lain mengenai diriku. Justru, ketika seseorang mengomentari beberapa hal dalam dirimu yang mungkin memberatkannya, itu sudah menunjukkan bahwa dia peduli padamu. Dia menginginkan sesuatu yang menurutnya lebih baik jika diterapkan pada dirmu. Atau dengan kata lain, sebenarnya selama ini dia telah banyak memperhatikanmu, hingga pada akhirnya dia berhasil memutuskan sebuah model yang menurutnya paling pas! Dan dia harap, kamu juga bisa menjadi seseorang yang seperti itu. Tapi sayangnya, yang namanya komentar orang itu memang tidak selalu mutlak sama seluruhnya. Sebenarnya, yang terpenting bukanlah semata-mata komentar orang lain pada dirimu saja, tetapi ada satu hal lagi yang lebih penting, yaitu mengenai: Sebenarnya apa sih, komentarmu mengenai dirimu sendiri selama ini?
“Aku menggambar pedang.” Kubuka telapak tangan kiriku dan kugambarkan ulang sebuah pedang dimulai dari sebuah garis lengkung kecil berbentuk integral.
“Wah, di sekolah kamu pinter nggambar, ya?”, Ino tersentak kaget karena melihat citra goresan singkat penaku yang luar binasa bombastis mercon, “Kelihatan jelas tuh, dari goresannya!”
Aku cuma tersenyum saja waktu itu. Ternyata dia lumayan pintar menilai orang dalam sekejap. Cukup lama kami berdua mengobrol, sekedar untuk memanfaatkan waktu menunggu kami mengenai pengumuman hasil tes dua hari yang lalu. Jika kami berhasil lolos, maka tes akan dilanjutkan lagi ke wawancara User dan medical check-up (tes kesehatan).
Begitulah kejadiannya, hingga beberapa saat setelah itu, datanglah seorang satpam yang menginstruksikan kami semua untuk keluar melihat hasil pengumuman lolos seleksi yang terpampang telanjang bulat di kaca jendela Pos Satpam. Suasana hatiku benar-benar sedang baik saat ini! Namun terkadang, suasana hati dan firasat yang baik saja memang tidak cukup untuk memperbaiki masa depan. Sepertinya akhir-akhir ini Aku memang kurang rencana. Dan keputusan akhir yang kulihat dalam tabel itu telah jelas memerintahkanku untuk memulai semuanya dari awal lagi. Kembali lagi dari awal, sama seperti sebelum semua ini terjadi.
Setiap peserta yang lolos seleksi akan dicantumkan nomor pesertanya dalam tabel. Ugh! Kami semua benar-benar berdesak-desakan waku itu, hingga pada akhirnya Aku mendapatkan kesempatan juga untuk membaca tabel. Meskipun hanya sesaat, tetapi Aku bisa melihat urutan angka-angka itu dengan jelas:
…
42
44
45
46
…
19 – 21 Juni 2010
0 Komentar