Ayah Saya adalah anak tiri. Akhirnya Saya paham betul mengenai bagaimana situasinya.
Beberapa tahun semenjak Saya bekerja sebagai perawat bedah di kota Saya, perlahan-lahan saudara Saya mulai memberanikan diri untuk menceritakan kepada Saya mengenai latar belakang keluarga Saya, dan bagaimana kekhawatiran mereka terhadap nasib Saya serta nasib ayah dan ibu Saya nanti, setelah mereka sudah menua, dan terutama setelah mereka meninggal dunia.
Pada saat itu Saya sedang menatap layar komputer, sementara kakak Saya duduk di samping Saya sambil berbicara kepada Saya yang sedang tidak fokus. Sudah hampir setahun ini Saya hidup bersama kakak Saya saja, berdua dalam satu rumah kecil yang bertempat di pinggir jalur lintas kereta api. Dia sendiri yang membeli rumah tersebut, dibantu oleh suaminya yang hidup terpisah.
Jaraknya cukup dekat dengan stasiun Sumpiuh. Kalau ada kesempatan kalian boleh mampir ke sini.
Dulu dia sendiri yang meminta Saya untuk menemaninya. Selain karena kakak Saya adalah orang yang penakut ketika malam-malam, dia bilang kualitas air dan suhu udara di sini jauh lebih baik dibandingkan dengan kualitas air dan suhu udara di rumah kedua orangtua kami yang bertempat di pinggir sawah: airnya berkarat, udaranya kering dan berdebu.
Dia menginginkan Saya untuk belajar hidup mandiri, berbagi penghasilan untuk digunakan bersama-sama; sekaligus menyisihkan sisanya untuk diberikan kepada ayah dan ibu Saya di rumah yang lama.
Ayah Saya sudah tidak lagi aktif bekerja seperti dulu. Sekarang lebih banyak menghabiskan waktu mengurusi kucing, ayam, dan ikan dibandingkan mengurusi barang-barang elektronik untuk diperbaiki. Alat-alat elektronik zaman sekarang sudah tidak lagi sama dengan alat-alat elektronik zaman dahulu. Ukuran komponen-komponennya sudah terlalu kecil. Sangat sulit untuk mengganti bagian-bagiannya dengan yang baru. Selain itu, harga alat-alat elektronik zaman sekarang juga sudah makin menurun, membuat orang-orang jadi lebih cenderung untuk membeli alat yang baru ketika alat yang lama sudah rusak dibandingkan harus repot-repot memperbaikinya.
Sekitar sebulan yang lalu ibu Saya memutuskan untuk pensiun. Beliau sebelumnya bekerja sebagai guru TK di sebuah sekolah milik yayasan, sehingga ketika tiba waktunya untuk pensiun, maka pada saat itu sudah tidak akan ada lagi penghasilan yang bisa diperoleh untuk hidup.
Tanah dan rumah kedua orangtua Saya, bisa dibilang sebenarnya bukan merupakan milik pribadi. Semuanya milik kakek Saya yang kemudian seterusnya ditinggali oleh nenek Saya, ibu, dan ayah Saya hingga kami semua tumbuh dewasa. Nenek Saya sudah lama meninggal. Agak lupa persisnya kapan, sepertinya ketika Saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Dan kakek Saya? Seumur hidup Saya belum pernah melihatnya. Ibu Saya bilang dia pergi meninggalkan ayah dan nenek Saya untuk menikah lagi. Wajar jika ayah Saya sampai begitu membencinya.
Sebelumnya Saya sudah pernah memiliki rencana untuk merenovasi rumah milik orangtua Saya supaya bisa digunakan lebih lama lagi hingga sampai ke keluarga Saya. Tapi kakak Saya memperingatkan agar tidak usah lagi berharap terlalu banyak dengan tanah dan rumah milik orangtua. Karena, bukan hal yang mustahil bahwa tanah dan rumah tersebut tidak akan sampai kepada Saya dan saudara-saudara Saya ketika kedua orangtua kami sudah meninggal. Jadi, daripada merencanakan kelanjutan tanah dan rumah tempat tinggal orangtua Saya di masa depan yang tidak jelas lagi siapa pemiliknya, akan lebih baik jadinya jika Saya merencanakan masa depan Saya sendiri saja dari nol, tanpa harus bergantung kepada apa-apa yang sudah ada.
Ini adalah untuk pertama kalinya Saya diberitahu mengenai apa-apa yang akan terjadi nantinya ketika kedua orangtua Saya meninggal dunia tanpa menimbulkan perasaan takut. Seolah-olah, masa depan yang seperti itu bukan merupakan sesuatu yang harus diratapi.
Bagi kebanyakan orang, menjadi anak terakhir itu adalah sebuah anugerah sekaligus juga sebuah keuntungan. Karena menjadi anak terakhir berarti mendapatkan jaminan berupa dukungan eksklusif dari segi keuangan dan pengalaman dari saudara-saudaranya yang lebih tua. Bagi kebanyakan orang, menjadi anak terakhir adalah sama dengan jaminan masa depan yang mapan karena tidak adanya saudara baru yang lebih muda darinya sehingga akan semakin sedikit persaingan. Maka, anak terakhir yang biasanya akan mendapatkan hak-hak waris yang lebih banyak jika dibandingkan dengan hak-hak waris untuk saudara-saudaranya yang lebih tua.
Saya sendiri tidak tahu persis seperti apa sebenarnya cara menghitung porsinya, baik dari segi matematika maupun dari segi agama. Tapi kebanyakan saudara yang lebih dewasa, yang sudah lebih dulu menikah biasanya sudah sedikit-sedikit mengembangkan kualitas hidup mereka tanpa harus bergantung kepada warisan dari orangtua, entah dengan cara menabung bersama pasangan, atau dengan cara menjalani kehidupan yang terpisah dari orangtua, sehingga biaya kebutuhan rumah tangga bisa difokuskan hanya untuk keluarga dan anak saja. Dan oleh karena itu, ketika saudara yang paling muda sudah masuk pada waktunya untuk menikah, dimana kondisi ekonomi saudara-saudaranya yang lebih tua sudah mulai bangkit, maka hak-hak waris tersebut di kemudian hari menjadi seolah tidak penting lagi untuk dibahas oleh saudara-saudaranya yang lebih tua. Mereka sadar bahwa berjuang hidup dengan kemampuan diri sendiri akan jauh lebih baik dan lebih memuaskan dibandingkan dengan hanya mengandalkan kemampuan ekonomi orangtua.
Dan oleh karena itu, saudara yang paling muda biasanya akan mendapatkan bagian yang lebih banyak karena posisi dia yang saat itu tidak memiliki modal dan pengalaman sebanyak saudara-saudaranya yang lebih tua saat itu. Selain juga karena kebaikan saudara-saudaranya sehingga hal-hal yang akan diwariskan oleh orangtua mereka di masa depan menjadi tidak begitu dipermasalahkan lagi oleh mereka yang sudah lebih dulu berkeluarga.
Tidak jarang anak terakhir akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang penurut karena saudara-saudaranya yang terlalu sering memberikan saran dan larangan untuk melakukan hal-hal tertentu demi kebaikan bersama. Semuanya seolah sudah menjadi rencana, terutama demi kebaikan si anak bungsu tersebut.
Saya merasakan betul kondisi-kondisi semacam itu. Tapi mau bagaimana lagi, meski Saya merasa terkekang, berkat sikap Saya yang hanya nurut-nurut saja, sampai sejauh ini hidup Saya bisa dibilang aman-aman saja. Tidak ada masalah yang serius mengenai hutang, konflik dengan orang lain, dan juga masalah dalam urusan asmara. Justru, ketika Saya mencoba keluar dari batasan-batasan zona nyaman Saya dan mulai berinisiatif sendiri untuk mengambil keputusan akan masa depan Saya, hidup Saya malah jadi makin berantakan.
Tapi hal itu sayangnya membuat pandangan hidup Saya menjadi semakin sempit, karena pengalaman Saya yang sangat sedikit. Semua hal yang terjadi dalam kehidupan Saya sebagian besar terbentuk atas dasar pengalaman-pengalaman saudara-saudara Saya di masa lalu.
Selama ini Saya memandang bagaimana kehidupan orang-orang di sekeliling Saya yang begitu independen, tegas dan mantap dalam mengambil keputusan. Mereka seolah menjadi satu-satunya orang yang berhak untuk memilih masa depan seperti apa yang mereka mau. Dengan bayangan-bayangan yang seperti itu, Saya jadi memandang orang lain sebagai orang-orang yang mandiri dan dewasa, teguh pendirian, tegas, dan layak untuk menjadi pemimpin keluarga dalam waktu yang tidak akan lama.
Sejujurnya Saya begitu iri. Memandang bagaimana Saya yang setiap hari hanya menghabiskan waktu untuk pergi-pulang bekerja tanpa adanya kebebasan untuk menikmati hasil pekerjaan yang Saya dapatkan, dan memanfaatkan waktu luang yang Saya miliki.
Kalau dipikir-pikir lagi, kehidupan bekerja versi Saya sekarang sebenarnya tidak ada bedanya dengan kehidupan sekolah Saya di masa lalu. Tahun-tahun berlalu, dan kenyatanya memang tidak banyak yang berubah.
Hal tersebut membuat Saya jadi ragu akan kemampuan Saya untuk hidup mandiri di masa depan, terutama mengenai bagaimana Saya bisa hidup bersama pasangan Saya nantinya. Mengenai bagaimana Saya bisa memenuhi kebutuhan keluarga Saya ketika Saya sendiri tidak yakin akan kemampuan Saya dalam mengurus diri Saya sendiri, karena Saya yang tidak memiliki kontrol dan pendirian untuk mengambil keputusan hidup sesuai dengan kehendak dan ideal Saya sepanjang 28 tahun ini.
Mungkin kondisinya tidak akan serumit ini jika Saya adalah seorang wanita.
Saya bukan orang yang religius. Saya yakin hal tersebut dapat diperbaiki seiring berjalannya waktu. Saya hanya tidak ingin jika peningkatan sisi kereligiusan Saya hadir hanya karena keinginan Saya untuk mencapai tujuan dunia. Entah itu karena Saya yang memiliki keinginan untuk bertambah kaya, untuk bertambah sehat, atau untuk mendapatkan jodoh yang terbaik. Hasrat dan angan-angan Saya selama ini Saya sadari masih sangat bertitik berat kepada ego.
Saya menginginkan sesuatu hadir dalam kehidupan Saya karena Saya pikir Saya pasti akan bahagia dan bangga jika begitu keadaannya. Tapi pengalaman-pengalaman Saya selama ini tidak pernah menunjukkan hal-hal seperti itu. Tuhan selalu mencegah Saya untuk memperoleh apa-apa yang menurut Saya baik, bahkan ketika Saya berpikir bahwa hal tersebut baik untuk kedua orangtua Saya. Sehingga semua hal yang Saya inginkan akhirnya dibelokkan kepada sesuatu yang entah, Saya sendiri sebenarnya tidak begitu menginginkannya. Tapi keluarga dan saudara-saudara Saya menganggap hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang baik untuk Saya. Mereka bangga dengan kondisi Saya yang sekarang, sementara Saya pribadi merasa tidak begitu menikmatinya. Meskipun rasa hampa tersebut biasanya dapat hilang sementara setiap kali Saya mendapati respons yang positif dari saudara-saudara Saya akan kondisi dan keputusan-keputusan yang sebenarnya bukan merupakan keinginan Saya.
Berkali-kali Saya berpikir, mungkin jika Saya memperbaiki sisi kereligiusan Saya, keinginan-keinginan Saya yang sebenarnya akan jauh lebih mudah untuk tercapai karena negosiasi yang baik dengan Tuhan. Tapi Saya khawatir iman Saya kemudian akan goyah ketika akhirnya Saya mendapatkan hal-hal yang Saya mau.
Setidaknya, orang-orang di sekeliling Saya merasa senang.
Tapi, hal tersebut justru membuat Saya jadi makin tidak suka dengan diri Saya sendiri. Yang kemudian membuat Saya jadi merasa kesulitan untuk membuka hati kepada orang lain karena adanya perasaan khawatir jika orang tersebut tidak suka dengan kondisi Saya yang sesungguhnya. Saya tidak ingin sampai membuat pasangan Saya malu karena telah memutuskan untuk hidup bersama Saya yang tidak dewasa.
Kamis, 11 Februari 2021
4 Komentar
Bayu
Kondisimu masih sangat teramat jauh lebih baik dibanding kondisi saya. Aku mah udah ancur ancuran mas hidupnya. Masih numpang tinggal ortu, gak mandiri, dan banyak lagilah..
Pengen tinggal sendiri ngontrak kayak gtu, tapi penghasilan gak memungkinkan. Malah sampai kebawa mimpi ketemu temen temen yg udah berhasil. Sakit bgt rasanya.
Kalo diliat dari kondisi mas masih sangat jauh lebih baik dari kebanyakan orang. Mungkin supaya bisa lebih leluasa bisa cari kos atau kontrakan, walau harus keluar duit lebih banyak. Tapi seenggaknya gak terkekang. Ya tau sendirilah tinggal numpang itu waduh sama kayak dipenjara sih.
Tapi kalo masih bisa ditahan beberapa bulan atau tahun, ya gak masalah juga sih sambil nunggu waktunya bisa hidup sendiri dan mandiri.
Pengalaman sampeyan udah banyak mas, seenggak-enggaknya udah pernah ngekos dan tinggal jauh dari orang tua. Mungkin emg bakalan berbeda bgt kalo udah nikah dan punya keluarga sendiri. Andaipun saya diberi penghasilan yang cukup untuk membangun rumah tangga sama pasangan saya nanti, saya juga sampe sekarang masih gak yakin bisa membina rumah tangga kayak orang-orang dan kayak temen-temen saya yang udah berumah tangga.
Kalo saya sekarang mikirnya, ya udah jalani aja deh. Moga moga kuat, dan dikuat-kuatin ajalah. Karena tiap individu emg beda-beda jalannya.
Perjalanan udah sejauh ini, saya yakin masnya bisalah, apalagi udah punya pekerjaan yang seperti sekarang.
Kalo saya sih orang yang berpikiran bahwa, kereligiusan itu bukan untuk menggapai dunia. Dunia ya dunia, digapai dengan cara dunia. Kalo urusan akhirat ya lain lagi. Soalnya banyak yg bilang kalo pengen sukses dunia akhirat ya rajin rajinlah beribadah. Menurut saya klo kayak gtu malah jadi kayak gak tulus aja ibadahnya. Ibadah itu kan untuk Tuhan, kenapa jadi urusannya dunia.
Seperti kayak sholat karena diajak oleh orang lain dan sholat karena emang keinginan dari diri sendiri, kan rasanya beda. Lebih enak yang dari keinginan sendiri.
Menurut saya kereligiusan itu proses alami yang gak bisa dipaksa-paksa mau bagaimanapun caranya. Dan menurut saya, kereligiusan itu gak ada hubunnganya sama kesusksesan di dunia. Kalo Tuhan pengen ngasih berkahnya ke seseorang, ya kasih aja mau religius mau nggak. Karena saya mikirnya kalo udah ngarepin keuntungan dubia dsri ibadah ya rasanya esensi dari ibadah itu sendiri malah ilang.
Itu mah menurut saya sih.
Oh iya, kali saya lagi mudik ke purworejo juga kelewat tuh stasiun sumpiuh. Wkwk
Taufik Nurrohman
@Bayu — Akhirnya ada juga yang komentar hehehehe. Makasih mas atas motivasinya. Walaupun jadi nggak enak juga soalnya seolah-olah Saya jadi lega karena ada orang lain yang lebih kurang dari Saya. Sekarang udah kerja di mana mas? Lama nggak tahu kabarmu. Blog juga sudah pada hilang.
Bayu
@Taufik Nurrohman — Bukan motivasi. Saya gak suka memotivasi orang. Gak nyuruh orang buat bersyukur juga sih. Cuma cerita aja. Semua orang punya cerita “berdarah-darahnya” masing-masing, gtu.
Saya sekarang dagang mas, di rumah. Wkwkwk
Iya, pengen nulis lagi walau saya tau tulisan saya sangat kacau.
Taufik Nurrohman
@Bayu — Wah santai dong mas jam kerjanya bebas.