Saya yang Memilih untuk Lari dari Masalah

Distraksi yang dahulu dapat diatasi dengan bunyi-bunyi gantungan kunci kini telah berganti menjadi bunyi-bunyi mesin anestesi.

Waktu itu adalah masa-masa yang sulit. Dan kalau dipikir-pikir lagi hari ini, Saya jadi merasa bodoh. Berpikir untuk jatuh cinta kepada seseorang padahal belum siap menerima penolakan. Bagi Saya yang sekarang, untuk jatuh cinta saat itu seperti sedang menambah kebutuhan hidup saja yang padahal sebelumnya, tanpa itu Saya juga masih bisa hidup. Tapi karena sudah tergantung dan tumbuh menjadi semacam cita-cita, maka ya kalau tidak ada atau gagal mencapainya rasanya jadi ada yang kurang. Dan kalau dipikir-pikir lagi sekarang, yang membuatnya menjadi kurang sebenarnya adalah diri Saya sendiri, yang sudah menambah-nambah standar kehidupan. Padahal sebelumnya Saya merasa cukup-cukup saja.

Sekarang Saya sudah lepas dari semua itu. Atau lebih tepatnya, sudah berhasil lari dari masalah. Ya, Saya merasakan bahwa masalah Saya dahulu belum selesai. Pertemanan Saya dengan beberapa orang di bangku kuliah kandas gara-gara sesuatu yang sangat memalukan dan norak. Sangat sepele, hingga andaikan saja Saya bisa bertemu dengan diri Saya saat itu, mungkin Saya sudah membunuhnya begitu saja karena perasaan malu.

Tapi… kini Saya lebih memilih melupakannya. Saya ingin memulai kehidupan yang baru di lingkungan yang baru. Lari, keluar dari masalah dengan cara yang pengecut.

Tidak banyak orang yang tahu. Hanya orang-orang tertentu saja seperti teman-teman dekat Saya dan juga musuh Saya. Konflik berjalan secara tidak adil karena Saya yang lebih memilih untuk diam dan bukannya menyelesaikan permasalahan yang ada secara dewasa. Teman-teman yang tahu akan masalah tersebut juga agaknya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berusaha untuk netral pada kedua, tiga, empat belah pihak karena bisa dibilang semua orang sebenarnya sudah menjadi korban.

Saya tidak tahu siapa yang bersalah. Setiap orang punya pembelaan masing-masing atas kerugian yang dialaminya hingga seolah tidak akan ada titik temu. Pada akhirnya, kita semua hanyalah sekumpulan anak muda yang belum begitu mengerti tentang apa itu pengorbanan dan apa perlunya. Dan satu-satunya jalan untuk mendamaikan semuanya adalah tidak lain, mau tidak mau salah satu pihak harus mengalah. Pihak yang sudah jelas kalah. Jadi, sekitar satu bulan sebelum wisuda, Saya memutuskan untuk magang kerja di RSU Siaga Medika Banyumas sambil berharap bisa melupakan segalanya.

Kontrak

Singkat cerita, Saya akhirnya resmi kontrak kerja di RSU Siaga Medika Banyumas selama tiga tahun. Sempat berpindah-pindah unit kerja juga beberapa kali, tapi sejak Januari 2018, Saya diminta untuk menetap di IBS.

Ketika Saya masih berada di IGD, Saya sempat bertemu dengan Devi. Saya masih ingat waktu itu siang hari. Dia sedang duduk-duduk di samping pintu masuk ruang SDM bareng temannya yang tidak Saya kenal. Mereka bilang mau ndaftar.

Sampai hari ini Devi telah positif bekerja di bangsal Crysan C, bangsal khusus pasien kelas III wanita, bersama dengan temannya itu, yang kemudian Saya ketahui bernama Heni. Heni Praditia. Heni bekerja di bangsal Crysan A dan B, bangsal khusus pasien kelas I dan II wanita. Ngomong-ngomong, Heni baru-baru ini telah resmi menikah dengan Ginanjar, salah satu teman kerja Saya di IBS.

Selang beberapa bulan setelah itu Saya bertemu juga dengan Sutikno dan Nadia. Sutikno ditempatkan di bangsal Lily C, bangsal khusus pasien kelas III laki-laki, sedangkan Nadia ditempatkan di bangsal Mawar, tempatnya para ibu hendak dan habis bersalin. Posisi Saya saat itu adalah Saya sudah dipindahkan ke IBS.

Masih tidak bisa lupa seperti apa rasanya waktu itu. Masa-masa itu adalah masa-masa muda terbodoh dan terceroboh sepanjang sejarah. Meski sudah Saya ingat-ingat kembali ratusan kali, tapi tetap saja tidak bisa masuk di akal Saya yang sekarang.

Rasanya seperti mau muntah. Muntah lambung dan usus, dan semua organ tubuh yang ada, bisu dan kaku, seperti mau pingsan. Saya jadi sering berdiri di tengah kerumunan orang banyak dan merasa kosong di saat yang bersamaan. Beberapa orang kadang memanggil Saya dari jauh tapi Saya tidak merespon. Saya tahu mereka memanggil Saya tapi sesuatu membuat tenaga Saya menurun drastis hingga bahkan untuk sekedar menoleh saja rasanya tidak sanggup. Harus minta tolong kepada siapa?

Lingkungan Saya perlahan berubah menjadi sesuatu yang tidak penting lagi. Saya berubah apatis, merasa tidak aman di segala aspek, curiga kepada semua orang. Rasanya seperti telanjang. Saya benar-benar bingung; hari-hari berganti dan selalu yang Saya harapkan sepanjang waktu adalah agar bisa segera pulang saja ke tempat kos dan tidur siang. Sendirian. Di kamar yang gelap.

Rutinitas

Dua tahun berlalu setelah masa-masa itu, dan rasa-rasanya semua aspek kehidupan Saya yang sekarang sudah berubah menjadi rutinitas belaka. Tidak ada hal-hal menarik lagi yang bisa Saya ceritakan. Tidak ada lagi cita-cita yang mampu Saya rencanakan dengan benar. Semuanya berjalan serba mendadak. Tapi semuanya berjalan baik-baik saja sampai sekarang. Entah tahun depan bagaimana, setelah habis kontrak kerja bagaimana. Sementara ini Saya tidak ada bayangan lain kecuali hanya ingin melanjutkan hidup yang begini-begini saja, dengan cara mengajukan permohonan untuk memperpanjang kontrak kerja.

Dahulu Saya pernah cerita bahwa Saya telah memberitahukan keberadaan jurnal ini kepada beberapa orang yang Saya anggap layak. Hingga sekarang Saya sadar bahwa hal yang memotivasi Saya untuk mati-matian berusaha memberitahukan semua ini kepada orang-orang tersebut adalah bukan karena Saya berpikir bahwa mereka layak, tapi karena dengan begitu mungkin Saya akan bisa mendapatkan sedikit pertolongan dari mereka. Karena Saya benar-benar sudah putus asa. Terlebih lagi dengan adanya berbagai saran yang menyatakan agar Saya tidak terus-menerus memendam permasalahan seorang diri. Mereka bilang alasannya karena Saya adalah makhluk sosial. Hal-hal seperti itu yang membuat Saya jadi termotivasi dan berpikir bahwa untuk sedikit lebih terbuka kepada orang lain mungkin tidak sepenuhnya salah. Saya hanya sedang berusaha menjadi manusia yang lebih normal.

Tapi ternyata, tidak semua saran yang ada adalah relevan dengan kehidupan nyata, terutama dengan kehidupan Saya. Dan karena Saya yang begitu lugu pula, pada akhirnya, salah seorang di antara mereka justru malah memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang ada pada diri Saya dan mengkhianati Saya.

Orang itu, yang sempat Saya anggap sebagai teman, ternyata lebih memilih ego yang dia punya dibandingkan dengan pertemanan yang kita punya. Sejak saat itu, Saya memutuskan untuk berhenti berhubungan dengannya, juga dengan semua hal yang terkait dengan ini. Semua cerita ini, dan masa-masa muda yang sia-sia ini. Persahabatan ini, semuanya semu. Setiap orang ternyata telah menyusun berbagai rencana lain secara diam-diam. Dan terkadang rencana tersebut mungkin jadi sulit untuk tercapai karena adanya berbagai penghalang di sana-sini.

Mungkin Saya yang menghalangi. Dan oleh karena itu mereka memutuskan untuk menyingkirkan Saya.

Usia Saya sekarang sudah 27 tahun dan masih belum bisa terlepas dari rasa tidak percaya bahwa untuk menjadi orang dewasa itu berarti berusaha menjalani hidup untuk memenuhi kehendak orang lain.

Saya sudah baik-baik saja sekarang. Sudah ada teman-teman yang baru. Teman-teman sementara yang tidak perlu Saya harapkan untuk berperilaku dan bertindak sesuai kehendak Saya. Teman-teman yang dalam waktu dua-tiga tahun pasti akan pergi juga untuk mewujudkan cita-cita mereka yang masih terpendam karena belenggu kontrak kerja dan kebutuhan akan uang. Saya tidak ingin mengalaminya lagi. Saya sudah memutuskan untuk berhenti berharap kepada manusia, sejak saat itu.

30 Mei – 11 September 2019