Mungkin momok terbesar bagi sebuah perusahaan swasta adalah ketika pemerintah membuka lowongan CPNS. Terdengar kabar bahwa beberapa teman Saya di sini, baik yang bekerja di ruang OK maupun yang ada di bangsal, diam-diam telah mendaftarkan diri sebagai CPNS tanpa sepengetahuan pihak kepegawaian. Maklum, dari sisi kebijakan RS memang tidak memperbolehkan para karyawan untuk mendaftar kerja di tempat lain selama masih dalam masa kontrak. Hari ini tanggal 6 Oktober 2018. Sebenarnya sekarang jadwal Saya adalah libur tapi terpaksa harus menggantikan jadwal Suseno yang jaga pagi. Dia bilang ke Saya kalau hari ini dia ada kepentingan keluarga. Saya sebagai teman yang kebetulan sanggup untuk menggantikan jadwalnya hari itu mengiyakan saja dengan alasan yang dia berikan yang sebenarnya sama sekali tidak menjawab pertanyaan Saya kala itu. Kecurigaan pertama Saya adalah bahwa dia meminta izin tidak masuk karena untuk ikut tes CPNS.
Sesaat setelah mengambil kesimpulan negatif tersebut, seperti biasa, Saya hanya bisa mempersiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang buruk, semisal teman Saya yang satu itu yang dalam kurun waktu beberapa hari ke depan mungkin akan memutuskan untuk resign.
Saya berdiri menatap kosong jauh ke seberang sungai (sungai yang kotor) menuju ke arah masjid yang tampak sedang direnovasi. Tempat parkir karyawan dan pengunjung secara keseluruhan sekarang sedang difokuskan ke bagian belakang RS, sedangkan tempat parkir yang lama yang tadinya berada di belakang masjid sekarang telah sedikit-sedikit berubah menjadi perluasan tempat wudu. Sejak pertama kali Saya masuk ke sini sebagai karyawan magang, pembangunan RS memang sedang sangat aktif dilakukan.
“Rumah sakit ini terus-menerus dibangun karena untuk membersihkan uang riba.”
Dia bilang begitu kepada Saya. Namanya pak Farid. Beliau adalah salah seorang pegawai instalasi CSSD yang kebetulan sering shift bareng Saya. Kalau kata orang si dia lulusan SMA; kemudian masuk ke CSSD sebagai pegawai administrasi.
“Kalau ada yang tanya kenapa penghasilan Rumah Sakit besar tapi kok gaji karyawan tidak naik-naik, ya alasannya karena itu. Uang riba itu uang syubhat; uang panas. Kalau sampai setiap karyawan mendapat gaji dari hasil riba dikhawatirkan nanti mereka jadi gampang emosi (saat bekerja).”
Rumah Sakit ini ternyata tidak seburuk yang orang-orang luar katakan…
Sekian detik Saya menyerap pernyataan beliau yang serta-merta, hanya itu saja yang terlintas dalam pikiran. Tapi Saya tidak ingin semudah itu percaya kepada perkataan orang.
Beberapa menit berlalu, Saya jadi menimbang-nimbang kembali pendapat Saya soal Rumah Sakit ini; agak khawatir jika pikiran positif Saya tentang Rumah Sakit ini ternyata terlalu lugu.
Saya tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapa-siapa. Bahkan Saya tidak membahasnya lagi ketika Saya bertemu dengan beliau. Saya anggap kejadian waktu itu sebagai pertemuan basa-basi saja tanpa ada kepentingan khusus.
Mengingat-ingat kembali soal tes seleksi karyawan magang yang telah Saya lalui saat itu, Saya jadi merasa lucu. Karena ada beberapa pertanyaan soal dasar-dasar rukun Islam yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan profesi keperawatan. Contohnya seperti pertanyaan: “Di manakah Allah?”

Saya punya begitu banyak rencana masa depan. Di bulan-bulan akhir menuju wisuda, awal bayangan tempat kerja pasti inginnya yang jauh, dan kalau bisa yang dekat dengan lingkungan wisata (dengan harapan agar ketika Saya jenuh dengan pekerjaan maka Saya bisa refreshing ke tempat tersebut). Mumpung masih muda, masih tidak punya tanggungan apa-apa.
Tapi kenyataan malah Saya sekarang bekerja di tempat yang dekat. Makin lama Saya bekerja di sini hingga memperoleh kenyamanan, akhirnya Saya dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya yang Saya inginkan adalah bukan untuk bekerja di tempat yang jauh. Yang Saya inginkan adalah untuk memperoleh kesempatan berkeliling lebih banyak. Saya ingin mengurangi faktor pemicu stres sebisa mungkin tapi Saya lupa bahwa dalam hidup ada juga yang dinamakan sebagai pengeluaran. Hidup di lingkungan yang jauh pasti akan membuat pengeluaran menjadi lebih besar karena apa-apa harus dibiayai sendiri. Berbeda dengan hidup di tempat yang dekat, biaya pengeluaran bisa ditekan berkali-kali, terlebih lagi ketika posisi masih hidup bersama orangtua. Semua pihak bisa saling mendukung untuk membantu memenuhi kebutuhan masing-masing. Sekarang Saya sadar bahwa Saya bukannya ingin bekerja di tempat yang jauh. Saya hanya ingin pelesir, melihat dunia luar yang dalam bayangan Saya pasti akan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan dengan di tempat sendiri. Mungkin seperti ini ya rasanya ketika usia telah menginjak ke masa dewasa. Idealisme dan jiwa muda yang dulu lantang digembor-gemborkan makin lama makin meredup. Karena makin ke sini pertimbangan jadi makin banyak. Sudah banyak peristiwa yang telah terjadi dan Saya merasakan betul bagaimana efeknya ketika Saya mengambil keputusan yang salah; keputusan-keputusan yang diambil hanya berdasarkan emosi. Saya harus lebih teliti lagi dalam mengambil keputusan. Karena sekali lagi Saya salah, konsekuensinya adalah Saya akan mengalami berbagai macam bentuk kehilangan, dan itu bersifat permanen.
Para optimistis mungkin akan meminta Saya agar lebih berani lagi dalam mengambil risiko untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Akan tetapi Saya tidak seperti kalian. Saya memang individualis, akan tetapi Saya tidak independen. Di sini Saya tidak tinggal sendiri. Setiap keputusan yang Saya ambil akan mempengaruhi orang-orang di sekeliling Saya, oleh karena itu Saya harus berhati-hati dalam memutuskan sesuatu, karena ini menyangkut orang-orang di sekeliling Saya. Jadi sekarang, Saya lebih cenderung memilih hal yang pasti-pasti saja. Saya tidak memiliki masalah dengan kualitas dan kuantitas. Yang penting apa yang dijanjikan akan sama dengan apa yang diberikan.
Godaan dari luar pasti banyak. Dan yang paling sering adalah godaan berupa penawaran gaji yang lebih besar, dengan jumlah pasien yang lebih sedikit. Tapi semakin ke sini semakin terasa betul bahwa godaan-godaan semacam itu adalah godaan yang sangat umum, bisa terjadi di semua tempat dan dalam profesi apa saja. Dan melihat bagaimana tidak banyak orang yang mengambil kesempatan semacam itu untuk membuat mereka menjadi lebih kaya, Saya dapat mengambil kesimpulan bahwa Saya berada dalam pihak mayoritas, yang hal tersebut kemudian membuat Saya merasa lebih baik entah kenapa. Setidaknya untuk saat ini.
Saya mengibaratkan keputusan-keputusan untuk menetap sebagaimana ketika orang-orang (misalnya Saya) memutuskan untuk menikah. Semakin lama Saya pasti akan merasakan bahwa Saya telah cocok dengan apa saja padanya dan oleh karena itu Saya akan menganggap bahwa istri Saya adalah orang yang paling cantik, paling baik, paling jujur, paling ramah, paling setia, dan sebagainya. Tapi, berbagai persepsi Saya akan istri Saya tersebut adalah persepsi yang subjektif karena semua hal tersebut merupakan keputusan yang Saya ambil secara sepihak tanpa ada campur tangan dari luar. Saya percaya bahwa istri Saya paling cantik tapi dalam batas bahwa Saya belum membandingkannya dengan istri-istri orang lain di luar sana. Dan dengan data yang terbatas seperti itu bukan berarti kemudian Saya harus membandingkan istri Saya dengan istri-istri orang lain hanya untuk membuktikan pendapat Saya bahwa istri Saya adalah yang terbaik.
Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang lebih baik setiap waktu. Tapi sungguh, saat ini Saya justru lebih dipusingkan dengan bagaimana cara agar Saya bisa konsisten menetap pada satu tempat.
Harus Saya akui bahwa hal yang membuat Saya betah di sini adalah orang-orangnya. Tapi kenyataan bahwa beberapa karyawan yang dalam waktu singkat itu diam-diam memutuskan untuk resign membuat Saya ingin menimbang-nimbang kembali akan keberadaan Saya di sini, walaupun sebenarnya ini bukan merupakan pembanding yang cukup besar juga untuk membuat Saya bimbang. Bukan karena Saya ingin ikut-ikutan resign, tapi karena orang-orang yang membuat Saya betah, yang pada saat itu secara tidak langsung telah meninggalkan Saya, sehingga ada terbesit dalam hati keinginan untuk ikut mereka juga.
Orangtua Saya sudah tua, sudah makin sulit untuk mendapatkan uang. Oleh karena itu sebagai anak terakhir tidak seharusnya Saya bekerja di tempat yang jauh.
6 Oktober – 12 Desember 2018
5 Komentar
Bayu
Enaknya PNS, dapet pensiunan setelah pensiun. Bisa kipas-kipas, senderan, minum kopi di masa pensiun. Mau tidak mau harus mikirin juga masa tua nanti.
Tapi, setiap orang ada maqomnya masing-masing. Ada yang merasa puas dengan jadi PNS, ada yang sudah merasa puas hanya bekerja kantoran swasta, ada yang bahagia dengan menjadi tukang becak sampai tua, padahal anak-anaknya sudah pada sukses.
Yang penting itu, kapan kita sadar letak maqom kita sebenarnya ada di mana.
Taufik Nurrohman
@Bayu — Saya pengen tahu bagaimana pendapat yang sudah PNS
Salim
Merawat orang tua di masa senja, insya Allah rezeki berkah dan tambah lancar nantinya Mas
Taufik Nurrohman
@Salim — Amiin. Kalau sekarang jujur saja sih masalah lebih kepada hubungan antar karyawan. Karena di sini kita kerja bareng-bareng jadi udah nggak bisa egois lagi seperti dulu. Jadi lebih banyak hal yang harus dipikirkan.
Golindrif
ya.