Skeptis

Hujan

Sore hari jam 16:50 WIB, reruntuhan air hujan menetes begitu keras membasahi permukaan, ketika itu Saya pulang dari Rumah Sakit, dan masih tetap tidak tahu harus memanjatkan doa seperti apa kepada Allah, karena saat itu Saya merasa telah cukup dengan segalanya. Bulan ini sudah memasuki awal Maret dan seragam resmi Saya masih belum juga selesai dibuat. Jadi, setiap kali Saya berangkat ke Rumah Sakit, Saya masih tetap mengenakan seragam warna putih-putih yang merupakan seragam praktik dari kampus Saya kala itu. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan seragam yang Saya pakai sekarang. Hanya saja, kadang Saya masih suka melihat sekeliling, dan menyadari betapa berbedanya Saya dengan yang lain.

Saya ini orangnya sangat sensitif, dan sumbu-sumbu perasa sensitif Saya begitu mudah terbakar oleh hal-hal yang sangat sepele. Bahkan hal-hal seperti warna seragam saja dapat memicu Saya untuk berpikir, dimulai dari Saya yang pertama-tama merasa berbeda karena melihat diri Saya yang tidak memakai baju yang sama dengan baju yang dipakai oleh teman-teman Saya, hingga kemudian tanpa Saya sadari pikiran Saya sudah berkembang makin lebar, begitu lebarnya sampai menyangkut kepada hal-hal yang tidak seharusnya Saya besar-besarkan seperti bagaimana efek kepribadian Saya terhadap orang lain atau seperti apa pendapat orang lain terhadap kebiasaan-kebiasaan Saya yang mereka anggap buruk atau tidak sesuai dengan norma-norma, yang padahal Saya sendiri tahu bahwa itu tidak akan menyelesaikan berbagai masalah yang sedang Saya alami.

Saya hanya bisa mengambil kesimpulan bahwa Saya itu orangnya sangat mudah terbawa perasaan; mudah tersinggung. Akan tetapi, oleh karena itu juga Saya jadi sangat mudah dalam melakukan introspeksi diri.

Sebenarnya Saya tidak suka menyebut diri sendiri sebagai seseorang yang bermasalah. Bukan karena hidup dengan masalah itu rasanya tidak enak, tapi karena mengungkapkan diri sendiri sebagai pihak yang memiliki masalah membuat Saya jadi tampak egois. Seolah tidak ada orang lain di dunia ini yang juga memiliki masalah. Seolah hanya Saya satu-satunya manusia di muka bumi ini yang memiliki masalah. Yang kemudian membuat Saya jadi merasa berhak untuk menggunakan alasan-alasan tersebut sebagai “toleransi” terhadap diri Saya sendiri untuk tetap mengeluh dengan keadaan atau terus menetap pada zona nyaman Saya sehingga tidak mengapa jika Saya tidak dapat berkembang menjadi manusia yang lebih baik lagi. Sampai ketika orang lain mulai berkomentar akan kondisi Saya yang begini-begini saja, yang tidak juga mengalami perkembangan sepanjang waktu, maka saat itu dengan mudahnya Saya akan menuduh permasalahan-permasalahan Saya sebagai penyebabnya.

Saya ingin tahu, apakah masalah Saya memang benar seberat itu?

Histeria, egois, dan drama. Saya tidak suka dengan orang-orang seperti itu, oleh karena itu Saya berusaha untuk menghindari hal-hal yang dapat membawa Saya tumbuh menjadi pribadi yang seperti itu, salah satunya adalah dengan memelihara sikap skeptis, atau tidak mudah percaya dengan sebuah pernyataan.

Dengan cara tetap merasa ragu kepada pendapat orang lain terhadap Saya, dan juga merasa ragu kepada pendapat Saya terhadap diri Saya sendiri, maka saat itu Saya akan tergerak untuk mencari tahu tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan dari situ kemudian Saya akan dapat mengambil kesimpulan, dan kemudian dapat mencoba untuk memecahkan masalah Saya sendiri, dan setelah itu Saya akan dapat merasakan kepuasan batin, dan atau jika kemudian ternyata Saya gagal, maka saat itu Saya akan dapat menerima dengan lapang dada, bahwa ternyata memang tidak semua hal dapat Saya selesaikan seorang diri. Bahwa mungkin, saat itu adalah saat yang cukup layak bagi Saya untuk mulai berinisiatif, mencoba meminta bantuan kepada orang lain, dan kembali menuju kodrat Saya yang seharusnya: menjadi makhluk sosial.

Kebiasaan Saya yang seperti ini, yang telah membuat Saya merasa begitu aman terlindungi, bukan berarti tidak menimbulkan efek samping yang buruk. Dalam beberapa kasus, hal tersebut membuat Saya jadi cenderung berburuk sangka kepada orang lain. Ketika hal itu terjadi, maka Saya akan tampak seperti binatang liar, yang akan lari begitu saja ketika ada orang lain yang ingin mendekat dan berhubungan baik dengan Saya. Saya selalu berada dalam preferensi “tidak percaya” secara default. Yang entah, hal ini terjadi karena memang sudah menjadi bawaan sejak lahir, atau karena dulu Saya pernah mengalami masa-masa yang tidak menyenangkan seperti merasa pernah dibohongi atau dikhianati, Saya tidak tahu penyebabnya secara pasti. Yang jelas, Saya merasakan diri Saya sebagai seseorang yang tidak bisa didogma.

Sains

Sejak kecil Saya sudah terbiasa tumbuh dalam lingkungan yang didominasi oleh sains dibandingkan dengan agama. Saya menyadari bahwa saat sekolah di Madrasah, Saya begitu menikmati mata pelajaran IPA, jauh dibandingkan dengan bagaimana Saya menikmati mata pelajaran Fiqih, Aqidah Akhlak dan Bahasa Arab. Saya tahu bahwa Saya seharusnya merasa khawatir dengan kecenderungan Saya yang seperti itu, akan tetapi mengetahui Saya yang memang merasa tidak mampu secara lahir dan batin, pada akhirnya Saya memutuskan untuk menyerah dengan keadaan. Dan kemudian, saat itu dengan bodohnya Saya mengambil kesimpulan bahwa materi agama pada dasarnya tidak ada bedanya dengan materi-materi pelajaran lain, yang mana tolok ukur kepintaran seorang siswa dalam menguasai materi pelajaran tertentu hanya didasarkan kepada seberapa giat siswa tersebut dalam mempelajari materi pelajaran yang diberikan, atau seberapa besar kecenderungan bakat seorang siswa terhadap materi-materi pelajaran tertentu. Hal ini terbukti dengan meningkatnya nilai mata pelajaran agama Saya di masa-masa SMP, SMK hingga masa-masa ketika Saya kuliah di semester-semester awal. Akan tetapi Saya sadar bahwa nilai-nilai Saya yang meningkat tersebut tidak dibarengi dengan meningkatnya keimanan Saya terhadap Allah. Ilmu-ilmu agama Saya tidak berkembang sebagaimana teman-teman Saya yang sejak awal memang sudah rutin mengikuti kegiatan keagamaan di kampus. Apa yang Saya peroleh dari ilmu yang Saya pelajari adalah murni karena Saya yang telah menguasai materi yang diberikan oleh dosen Saya pada semester tersebut, tidak lebih. Dan itu hanya bertahan di dalam pikiran Saya, bukan di hati Saya. Dan oleh karena itu Saya hanya menggunakan pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk menjawab pertanyaan dari manusia, dari soal-soal ujian yang telah diberikan, dan bukannya menggunakan pengetahuan-pengatahuan tersebut untuk menjawab pertanyaan dari kehidupan, dari cobaan-cobaan yang telah diberikan Tuhan kepada Saya.

Selama ini Saya mendapatkan materi agama di lingkungan sekolah dimana materi-materi tersebut kebanyakan hanya bersifat dogmatis. Yaitu bahwa guru Saya mengajarkan Saya untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu, namun ajaran-ajaran tersebut tidak kemudian diikuti dengan alasan-alasan dan penjelasan tentang latar belakang sejarah yang mendukung kepada pembolehan dan pelarangan akan suatu perbuatan. Sebelumnya Saya tidak merasa banyak mendapatkan materi-materi yang dapat membimbing Saya untuk berpikir, setidak-tidaknya seperti sebuah pertanyaan terbuka yang pernah Saya dapatkan ketika Saya mengikuti tes pendaftaran magang kerja: “Di manakah Allah?” (QS. Thaha: 5)

Saya tidak memiliki bakat di bidang olahraga, oleh karena itu nilai PJK Saya sangat mengkhawatirkan sepanjang masa sekolah Saya. Akan tetapi Saya memiliki bakat dalam bidang menggambar dan tulis-menulis, oleh karena itu Saya merasa bahwa nilai-nilai terkait dengan pelajaran semacam itu cenderung mencukupi.

Saya bisa membaca Al-Qur’an, akan tetapi Saya tidak kemudian memandang rendah orang-orang yang tidak bisa membacanya. Karena Saya masih beranggapan bahwa ketidakmampuan seseorang dalam membaca Al-Qur’an adalah dikarenakan oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca huruf Arab. Dan Saya pikir, anggapan Saya ini tidak sepenuhnya salah. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang berani mengejek kamu setelah mendengarkan kamu yang tidak bisa atau tidak lancar ketika membaca Al-Qur’an, maka Saya anggap orang tersebut sebagai orang yang bodoh karena dia sendiri tidak mampu mengamalkan ayat-ayat yang mereka anggap telah mampu mereka baca (QS. Al-Hujurat: 11).

Al-Qur’an, jika dilihat dari teksnya yang dituliskan dalam bahasa Arab, maka tingkat keterbacaannya dapat dibedakan berdasarkan dari mana pembaca tersebut berasal. Oleh karena itu, meski masyarakat kita telah menganggap biasa orang-orang yang mampu membaca Al-Qur’an secara teknis (membaca huruf Arab), akan tetapi akan terasa lebih biasa lagi ketika yang membacanya adalah orang-orang Arab. Karena Al-Qur’an dituliskan dalam bahasa mereka, dan oleh karena itu mereka akan mampu membaca kalimat-kalimat di dalam Al-Qur’an sebagaimana kamu yang juga merasa mudah dalam membaca dan memaknai isi tulisan ini.

Mengukur tingkat pemahaman isi Al-Qur’an dari lancar atau tidaknya bacaan-bacaan Arab seseorang terasa kurang tepat jika diaplikasikan di negara kita yang adalah minoritas berbahasa Arab. Orang lain bisa saja menyalahkan kedua orangtua kita yang tidak memberikan pendidikan agama sejak kecil, misalnya dengan tidak mengajarkan bahasa Arab kepada kita. Tapi, kenapa sekarang kalian malah jadi membawa-bawa nama orangtua kita?

Seni

Konflik Saya terhadap Allah dalam hubungannya dengan isi Al-Qur’an dan hadis dimulai pada saat Saya mulai mengenal hadis-hadis tentang hukum menggambar. Pada awalnya Saya menanggapi hadis-hadis tersebut sebagai sesuatu yang sudah tua dan hanya berlaku di masa itu karena seni menggambar di masa sekarang sudah banyak dipergunakan untuk hal-hal yang dapat memberi manfaat. Misalnya, seorang animator yang membuat komik tentang cara menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk menarik perhatian anak-anak dalam belajar Islam. Atau seorang sutradara yang membuat film dokumenter tentang perjalanan hidup Umar Bin Khattab. Melihat dari hal-hal tersebut, tegakah kamu untuk menyebut mereka sebagai ahli neraka?

Saya merasakan orang-orang yang memiliki fokus khusus pada pembahasan semacam itu kebanyakan tidak konsisten. Di satu waktu mereka mengungkapkan tentang ketegasan larangan-larangan dalam menggambar menurut Al-Qur’an dan hadis, tapi di kemudian hari mereka malah merekomendasikan Saya untuk menonton film kartun berjudul Animal Stories in the Quran, Tales of Humans in Quran dan Naruto Shippuden the Movie.

Tapi… pada akhirnya Saya dapat memahami bagaimana sifat manusia yang seperti itu. Kesimpulan Saya menunjukkan bahwa hal yang membuat mereka begitu berani dan mantap dalam mengungkapkan hadis-hadis tersebut adalah karena sejak awal mereka telah mampu lepas dari beban hukum tersebut tanpa perlu melakukan usaha apa-apa. Atau dalam kata lain, mereka mudah untuk menyampaikan hadis-hadis tentang larangan menggambar karena mereka tidak bisa menggambar. Dan ketika ada seseorang yang mengkritik mereka yang sedang menonton dan/atau menikmati hal-hal yang berhubungan dengan gambar, maka mereka akan berdalih bahwa dosa mereka merupakan tanggung jawab dari si pembuat gambar yang telah membuat mereka melihat dan/atau menikmati gambar-gambar tersebut.

Seperti yang dapat kalian lihat, ego masih mendominasi manusia dalam penyampaian mereka tentang hukum-hukum tertentu. Ini tidak hanya berlaku pada hukum Islam saja tapi juga pada hukum-hukum yang bersifat lebih umum semisal hukum Negara.

Saya ambil satu contoh sederhana melalui sebuah pertanyaan: mengapa para aktivis antikorupsi kebanyakan didominasi oleh para remaja dan organisasi masyarakat?

Jawabannya adalah karena mereka memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk melakukan korupsi. Mereka berada dalam posisi yang sangat aman dan nyaman sehingga mereka dengan mudah meneriakkan semangat antikorupsi. Tapi, akan lain ceritanya ketika yang mengungkapkan semangat antikorupsi tersebut adalah para pejabat Negara. Statusnya akan menjadi lebih bernilai. Yang berarti bahwa akan lebih terasa mantap ketika sebuah hukum diungkapkan oleh seseorang yang memiliki kesempatan untuk melanggar hukum tersebut, tetapi orang tersebut memutuskan untuk tidak melakukannya.

Terdapat banyak perdebatan mengenai hukum merokok dalam Islam. Ketika orang yang kontra terhadap rokok mampu menyampaikan argumentasinya, orang yang pro terhadap rokok juga ternyata mampu menyampaikan argumentasinya. Keduanya memiliki sumber-sumber referensi yang dapat mengarahkan pengikutnya untuk mengambil kesimpulan bahwa salah satu di antara keduanya adalah yang lebih benar.

Sangat mudah bagi kita untuk menebak, bahwa seseorang yang tidak merokok atau yang merasa pernah menjadi korban rokok akan memiliki kecenderungan untuk membela pihak yang mengharamkan rokok, sedangkan orang-orang yang merokok dan yang merasa tidak mendapatkan efek buruk dari aktivitas merokok akan memiliki kecenderungan untuk membela pihak yang tidak mengharamkan rokok. Ini terjadi karena masing-masing orang pada dasarnya egois. Mereka berusaha mencari pembelaan atas perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan; yang karena pada suatu waktu seseorang menganggap bahwa perbuatan yang telah mereka lakukan adalah salah, maka pada saat itu mereka merasa berhak untuk membela diri.

Usaha-usaha yang mereka lakukan pada dasarnya tidak lebih dari usaha untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mereka tidak sepenuhnya salah. Setiap orang pada dasarnya takut salah, dan oleh karena itu mereka akan cenderung memilih argumen-argumen yang dapat membuat mereka berpikir bahwa kesalahan mereka lebih kecil dari yang orang lain pikirkan. Mereka akan terus berusaha untuk mencapai sebuah titik dimana pada akhirnya mereka dapat menyimpulkan bahwa mereka tidak berdosa. Setiap orang berusaha untuk menjadi suci dengan ego mereka masing-masing.

Katakanlah, jika terdapat dua fatwa dimana salah satunya menyebutkan bahwa menggambar adalah sebuah perbuatan dosa yang tidak terampuni, dan satu yang lainnya menyebutkan bahwa menggambar untuk meningkatkan kecintaan manusia terhadap ciptaan-ciptaan Allah adalah diperbolehkan, pasti Saya akan cenderung memilih fatwa yang ke dua. Karena dosa Saya akan terhitung lebih kecil ketika Saya memegang fatwa yang ke dua dibandingkan ketika Saya memegang fatwa yang pertama. Ini adalah satu contoh bagaimana Saya menggunakan ego Saya untuk membenarkan ha-hal yang telah Saya lakukan.

Bagi Saya, seni adalah normal dan merupakan bagian dari manusia, dan sudah menjadi kodrat manusia untuk memilikinya. Karena seni adalah salah satu cara manusia untuk dapat bertukar pikiran dan pengalaman batin bersama dengan orang lain, yaitu dengan cara memicu rasa empati mereka. Seni tidak terbentuk begitu saja tanpa adanya pengalaman batin manusia terhadap alam sekitar. Itulah yang menyebabkan Saya beranggapan bahwa untuk memahami kekuasaan Tuhan dan untuk dapat saling bertukar pengalaman spiritual bersama orang lain tanpa melibatkan seni itu terasa mustahil. Kalian tidak mungkin bisa mengungkapkan sesuatu yang sedang terjadi dalam hati kalian kepada orang lain tanpa menggunakan seni, sebagaimana Saya yang tidak akan bisa membuat kalian merasakan pengalaman spiritual (misalnya) yang sama seperti apa yang pernah Saya rasakan melalui ungkapan-ungkapan Saya dalam bentuk tulisan dan gambar. Ini adalah salah satu cara untuk berkomunikasi antar jiwa manusia, karena menggunakan lisan saja tidak akan cukup untuk menyampaikan maksud hati.

Terdapat berbagai ayat dalam Al-Qur’an dan hadis yang menyatakan akan larangan keras dalam mengambar 1, membuat patung 2, mengambil foto 3, mendengarkan dan melantunkan musik 4, menari 5, membuat syair dan puisi 6, dan berbagai hal menyangkut aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan seni. Meski kebanyakan cenderung diakhiri dengan awalan frase “kecuali”, namun pengecualian tersebut tidak membuat Saya puas. Ini seperti ketika Saya adalah seorang penderita hipertensi dan kemudian Saya mendapati saran dari dokter untuk tidak makan ini dan itu “kecuali” beberapa yang ini. Pengecualian tersebut memang menyatakan bahwa pada dasarnya Saya bukannya tidak boleh makan; Saya boleh makan, tapi itu hanya terbatas pada makanan-makanan tertentu, yang mana makanan-makanan tersebut tidak membuat Saya merasakan kehidupan yang normal.

Melihat dari begitu banyaknya hadis mengenai larangan-larangan manusia dalam mengekspresikan perasaannya ke dalam bentuk karya seni, Saya dapat menyimpulkan bahwa Islam pada dasarnya tidak menerima akan adanya seni, atau memiliki aturan yang sangat eksplisit tentang seni (karena setidaknya seni menggambar pohon dan batu, serta seni kaligrafi masih diperbolehkan dalam Islam).

Selalu muncul pertanyaan dalam pikiran Saya, tentang mengapa Allah memberikan bakat-bakat tersebut kepada Saya jika Dia sendiri telah menyatakan bahwa bakat-bakat tersebut memiliki kecenderungan untuk mendekatkan diri Saya kepada dosa. Kadang Saya berpikir, apakah Saya memang ditakdirkan oleh Allah untuk membimbing orang lain melakukan dosa? Apakah sejak Saya diciptakan, Saya memang sudah direncanakan untuk dimasukkan ke dalam neraka? Yang kadang hal-hal tersebut juga sampai membawa Saya kepada pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana perasaan para iblis dan setan tentang takdir penciptaan mereka.

Subjektif

Ada banyak hal di dunia ini yang Saya pikir telah dipandang orang lain secara subjektif tanpa mereka sadari. Yaitu cara melihat dan menganggap kemampuan orang lain melalui tingkatan yang sama dengan dirinya sendiri. Melihat orang lain melalui sudut pandang diri mereka sendiri. Mempersepsikan orang lain sebagai dirinya sendiri. Melihat objek sebagai subjek.

Saya tidak memiliki bakat dalam hal-hal yang berhubungan dengan spiritualitas agama, sebaliknya, Saya lebih mahir dalam urusan logika dan pengetahuan alam secara umum yang dapat dibuktikan secara matematis. Oleh karena itu Saya jadi cenderung memanfaatkan kemampuan-kemampuan Saya dalam hal ini untuk mencari tahu akan keberadaan Tuhan, atau sekedar mencoba untuk mengenal Tuhan lebih dekat lagi melalui ciptaan-ciptaannya. Hal ini memang memberikan kesan kepada Saya dan orang lain (kalian), bahwa Saya memiliki kecenderungan untuk tumbuh sebagai seorang agnostik empiris atau bahkan ateis (bukan antiteis). Akan tetapi, kenyataan bahwa sepanjang hidup Saya, Saya merasakan bahwa Saya telah mengalami pengalaman spiritual dengan Tuhan, maka Saya jadi semakin ragu dengan dugaan Saya tersebut.

Kedua orangtua Saya adalah muslim, dan oleh karena itu Saya juga muslim. Akan tetapi Saya tidak ingin mengambil kesimpulan bahwa kemusliman yang Saya miliki adalah hasil dari latar belakang keluarga Saya yang juga seorang muslim. Saya harus menemukan alasan yang masuk akal untuk menjawab kemusliman Saya.

Masalah utama yang Saya miliki tentang hubungan Saya dengan Allah di usia Saya yang ke 25 tahun ini adalah pengetahuan umum agama Saya yang dirasa tidak mencukupi, karena Saya yang telah memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan perasaan skeptis Saya di atas dogma-dogma yang ada, karena Saya merasa tidak memiliki bakat dalam hal-hal semacam itu yang sebenarnya sangat Saya perlukan untuk mempermudah Saya dalam menerima apa yang Saya sebut sebagai nasihat-nasihat Tuhan.

Melihat dari bagaimana cara manusia mendekatkan diri kepada Tuhan, Saya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya terbagi menjadi dua tipe. Yang pertama adalah manusia yang belajar mengenal Tuhan melalui masjid dan majelis. Manusia tipe ini, ketika mengalami keraguan terhadap kepercayaan-kepercayaan yang telah mereka peroleh selama mereka belajar, maka mereka akan mencari jalan keluar dengan cara melakukan eksplorasi pada logika mereka, melihat kepada apa yang ada di dunia ini, membaca berbagai hasil riset dan penelitian di dunia terkait ritual-ritual agama yang telah mereka lakukan, yang mungkin, karena suatu hal (gejolak jiwa remaja dan sebagainya), pada akhirnya mereka mulai merasa perlu untuk bertanya: mengapa mereka harus melakukan semua itu.

Salah satu contoh sederhana adalah pertanyaan mengenai manfaat salat bagi kesehatan. Seorang yang merasa ragu akan manfaat salat secara “lahir” akan kemudian mencari tahu alasannya secara “ilmiah” sehingga kepercayaan mereka terhadap perintah Allah tersebut akan meningkat atau kembali seperti ke keadaan sebelum kepercayaan mereka terhadap perintah-perintah Allah tersebut menurun. Atau, jika karena suatu hal yang tidak mereka inginkan, tingkat keraguan mereka akan Allah jadi makin memburuk, maka setidaknya bukti-bukti fisik yang mereka dapatkan melalui ilmu pengetahuan dunia dapat mempertahankan mereka untuk tetap melaksanakan salat lima waktu meski hanya untuk mendapatkan manfaatnya secara fisik, sambil tetap menunggu, hingga kepercayaan mereka akan perintah-perintah Allah tersebut kembali seperti semula, atas kehendak Allah.

Yang ke dua adalah manusia yang belajar mengenal Tuhan melalui dunia, melalui realita, melalui keajaiban alam semesta, melalui ciptaan-ciptaan Tuhan yang mereka lihat di dunia, yang harus mereka akui tidak mungkin bisa dibuat oleh tangan-tangan manusia, dan oleh karena itu, ketika mereka mengalami keraguan terhadap kepercayaan-kepercayaan yang didasarkan kepada logika pikiran mereka, kemudian mereka akan mulai melakukan eksplorasi batin mereka. Dari situ mereka akan belajar bagaimana untuk menyerah dan mengalah dengan cara yang benar, untuk mengakui bahwa tiada yang lebih kuasa melainkan Allah.

Setiap orang pasti mengalami berbagai cobaan hidup. Dan di antara berbagai cobaan hidup yang mereka alami pasti ada saja yang kemudian membuat mereka menjadi putus asa hingga sampai pada keinginan-keinginan untuk menyerah dan lari dari kenyataan, dengan berbagai cara. Dan di saat mereka merasa sudah menyerah dengan keadaan karena tidak memperoleh solusi yang diinginkan melalui manusia, kemudian mereka memilih untuk menyerah dan pasrah, kepada Allah. Dan pada saat itu mereka akan memperoleh pertolongan, solusi, dari Allah, yang tidak akan dapat mereka jelaskan dengan logika mereka, yang kemudian menimbulkan kesimpulan kepada mereka akan adanya Allah (logis supra-rasional).

Cara manusia dalam mengambil keputusan dikendalikan oleh dua hal, yaitu oleh logika dan perasaan. Logika, seperti yang kita tahu, terletak di dalam otak (lebih tepatnya diatur oleh otak kiri). Itu sudah bukan menjadi rahasia lagi. Akan tetapi perasaan? Manusia sampai sekarang masih melakukan berbagai penelitian untuk menemukan di mana sebenarnya letak perasaan (perasaan yang Saya maksud di sini adalah akal atau kalbu). Penelitian terakhir sampai pada kesimpulan bahwa perasaan/akal terdapat di jantung 7 8. Hal ini didukung pula oleh beberapa ayat di dalam Al-Qur’an seperti dalam QS. Al-Hajj: 46 dan QS. Al-A’raf: 179. Termasuk juga dalam sebuah hadis yang mengisahkan tentang malaikat Jibril yang membelah dada Muhammad untuk membersihkan jantung-(kalbu)-nya dari sifat-sifat setan.

Dan sebagaimana siang dan malam, manusia tentu memiliki kecenderungan untuk memakai salah satu di antaranya. Ada manusia yang cenderung menggunakan logika mereka dalam mengambil kesimpulan, ada pula manusia yang cenderung menggunakan perasaan mereka. Tapi itu bukan berarti bahwa kecenderungan mereka dalam menggunakan salah satunya menjadi pertanda bahwa mereka tidak memiliki satu yang lainnya. Orang yang berpikir dengan logika bukan berarti mereka tidak punya perasaan, begitu pula dengan orang yang berpikir dengan perasaan bukan berarti mereka tidak memiliki logika. Dan Saya percaya bahwa dua hal tersebut tidak kemudian membuat mereka menjadi cenderung lebih dekat dengan Tuhan atau sebaliknya. Keduanya memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Keduanya memiliki cara yang berbeda dalam memecahkan masalah, akan tetapi tujuan mereka adalah sama, yaitu untuk menemukan Tuhan. Orang-orang yang Saya masukkan ke dalam kategori pertama adalah orang-orang religius, orang-orang yang akan mendapatkan ketenangan hidup melalui ilmu-ilmu agama yang mereka dapatkan. Mereka percaya bahwa Tuhan adalah jawaban atas segalanya, oleh karena itu mereka mampu untuk melakukan segala sesuatu, karena mereka percaya bahwa mereka berada di bawah bimbingan Tuhan.

Sedangkan orang-orang yang Saya masukkan ke dalam kategori ke dua adalah orang-orang sains, orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk merasa lebih tenang dalam hidupnya apabila mereka berhasil menemukan alasan, rasional, atau bukti-bukti kebesaran Tuhan secara ilmiah melalui hal-hal mustahil yang mereka alami sepanjang hidup, yaitu semua hal yang dapat menyadarkan akan betapa kecilnya mereka. Mereka percaya bahwa mereka diciptakan untuk suatu tujuan, dan oleh karena itu mereka berpikir, dan memanfaatkan segala potensi yang ada di dunia karena mereka tahu bahwa dalam setiap ciptaan terdapat berbagai jawaban atas pertanyaan seputar kehidupan.

Persepsi

Sebenarnya Saya haus akan imbauan-imbauan yang bersifat spiritual, akan tetapi Saya masih belum berhasil menemukan orang-orang yang tepat untuk mengajari Saya, karena setiap kali Saya melihat bagaimana mereka mengajari Saya, yang Saya lihat kemudian adalah justru kelemahan mereka, atau kenyataan bahwa mereka juga ternyata telah melanggar berbagai peraturan yang mereka sampaikan kepada Saya. Sangat sulit bagi Saya untuk tidak mengetahui luka orang lain, entah karena Saya yang sudah terbiasa menutupi luka-luka Saya sendiri sehingga Saya bisa dengan mudah mengetahui bagaimana cara orang lain menutupi luka-luka mereka, atau karena sesuatu yang lebih buruk lagi semisal Saya yang selama ini merasa lebih benar dari orang lain. Alhasil, Saya jadi terbiasa tebang-pilih terhadap pernyataan guru-guru Saya, sambil mencoba untuk menebak dan memastikan, apakah yang mereka katakan adalah sesuai dengan yang mereka kerjakan atau tidak. Jika tidak, berarti Saya memiliki hak untuk tidak mengikuti nasihatnya. Karena Saya lebih mengutamakan orang-orang yang menggunakan perilaku mereka dibandingkan dengan perkataan mereka sebagai contoh. Oleh karena itu, kepercayaan Saya akan perkataan orang lain menjadi tidak mungkin bisa berkembang menuju ke tingkatan yang lebih absolut. Karena Saya tidak mengikuti bagaimana orang lain mengajari Saya akan berbagai hal; Saya mengikuti bagaimana cara mereka bersikap terhadap suatu hal.

Dibandingkan menyebut diri sendiri telah mempercayai orang lain, Saya lebih cenderung menganggap diri sendiri sebagai seorang yang “berusaha untuk percaya”. Karena Saya mengalami kesulitan untuk percaya kepada orang lain. Saya percaya kepada Allah, tapi Saya tidak percaya kepada orang lain, dan sulit rasanya untuk mempercayai bagaimana cara mereka memandang Allah. Karena persepsi spiritual itu sifatnya sangat subjektif: hanya masing-masing orang saja yang dapat merasakannya. Dan bila ternyata terdapat dua-tiga orang yang mengaku kepada Saya bahwa mereka telah mengalami pengalaman spiritual yang sama, maka itu bisa saja terjadi karena kebetulan, atau karena mereka yang telah memperoleh kesepakatan dengan menyatakan bahwa masing-masing pihak memiliki persepsi yang sama: mereka mempersepsikan masing-masing persepsi mereka akan Tuhan sebagai persepsi yang sama.

Saya lebih sering berkomunikasi dengan Tuhan seorang diri. Kebanyakan orang melakukan itu bersama-sama. Berzikir, mengaji, salat berjamaah di masjid dan sebagainya. Saya melakukan itu, tapi meski kemudian Saya berkumpul dengan mereka dan kemudian melakukan ibadah bersama-sama, pada akhirnya Saya tetap jatuh pada posisi menghadapi Tuhan seorang diri. Di luar dari kenyataan bahwa di sekeliling Saya terdapat begitu banyak jiwa dan raga manusia, ketika itu Saya masih tetap merasa sendirian. Dan melihat dari bagaimana cara mereka bersama-sama memandang Allah, kadang Saya takut, jika entitas Allah yang Saya persepsikan di dalam batin Saya ternyata tidak sama dengan apa yang dipersepsikan oleh mereka. Maksud Saya, dari mana Saya bisa tahu kalau nasihat-nasihat yang Saya dapatkan atau Saya simpulkan dari peristiwa-peristiwa yang Saya alami adalah murni berasal dari Tuhan dan bukannya dari sesuatu yang lain?

Kalian pasti pernah melihat atau mendengar beberapa kasus terkait seorang yang mengaku mendapatkan pesan dari mimpi-mimpi mereka yang kemudian mereka yakini bahwa pesan-pesan tersebut merupakan wahyu dari Tuhan. Suatu hari orang tersebut mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritualnya kepada khalayak ramai, dan keesokan harinya orang tersebut positif didiagnosis sebagai F20-F29.

Saya mengalami berbagai mimpi vivid sepanjang hidup, tapi logika Saya melindungi Saya untuk tidak sampai kepada hal-hal yang dapat memancing Saya untuk menghubung-hubungkan antara pengalaman alam bawah sadar dengan tanda-tanda keagamaan. Entah, jika pesan-pesan yang Saya peroleh melalui mimpi-mimpi Saya sejak dulu kemudian Saya anggap sebagai sesuatu yang sangat serius terkait kehidupan Saya di dunia nyata, mungkin sekarang Saya sudah menjadi orang gila yang terlalu terobsesi akan alam bawah sadar Saya, yang oleh karena itu membuat Saya merasa begitu dekat dengan Tuhan, padahal yang dekat dengan Saya mungkin adalah entitas yang menipu.

Mimpi itu multi-persepsi, dan oleh karena itu persepsi Saya akan mimpi-mimpi Saya tidak boleh begitu saja Saya percayai, sebagaimana Saya yang juga tidak akan dengan mudah percaya kepada persepsi-persepsi orang lain terhadap mimpi-mimpi Saya.

Kita mengenal istilah “mekanisme koping” dalam ilmu jiwa, dimana manusia pada dasarnya akan melakukan berbagai cara untuk memperoleh keseimbangan ketika sesuatu yang buruk mulai mengancam kesehatan jiwa mereka. Ada yang dinamakan sebagai penyakit skizofrenia, yaitu sebuah keadaan dimana manusia sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Hal itu disebabkan karena mereka tidak berhasil menemukan mekanisme koping yang positif sehingga usaha-usaha mereka untuk memperoleh keseimbangan terjadi dengan cara yang salah, salah satunya adalah dengan membentuk entitas-entitas yang menipu tanpa mereka sadari sebagai bentuk kompensasi akan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi kenyataan, oleh karena kehendak (nafsu dan perasaan) mereka yang telah menguasai mereka di atas pikiran-pikiran logis mereka.

Jika Saya adalah seorang ateis, mungkin Saya akan beranggapan bahwa keberadaan entitas yang baik (Tuhan, malaikat, dewa) dan entitas yang buruk (iblis, setan) hanyalah satu bentuk manifestasi dari mekanisme koping adaptif dan maladaptif yang diciptakan oleh jiwa manusia itu sendiri ketika manusia sudah tidak mampu lagi melakukan mekanisme koping dari fisik ke fisik karena kurangnya sistem pendukung dari orang-orang terdekat dan juga lingkungan. Dan berbeda dengan halusinasi yang terjadi pada umumnya, keberadaan Tuhan merupakan bentuk lain dari tanda-tanda skizofrenia yang telah lama diterima oleh manusia sepanjang sejarah kehidupan, sehingga semua orang akan menganggap bahwa komunikasi yang mereka lakukan dengan Tuhan sebagai sebuah proses yang sehat.

Tapi, terdapat tiga tahapan dalam penyakit skizofrenia yang tidak ditemukan dalam hubungannya dengan manifestasi Tuhan, yaitu tahap condemning, controlling dan conquering. Karena kebersamaan manusia dengan Tuhan yang terjadi sepanjang hayat, dan dalam masa hidup manusia tersebut, terbukti bahwa tidak ditemukan adanya tanda-tanda perubahan sifat Tuhan dari tahapan comforting hingga mencapai ke tahapan-tahapan yang lebih merusak; bahwa keberadaan Tuhan tidak berkembang menjadi sesuatu yang menjijikan. Tuhan juga tidak mengontrol (manusia masih bebas untuk melanggar perintah-perintah Tuhan), serta tidak memancing seseorang untuk melakukan sesuatu yang dapat mengancam nyawanya, atau nyawa orang lain (Tuhan tidak mengajarkan kebencian). Maka dari sini dapat Saya simpulkan bahwa Tuhan bukan merupakan bentuk halusinasi yang lain. Karena berbeda dengan halusinasi, Tuhan terbentuk tidak melalui kehendak/nafsu manusia. Dia datang dengan sendirinya sebagai sosok yang dirindukan baik dalam keadaan susah maupun senang. Sedangkan halusinasi datang hanya ketika manusia mengalami kelemahan, dia datang untuk membentuk diri sebagai solusi yang semu.

Teis

Suatu hari Saya mendapatkan pertanyaan dari pak Afandi, “Menurutmu agama itu seperti apa?”

Beliau menanyakan hal tersebut kepada Saya setelah membaca beberapa jurnal yang Saya tuliskan di sini karena sepertinya beliau mulai merasa khawatir jika pemikiran-pemikiran Saya akan agama dapat membawa Saya menuju kepada hilangnya kepercayaan Saya akan adanya Allah, atau lebih buruk lagi adalah hilangnya kepercayaan Saya akan adanya Tuhan.

Jujur saja, Saya masih belum mampu menjawab pertanyaan tersebut secara terbuka. Karena bagi Saya itu adalah pertanyaan yang sangat berat. Sangat sulit untuk menemukan definisi agama yang dapat diterima oleh semua pihak, terlebih dengan status keilmuan Saya yang masih belum mencukupi. Saya boleh saja menggunakan pengertian-pengertian yang Saya temukan sepanjang hidup mengenai apa itu agama; bahwa agama berarti kepercayaan akan adanya Tuhan, bahwa agama berarti “tidak kacau”, bahwa agama adalah nasihat, bahwa Islam berarti “berserah diri”, bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Tapi dengan mengungkapkan pengertian-pengertian tersebut kepada orang lain tidak cukup untuk menjelaskan akan keyakinan Saya bahwa agama yang Saya anut adalah berasal dari Allah. Karena lagi-lagi Saya harus mengatakan bahwa pengalaman spiritual yang Saya alami bersama Allah adalah sangat subjektif, yang bahkan Saya sendiri tidak dapat memastikan apakah pengalaman yang Saya alami adalah identik dengan seperti apa yang orang lain alami.

Saya mengalami konflik batin dengan Allah, akan tetapi bagaimana cara Saya berkonflik dengan Allah pada dasarnya tidak berbeda dengan bagaimana cara Saya berkonflik dengan ibu Saya (misalnya).

Saya sadar bahwa Saya masih memiliki kecenderungan untuk menutup mata dan telinga terhadap beberapa nasihat yang diberikan oleh ibu Saya, akan tetapi hal tersebut Saya lakukan tidak lain adalah karena Saya yang masih belum mampu; karena kemampuan Saya yang masih terbatas dalam menjalankan nasihat-nasihat ibu Saya, atau karena beberapa hal yang kemudian membuat Saya merasa telah menjadi korban dari hukum-hukum yang diputuskan oleh ibu Saya. Akan tetapi hal tersebut tidak kemudian menumbuhkan benih-benih keraguan dalam diri Saya bahwa beliau adalah ibu Saya.

Saya sadar bahwa Saya masih memiliki kecenderungan untuk menutup mata dan telinga terhadap beberapa firman Allah, akan tetapi hal tersebut Saya lakukan tidak lain adalah karena Saya yang masih belum mampu; karena kemampuan Saya yang masih terbatas dalam menjalankan perintah-perintah Allah, atau karena beberapa hal yang kemudian membuat Saya merasa telah menjadi korban dari hukum-hukum yang Allah putuskan kepada Saya. Akan tetapi hal tersebut tidak kemudian menumbuhkan benih-benih keraguan dalam diri Saya bahwa Dia adalah Tuhan Saya.

6 Maret 2018

  1. HR. Ahmad no. 3276; HR. Al-Bukhari no. 427, Muslim no. 528; HR. Al-Bukhari no. 5950, Muslim no. 2109; HR. Al-Bukhari no. 5953, Muslim no. 2111; HR. Al-Bukhari no. 5954, Muslim no. 5525; HR. Al-Bukhari no. 5961, Muslim no. 5535; HR. Al-Bukhari no. 5963, Muslim no. 5541; HR. Al-Bukhari: 2112, Muslim: 2110; HR. An-Nasai no. 5256; HR. An-Nasai no. 5270; HR. At-Tirmizi no. 1671; HR. At-Tirmizi no. 2574; HR. Muslim no. 5545; 

  2. HR. Abu Daud no. 4932, An-Nasai dalam Al-Kubro no. 890; HR. Muslim: 969; Majmu’ Al-Fatawa, 17/462; Majmu’ Al-Fatawa, 27/79; 

  3. Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 2/205; Perkataan semisal oleh Syaikh Muhammad bin Ibrohim dalam Majmu’ Al-Fatawa Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrohim 1/187; 

  4. HR. Al-Bukhari no. 5590; HR. Al-Hakim 4/40, Al-Baihaqi 4/69; 

  5. QS. Al-Isra: 37; Subulus Salam, 2/192; 

  6. HR. Al-Bukhari no. 6154, Muslim no. 2258; QS. Asy-Syu’ara’: 224–227; 

  7. Armour, J. A. “The Little Brain on the Heart.” Cleveland Clinic Journal of Medicine, 2007: s48–s51. 

  8. Andre E. Aubert & Bart Verheyden. “Neurocardiology: A Bridge Between the Brain and the Heart.” Biofeedback, 2008: 15–17.