Pelesir

Masa-masa muda Saya adalah masa-masa yang sebenarnya dipenuhi dengan berbagai perasaan iri. Iri terhadap kebahagiaan orang lain. Bagaimana hubungan Saya dengan teman-teman Saya terpaksa diupayakan agar menjadi berjarak karena perbedaan usia dan juga keadaan ekonomi. Karena Saya takut perasaan iri Saya akan menumbuhkan sifat kebencian terhadap teman-teman Saya.

Kita memiliki pemahaman yang sangat berbeda soal hidup; memiliki jangka waktu dan perjalanan hidup yang tidak sejajar sejak awal. Yang kemudian mungkin telah mempengaruhi kadar pengalaman Saya terhadap dunia luar.

Selama masa kuliah, Saya menghabiskan uang dan waktu Saya untuk memenuhi kebutuhan yang ada, sedangkan orang lain menghabiskan uang dan waktu mereka untuk bersenang-senang. Tapi Saya tidak layak dan tidak memiliki daya untuk berkomentar negatif tentang mereka, karena sejak awal mereka memang telah memiliki kelebihan-kelebihan tersebut. Dalam hal waktu, dalam hal ekonomi, juga masa muda mereka. Dan mereka memanfaatkan kelebihan tersebut untuk bersenang-senang, untuk bahagia. Saya tidak bisa menyalahkan apa yang telah mereka lakukan. Karena menghabiskan waktu untuk bahagia itu bukan sesuatu yang salah. Hal-hal yang Saya anggap pemborosan sudah seharusnya bukan merupakan pemborosan bagi mereka, karena kualitas dan kuantitas hidup mereka yang tidak sama dengan Saya. Karena bagi Saya yang banyak adalah jumlah yang kecil dalam persepsi mereka.

Bagi Saya, hampir sudah tidak ada lagi yang dinamakan sebagai “pelesir”. Istilah pelesir bersama keluarga sudah lama lenyap dari kehidupan kami. Kedua orangtua Saya sudah tua, sudah tidak memiliki target masa depan yang muluk-muluk. Asalkan masih bisa makan, minum, kerja, sehat lahir dan batin, itu sudah cukup. Saya juga sudah semakin bertambah usia, yang berarti sudah menjadi giliran Saya untuk membentuk istilah-istilah pelesir Saya sendiri, bersama keluarga Saya. Seharusnya seperti itu. Akan tetapi waktu terus berjalan, dan hanya usia Saya saja yang bertambah, tidak dengan pengalaman dan wawasan Saya akan dunia orang dewasa. Karena Saya berbeda. Karena Saya tumbuh di lingkungan yang berbeda pula, bersama orang-orang yang memiliki tujuan hidup dan target masa depan yang tidak muluk-muluk.

Sangat mudah untuk memperoleh berbagai kritikan bahwa Saya itu orangnya kurang pergaulan, kurang bersosialisasi, kurang piknik, kurang aktif, kurang banyak keluar rumah, kurang tahu dunia luar, kurang tahu cara berkomunikasi dengan benar, kurang tahu akan hal-hal yang bagi orang lain sangat remeh-temeh, dan berbagai macam kurang yang lain.

Kabar buruknya adalah, Saya tidak dapat menepis komentar-komentar negatif tersebut. Karena bagaimana mereka mempersepsikan kehidupan Saya dari sisi luar adalah sudah benar, dan bahkan Saya sendiri merasakan hal yang sama. Karena diam-diam Saya juga sering mengkritik diri sendiri. Tentang karakter luar Saya tersebut yang menurut Saya juga buruk. Oleh karena itu Saya perlu mengubah diri. Berubah untuk menjadi sama dengan orang lain. Berubah untuk menuruti kehendak orang lain. Berubah untuk mengikuti standar orang kebanyakan. Berubah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Berubah untuk menghormati lingkungan Saya; karena Saya hidup di dalamnya. Karena Saya hidup dan tinggal bersama mereka. Karena untuk tetap mempertahankan keadaan Saya dengan jalan menjelaskan bagaimana bisa dua kepribadian terbentuk, bagaimana gen D4DR berperan dalam membentuk tempramen manusia, bagaimana jalur asetilkolin dapat mempengaruhi perilaku sehari-hari, dan mengenai perbedaan kebutuhan dopamin di dalam otak Saya dan kalian, agaknya tidak akan mengubah pandangan orang lain terhadap Saya.

Kebanyakan orang hanya membutuhkan jawaban dan bukannya penjelasan. Namun jawaban-jawaban yang tegas sebagai “ya” dan “tidak” agaknya tidak akan cukup untuk meyakinkan mereka. Setiap orang menginginkan kepastian akan tetapi tidak mau menerima penjelasan. Mereka mengambil kesimpulan atas dasar keinginan sendiri, untuk kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu, untuk menjelaskan adalah membuang-buang waktu. Semakin hari, Saya merasakan bahwa istilah ekstrovert dan introvert itu ibarat sebuah belief. Seseorang menjadi bebal dan tidak peduli dengan bagaimana orang lain karena mereka tidak berhasil mencapai pengalaman-pengalaman yang sama dengan orang tersebut.

7 Juni 2018