Label Harga

Saya introvert, dan sudah lama tahu bagaimana sulitnya melakukan proses pembelian ketika harus menanyakan harga apalagi menawar. Kalau Saya membeli tanpa menawar, nanti Saya jadi rugi, orang lain juga akan menganggap Saya bodoh. Walaupun kemudian Saya punya uang yang cukup untuk membayar, orang lain yang mengetahuinya akan tetap menganggap Saya bodoh, bukan kaya. Tapi kalau Saya membeli dengan menawar, nanti Saya akan butuh banyak ngomong dan berpikir. Nanti dopamin Saya jadi naik, terus hormon adrenalin Saya juga ikut naik, terus badan Saya jadi gemetar, terus jadi lemas, terus pingsan.

Sulit, karena dalam situasi apapun, sifat bawaan Saya memang akan selalu berada dalam mode waspada kepada semua orang, apalagi terhadap orang-orang yang tidak Saya kenal. Sepintas mungkin tampak seperti sedang berburuk sangka, tapi ini adalah mekanisme koping Saya; yang bisa dibilang sangat kekanak-kanakkan. Saya menyadari itu setelah Saya pahami bahwa sikap Saya itu, ternyata tidak ada bedanya dengan sikap-sikap yang dapat Saya lihat pada semua pasien anak di ruang pediatrik ketika mereka bertemu dengan perawat berbaju putih-putih.

Saya lebih suka membeli di toko-toko yang memiliki skala sedang seperti toserba dan minimarket. Alasannya karena di tempat-tempat seperti itu semua harga sudah tercantum, sehingga sebagai introvert Saya merasa telah difasilitasi. Saya juga merasa tidak dibohongi. Semua tampak jelas, hitam di atas putih.

Sayang sekali praktik semacam ini tidak diterapkan juga dalam penjualan jasa transportasi, misalnya untuk menetapkan tarif kendaraan umum. Dengan mencantumkan harga, sebenarnya penjual telah memberi sebentuk kepercayaan kepada pembeli dengan cara menyatakan diri terlebih dahulu bahkan sebelum pembeli menanyakannya; membuat proses jual beli menjadi ringkas, tidak bertele-tele, tidak banyak tanya. Saya juga merasa lebih dihormati. Namun dibandingkan dengan fungsinya untuk memberitahukan tentang betapa jujur dan benarnya harga yang ditawarkan, bagi Saya, label harga lebih cenderung memberikan pesan kepada Saya bahwa penjual bukan hanya sedang memberitahukan harga barang tersebut kepada Saya, tetapi juga sedang berusaha memberitahukan kepada Saya bahwa dia (penjual) juga telah memberitahukan harga yang sama kepada pembeli yang lain.

Mungkin ini sebabnya betapapun murah harga barang-barang yang dijual di toko biasa dan di pasar tradisional, pada akhirnya tetap tidak akan bisa mengalahkan penjualan di toko-toko macam toserba dan minimarket karena transaksi mereka yang tidak transparan. Penjual bisa saja memberikan harga berbeda kepada pembeli yang berbeda hanya berdasar atas bagaimana cara mereka berpakaian atau dari kendaraan apa yang mereka pakai, atau dari bagaimana cara mereka bersikap. Kalau kamu ramah, idiot, kaya, pemalu, kamu akan dapat harga mahal. Kalau kamu galak, pintar, kaya atau miskin, tidak tahu malu, kamu akan dapat harga murah.

Sangat sepele memang, tapi Saya merasakannya sendiri. Bahkan jika toserba dan minimarket sampai menetapkan harga suatu barang jauh lebih tinggi dari harga yang seharusnya, Saya akan tetap cenderung lebih percaya kepada mereka karena dari harga yang mereka cantumkan di label, Saya tahu bahwa mereka juga telah memberlakukan harga yang sama kepada pembeli yang lain.

Istilahnya, Saya lebih percaya kepada penjual bukan karena faktor harga, tapi karena konsistensi dalam kesetaraan. Yang berarti bahwa meski Saya tahu bahwa Saya telah dibohongi, tapi toh pada saat yang sama Saya juga tahu bahwa semua orang juga telah dibohongi. Yang berarti bahwa jika kepercayaan adalah hanya soal konsistensi dalam kesetaraan, mungkin itu artinya bahwa untuk bisa dipercaya oleh orang banyak, entah Saya berkata jujur atau bohong, yang penting Saya melakukan hal tersebut kepada semua orang tanpa terkecuali.

Mungkin, orang yang jujur adalah orang yang bisa dipercaya karena dia jujur kepada semuanya, tapi pembohong juga adalah orang yang bisa dipercaya, ketika dia melakukan kebohongan yang sama kepada semuanya.

26 Juli 2017