Sebagai seorang laki-laki, sebenarnya Saya hanya ingin menjadi tempat bergantung. Terlahir sebagai seorang anak bungsu membuat Saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang adik.
Kedua saudara kandung Saya semuanya berjenis kelamin perempuan. Hanya Saya saja yang terlahir ke dunia tanpa vagina. Anak laki-laki terakhir yang terlahir paling akhir. Meski usia Saya sekarang sudah menginjak tahun yang ke 23, dimulai dari uang jajan sampai biaya makan, semuanya masih dikontrol penuh oleh kakak ke dua Saya yang lahir tepat sebelum Saya. Sampai kepada pembiayaan domain blog dan juga penghasilan tidak tetap Saya yang Saya dapatkan dari nge–blog juga masih berada dalam kontrol penuh. Beruntung, selama ini kakak Saya sepertinya tidak begitu tertarik dengan apa yang sedang Saya lakukan dengan blog-blog Saya, termasuk juga dengan blog ini. Mungkin dia mengira kalau semua yang Saya lakukan dengan blog adalah melulu berhubungan dengan kode. Istilahnya, dia sudah pusing duluan sebelum sempat memutuskan untuk membuka blog Saya.
Saya anggap ini sebagai tabir perlindungan dari Tuhan.
Saya masih sering diperlakukan seperti anak-anak. Jujur saja, Saya merasa terkekang. Terutama ketika Saya harus kembali ke rumah setiap hari libur panjang setelah ujian akhir. Ada saat dimana Saya ingin menunjukkan kepada orangtua Saya bahwa Saya juga bisa hidup mandiri, bahwa Saya juga bisa melakukan semuanya sendiri, cukup bersama dengan teman-teman Saya saja tanpa adanya keterlibatan orangtua atau seluruh keluarga. Saya ingin dianggap sebagai orang dewasa seperti halnya orang-orang berusia 23 tahun pada umumnya. Menjadi seorang anak yang penurut menjadi satu-satunya hal yang bisa Saya lakukan sekarang untuk membuat mereka senang, karena keadaan memang masih belum memungkinkan Saya untuk menyenangkan kedua orangtua Saya dengan cara yang dewasa. Andaikan saja mereka mengerti bahwa perlakuan mereka terhadap Saya justru akan semakin membuat Saya lambat bertumbuh menjadi orang yang dewasa, mungkin sekarang Saya sudah berada pada tingkatan kedewasaan dan kemandirian yang lebih tinggi lagi.
Adik
Berbicara mengenai tipe wanita yang Saya suka, sebenarnya Saya ini termasuk tipe orang yang suka dengan karakter wanita yang cenderung kekanak-kanakan. Bukan berarti manja, hanya saja, Saya akan merasa senang ketika ada seorang wanita yang merasa tergantung dengan Saya; tidak bisa melakukan sesuatu hal tertentu jika tidak dibantu oleh Saya. Karena berhasil menjadi tempat bergantung bagi orang lain dapat membuat Saya sadar akan betapa penting dan berharganya diri Saya bagi orang tersebut. Tidak ada hal lain di dunia ini yang jauh lebih menyenangkan bagi Saya ketika rasa perhatian Saya kepada seseorang yang paling Saya cemaskan pada akhirnya ditanggapi secara positif oleh orang tersebut. Itu membuat Saya merasa memiliki arti yang penting bagi mereka. Dan oleh karena itu, Saya akan merasa sangat kecewa dan marah ketika rasa khawatir Saya pada akhirnya diabaikan begitu saja; ketika rasa perhatian Saya pada akhirnya dibuang begitu saja.
Saya ingin memiliki pasangan hidup yang sekaligus juga bisa Saya anggap sebagai adik Saya sendiri. Begitu.
Rasa suka Saya terhadap tipe wanita seperti ini bukan tanpa alasan. Saya hanya mencoba untuk tahu diri. Mengingat sifat Saya yang kebanyakan orang anggap masih kekanak-kanakan, rasa-rasanya tidak akan cocok jika Saya harus berpasangan dengan orang yang memiliki kepribadian lebih dewasa dari Saya. Logikanya, memangnya ada wanita dewasa yang suka dengan tipe lelaki kekanak-kanakan? Mungkin ada, tapi sedikit. Dan mungkin bu Wina adalah salah satunya. Karena sebelumnya Tifani pernah bilang ke Saya seperti ini, “Eh, kamu liat deh! Wajah suaminya bu Wina itu seperti anak kecil ya! Baby face.”
Oh iya, ngomong-ngomong soal bu Wina, pada tanggal 7 Januari yang lalu akhirnya beliau secara resmi menyatakan kepada kami semua mengenai keputusannya untuk resign. Rencananya, posisi wali kelas kami yang kosong nanti akan digantikan oleh dosen yang lain. Beberapa nama dari dosen yang Saya dengar akan menjadi calon wali kelas kami yang baru adalah Bu Indri, Bu Tri dan Bu Ririn.
Bu Indri… wibawanya terlalu tinggi, dan Saya tidak suka dengan karakternya yang terlihat tanpa cela itu. Saya lebih suka terlibat dengan orang-orang yang memiliki kekurangan.
Bu Tri… orangnya profesional dan sangat menguasai materi yang diajarkan, tapi terlalu perfeksionis. Dan masih suka menggunakan metode belajar gaya klasik (menghafal).
Saya lebih suka sama bu Ririn, introvert. Sudah lama juga Saya nge–fans sama beliau. Entah mengapa, setiap kali Saya melihat beliau itu rasanya seperti sedang melihat kakak atau tante sendiri, seolah tidak ada jarak di antara kita. Cie.
Dengan mencari sosok pasangan yang memiliki sifat lebih kekanak-kanakan dari Saya, maka Saya harap itu akan dapat menutupi sifat kekanak-kanakan Saya, atau setidaknya dapat membantu Saya untuk belajar menjadi lebih dewasa lagi. Tapi sayang, Saya justru lebih banyak tertipu oleh sifat polos mereka, sehingga Saya cenderung lebih mudah untuk kecewa kepada mereka, pada akhirnya.
Teori orang dewasa menyatakan bahwa anak bungsu tidak seharusnya berpasangan dengan anak bungsu, karena katanya, anak-anak yang terlahir paling akhir pasti karakternya akan manja. Jika kedua pihak ternyata sama-sama manja, dikhawatirkan itu akan mempersulit kehidupan mereka di masa depan.
Mengenai pencarian jawaban tentang cobaan yang pernah Tuhan berikan kepada Saya beberapa bulan sebelumnya, sebenarnya sudah lama Saya menemukannya. Kalimat ini berasal dari Imam Syafi’i:
“Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap (kepada) selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya.”
Ajaib mengetahui bahwa Imam Syafi’i ternyata juga bisa mengucapkan kalimat yang luar biasa galau seperti itu. Mungkin dulu Imam Syafi’i juga pernah punya pengalaman di-PHP-in sama cewek.
Ini memang bukan cuma soal cinta saja, namun juga soal keluarga, cita-cita dan pekerjaan. Terkadang, seseorang menyatakan kesulitan untuk move on bukan karena dia tidak mau atau tidak bisa, namun karena dia tidak tahu… dia harus move on kepada siapa.
Dan ternyata, Saya bisa juga move on dari seseorang tanpa harus menempatkan diri kepada orang lain.
Hari ini, Saya katakan bahwa masa lalu hanyalah masa lalu. Sudah tidak ada lagi yang perlu Saya khawatirkan dari semua takdir yang sudah terlanjur terjadi. Sudah tidak ada sedikit pun sisa-sisa pengharapan dalam diri Saya untuk memutar waktu dan kembali menuju saat dimana Saya masih memiliki kesempatan untuk mencegah keterlambatan Saya di masa lalu.
Akhir-akhir ini Saya sedang tertarik mempelajari bahasa isyarat ASL. Entah dorongan apa yang telah memicu Saya untuk mempelajarinya. Tapi ketika rasa ingin tahu Saya akan sesuatu telah memuncak, maka tidak akan ada yang bisa menghalangi langkah Saya untuk mencari tahu.
21 Januari 2016
0 Komentar