Saya Tidak Terlahir untuk Menjadi Seorang Muslim yang Baik

Setelah dipikir-pikir kembali, sejak dulu Saya mungkin memang tidak pernah terlahir untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna. Ada banyak kepura-puraan yang dapat Saya lihat dari orang banyak dan kadang itu membuat Saya jadi tidak tertarik. Mungkin ini merupakan bisikan setan, sebuah bisikan yang telah lama mengendap dalam diri Saya yang selama ini terus berusaha untuk membuat Saya makin jauh dari mereka. Saya tidak tahu.

Melihat dari bagaimana cara manusia mengenal Tuhan, Saya membagi mereka ke dalam dua kelompok: kelompok pertama adalah mereka yang dapat mengenal Tuhan dengan lebih baik melalui masjid; dan kelompok ke dua adalah mereka yang dapat mengenal Tuhan dengan lebih baik melalui realita, melalui cobaan-cobaan yang Tuhan berikan kepada mereka. Saya termasuk kelompok yang ke dua. Dan Saya pikir, Saya masih bisa bersikap terbuka untuk menerima masukan apa saja.

Sangat disayangkan, jika memang harus disimpulkan, agaknya fokus pandangan Saya tentang Tuhan selama ini lebih cenderung ke arah kemanusiaan secara umum dibandingkan dengan proses ritual agama itu sendiri. Bagi Saya, perintah-perintah dalam agama itu seperti semacam perantara saja untuk semakin mempertegas bahwa sesuatu adalah perlu untuk dilakukan karena memang itu baik. Sama seperti Rasulullah, yang juga telah menjadi perantara Allah dalam menyampaikan wahyu, karena Allah tidak menghendaki untuk menyampaikan wahyu tersebut sendiri (mau bagaimana lagi, itu sudah menjadi keinginan Allah). Akan tetapi, bahkan tanpa perintah-perintah tersebut, hati nurani manusia pada dasarnya sudah siap untuk menerima bahwa sesuatu itu baik atau buruk tanpa harus bertanya atau diperintah. Tuhan sudah menciptakan mereka seperti itu adanya. Orang tahu bahwa senyum itu baik, bahwa menolong sesama itu baik, bahwa berbakti kepada orangtua itu baik, dan mereka tidak perlu ayat-ayat Al-Qur’an untuk dapat menerima pernyataan tersebut. Hubungan sebab-akibat saja sudah cukup untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu baik atau buruk.

Seekor harimau tidak memiliki bahasa layaknya kita, mereka juga mungkin tidak bisa membaca Al-Qur’an. Akan tetapi mereka bisa tahu bahwa memakan anak mereka sendiri itu tidak baik.

Saya berasumsi bahwa Allah sebenarnya telah membisikkan hal-hal yang baik dan yang buruk jauh sebelum kita lahir ke dunia. Dan mungkin, Al-Qur’an kemudian membuka ingatan-ingatan tersebut kembali ketika kita sudah cukup usia untuk membacanya. Karena bagaimana mungkin, seorang bayi dapat menangis ketika melihat sesuatu yang buruk dan tertawa ketika melihat sesuatu yang baik, padahal saat itu mereka masih belum mengenal Al-Qur’an?

Mungkin itu yang menyebabkan banyak orang setuju dengan pernyataan bahwa semua bayi pada dasarnya suci.

Masing-masing agama memiliki ritual khusus yang harus dijalankan oleh para penganutnya dalam kurun waktu tertentu, dan dalam rentang waktu tertentu, dan itu bersifat wajib. Tapi sayangnya, beberapa orang melakukan semua itu hanya untuk melengkapi jadwal rutinitas dunia mereka. Mereka salat untuk memenuhi kewajiban saja karena dalam kewajiban akan selalu terdapat sanksi/hukuman yang menyertai setiap pelanggaran yang dilakukan. Orang salat karena salat itu wajib, karena jika mereka tidak melakukannya maka mereka akan berdosa. Orang makan karena makan itu wajib, karena jika mereka tidak melakukannya maka mereka akan kelaparan dan kemudian mati.

Tidak banyak orang yang Saya lihat, tergerak untuk menjalankan salat karena mereka memang butuh itu.

Sunnah, bagi Saya jauh lebih berharga dibandingkan dengan kewajiban. Saya melihatnya dari sisi seberapa sulit sesuatu untuk dilakukan, bukan dari seberapa penting sesuatu untuk dilakukan, bukan dari segi prioritas, karena jika Saya harus melihatnya dari segi prioritas, maka tetap; hal-hal yang wajib akan selalu menjadi lebih utama dibandingkan dengan hal-hal yang sunnah. Akan tetapi… apakah kalian tahu apa yang harus dimiliki oleh seseorang hingga mereka mampu untuk menjalankan sesuatu yang sunnah?

Inisiatif. Itu yang mereka perlukan. Untuk mengerjakan sesuatu yang sunnah, seseorang memerlukan inisiatif sendiri. Karena dalam amalan-amalan yang sunnah, tidak akan ada hukuman yang menyertai mereka ketika mereka memutuskan untuk melanggarnya. Baik mereka melakukan atau tidak melakukan, tidak akan ada hal buruk yang akan menyertai. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang tulus dan yang merasa butuh saja yang bisa dan akan bersedia untuk melakukan hal-hal yang sunnah.

Orang yang alim, yang rajin salat dan rajin mengaji… bagi Saya itu sudah terlalu mainstream. Semua orang bisa melakukan itu karena terpaksa atau karena sudah terlanjur terbiasa. Akan tetapi berapa orang yang mampu menjalankan salat dan membaca kitab karena mereka memang butuh untuk melakukan itu? Bahwa jika mereka tidak melakukan itu, maka hati mereka tidak akan merasa tentram?

Seorang ustadz dalam sebuah ceramah pernah berkata bahwa Allah pada dasarnya tidak pernah butuh dengan salat kita. Mau kita salat atau tidak, kebesaran Allah akan tetap sejati dan tidak akan pernah berkurang. 1

Ya. Yang membutuhkan salat adalah kita sendiri. Dan seharusnya, setiap orang melakukan itu untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, bukan untuk sekedar memenuhi kewajiban saja.

Saya lebih suka salat sendirian —betapapun orang berkata bahwa salat berjamaah itu lebih utama dibandingkan dengan salat sendirian— karena pada saat itu Saya merasa tidak ada kepura-puraan. Semuanya murni untuk Allah. Hanya antara Saya dan Allah saja. Berbeda ketika Saya berada bersama orang lain. Manusia itu mudah ditebak. Ada perasaan takut dalam diri mereka jika mereka sampai dianggap tidak beriman, tidak sempurna dan juga tidak taat kepada Tuhan mereka. Mereka takut orang lain menganggap mereka seperti itu, jauh melebihi perasaan takut mereka terhadap anggapan Tuhan mereka sendiri kepada mereka. Akan selalu ada perasaan seperti berusaha memaksakan diri untuk tampak salat secara sempurna, padahal hati dan pikiran tidak menghendaki dan ikhlas untuk melakukan hal tersebut.

Satu-satunya hal yang membuat Saya semangat untuk melakukan salat berjamaah adalah ketika Saya berada di antara orang-orang yang tidak mengenal Saya. Karena pada saat itu, tidak ada alasan bagi Saya untuk membuat penampilan salat Saya menjadi tampak sempurna di mata mereka, tidak ada untungnya bagi Saya untuk melakukan semua itu. Dan lagi-lagi, karena dengan cara itu maka Saya dapat merasa tetap sendiri, meski masih berada di sekitar orang banyak.

Kadang Saya memutuskan untuk berhenti salat. Itu adalah cara Saya marah kepada Allah. Saya tahu itu tidak baik, akan tetapi, Saya melakukan itu karena Saya tahu bahwa Allah mencintai Saya dan oleh karena itu Dia pasti tidak akan tinggal diam dan membiarkan Saya terus seperti itu. Saya tidak pernah berprasangka buruk kepada Allah. Akan tetapi, rasa marah pasti akan tetap ada ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana. Kamu pasti akan merasa marah kepada ibu kamu jika dia meminta kamu untuk masuk kuliah di bidang kesehatan, padahal kamu menghendaki masuk ke bidang seni. Dan kamu tidak berprasangka buruk kepada ibu kamu karena kamu tahu dia bermaksud baik. Meski begitu, kamu akan tetap marah juga kan? Ada semacam perasaan ingin mengeluh, “Kenapa sih harus seperti ini?!”

Akan tetapi kamu tetap mencintai-Nya.

24 April 2016


  1. QS. Fathir: 15 – 17