Salaman

Terkadang kita tanpa sadar terlalu keras mencoba untuk percaya kepada seseorang karena kita sudah tidak tahu lagi harus meminta pertolongan kepada siapa. Tapi yang terjadi adalah, seseorang yang kita harapkan dapat membantu kita ternyata tidak seperti yang kita harapkan. Kita seharusnya tidak boleh berharap terlalu banyak kepada orang lain, karena setiap orang juga memiliki urusan mereka sendiri-sendiri.

Kadang Saya merasa malu, pasrah dan menyesal juga karena telah berharap banyak kepada Ibu Paul. Sepertinya memang akan lebih baik jika Saya bisa menjalani semua ini sendiri, tanpa berharap terlalu banyak kepada orang-orang yang belum tentu bisa mengerti akan keadaan Saya. Dengan memberitahukan keberadaan jurnal ini kepada orang lain, Saya berusaha untuk sedikit lebih terbuka dan mulai percaya kepada semua orang.

Saya sadar bahwa, tak akan ada orang lain yang jauh lebih baik dari keluarga Saya.

Pada akhirnya, kita lebih cenderung memilih untuk hidup sendiri dan menyelesaikan masalah kita sendiri karena kita sadar bahwa tidak ada orang lain yang bisa kita andalkan. Selama ini kita berharap terlalu banyak kepada mereka dan yang terjadi adalah mereka selalu mengecewakan kita. Karena tidak ada orang lain yang bisa lebih baik dari kamu, tidak ada orang lain yang bisa lebih jujur dari kamu, tidak ada orang lain yang bisa lebih tulus dari kamu, tidak ada orang lain yang bisa lebih konsisten dari kamu, tidak ada orang lain yang bisa lebih disiplin dari kamu, tidak ada orang lain yang bisa lebih sakit dari kamu.

Setelah digantung sama Ibu Wina, akhir-akhir ini kebutuhan Saya akan liburan jadi semakin tinggi. Kadang Saya merasa bingung. Bingung, sebenarnya Saya ini harus bagaimana.

Waktu itu Saya diajak salaman sama Ibu Wina. Beliau menatap mata Saya dan tanya ke Saya, “Kamu tau nggak cara salaman yang benar?”

Saya berpikir. Dulu Saya ingat Ibu Ririn pernah mengajari Saya bahwa cara salaman yang benar itu kita harus mulai dari arah bawah. Telapak tangan kita berada di sisi bawah dari klien, bukan dari sisi atas. Tapi waktu itu anehnya Saya jadi tidak ingat sama sekali pada bagian ketegasan dan kekuatan genggamannya. Baru sekarang Saya bisa ingat lagi. Ibu Wina menggenggam tangan Saya erat sekali, sedangkan Saya sebaliknya, lemas… Beliau menatap mata Saya dan kemudian bilang, “Saya percaya sama kamu dan kamu juga harus percaya sama saya.“

Waktu itu… obrolan yang terjadi antara mahasiswa dengan dosen sepertinya jadi sedikit kebablasan menurut Saya. Kini obrolan tersebut berubah menjadi layaknya obrolan antara klien dengan perawat. Dulu Saya ingat ketika Ibu Wina mengajar di kelas Saya. Pernah beliau menceritakan tentang beberapa pengalamannya ketika beliau masih berstatus sebagai seorang mahasiswa yang sedang menjalani praktik keperawatan jiwa.

Gara-gara itu Saya jadi sedikit mengerti dan memaklumi, saat itu beliau sebenarnya sedang berusaha mengarahkan Saya ke mana.

Saya tidak suka diintimidasi, diajak bicara berdua saja dalam situasi yang sangat formal. Itu membuat Saya merasa seperti sedang ditelanjangi.

Libur telah tiba, tapi pikiran Saya masih saja berputar-putar di masalah praktik. Saya juga sudah tanya ke teman-teman Saya. Kata mereka, akhirnya besok Saya akan ditempatkan di RSUD Banjarnegara. Untuk masalah biaya praktik dan biaya hidup Saya selama satu bulan di sana sepertinya sudah beres. Yang namanya rezeki ternyata memang ada… saja. Sekarang sisanya hanya tinggal di Saya.

8 Juli 2015