Responsi

Sebelum praktik, semua mahasiswa jurusan D3 yang terdiri dari dua kelas, kelas A dan B digabungkan menjadi satu dan kemudian dipisah-pisah lagi menjadi beberapa kelompok besar untuk ditempatkan di beberapa Rumah Sakit yang berbeda pada masing-masing kelompok. Kemudian, setiap Rumah Sakit juga akan membagi kelompok besar tersebut menjadi beberapa kelompok kecil. Keuntungannya, kita jadi bisa kenal dengan teman-teman kelas lain yang selama ini belum sempat kita kenal. Kerugiannya, setelah sebulan berlalu, sekarang hubungan antara Saya dengan teman-teman Saya sendiri rasanya jadi makin renggang.

Hari ini adalah untuk pertama kali setelah satu bulan lamanya, Saya kembali masuk ke kampus. Tidak seperti biasanya, satu bulan yang satu ini rasanya kok lamaaaaaaaaaa sekali. Kalau kata ibu yang punya warung rames sih, itu pertanda kalau Saya tidak betah selama di sana.

Saya ketemu Nadia di kampus. Dia praktik bareng Saya di Banjarnegara kemarin, cuma beda kelompok. Setelah basa-basi sedikit soal LCD laptop–nya yang kemarin pecah secara ajaib, Saya menyempatkan untuk tanya ke dia, “Nad, kamu ngerasa nggak, kalau kita sekarang jadi kepisah-pisah?”

“Kepisah-pisah gimana maksudmu Fik?”

“Maksudnya, antara teman sekelas jadi merasa nggak kenal satu sama lain.”

Dia berpikir…

“Iya, Fik. Aku juga ngerasa gitu. Sekarang mereka jadi pada sombong. Pas tadi aku dateng dan papasan sama mereka, mereka nggak langsung nyapa. Harus liat-liat dulu baru nyapa, itu juga seadanya. Mereka kaya udah punya kelompok sendiri-sendiri Fik.”

Benar yang Saya rasakan. Tadi Saya juga bertemu dengan Rian Julianto. Saya lihat dia sedang duduk bersebelahan dengan mantannya dari kelas A. Mungkin sesuatu telah terjadi selama mereka di Margono.

Astaga, bahkan Saya sampai tidak menyadari kalau itu adalah Rian. Jadi Saya langsung mengucapkan “hai” kepadanya. Tapi seperti yang Saya duga, dia hanya menanggapi sapaan Saya seadanya. Beberapa menit berjarak darinya, Saya mencoba untuk mendekatinya ketika dia sedang duduk sendiri. Saya tanya basa-basi ke dia, “Bagaimana rasanya di Margono?”

Dia menjawab blablabla. Lalu Saya tanya lagi ke dia secara terang-terangan, “Eh, kamu ngerasa nggak sih, kalau kita semua sekarang jadi kepisah-pisah? Maksudnya, sesama teman kita jadi saling nggak kenal.”

“Masa sih? Nggak juga,” katanya sambil senyum kecut. Saya yang melihat ekspresi wajahnya malah jadi merasa awkward. Bukan seperti Rian yang biasanya. Dia seperti sedang berusaha untuk menghindari Saya, sama halnya dengan Saya terhadap dia.

Saya tidak percaya dengan perkataannya. Tatapan matanya tidak bisa membohongi Saya. Saya merasa ini akan menjadi masalah yang besar untuk ke depannya, jadi saat itu Saya bilang saja ke dia apa adanya, “Iya koh. Aku juga sampai ngerasa seperti nggak kenal sama kamu.”

Kemudian? Dia sempat menanggapi Saya dan menyanggah apa yang sedang Saya rasakan dan kemudian obrolan kami terputus. Dia kembali bergabung dengan kelompoknya.

Pertama Saya datang ke kampus, Saya berpapasan dengan Rizki Adiarti Lestari (praktik di Margono) sedang naik sepeda motor menuju pintu keluar, tapi dia enak saja pas Saya sapa dan tanya. Sebelum ke kampus Saya juga telah bertemu dengan Sutikno (praktik di Ajibarang) dan dia juga enak-enak saja ketika ditanya. Kemudian malam hari sebelum hari ini, Saya dan Santoso sempat main ke kosannya Burhan Yanuar (praktik di Purbalingga) dan dia juga enak-enak saja ketika ditanya-tanya soal pengalamannya di Purbalingga. Pagi ini Saya juga bertemu dengan Ani Sugiri, satu gerombol dengan Afrisya Yatikasari, Ade Wahyu Putri Efendi, Amelia Putri dan Lutfi Rizki Rahmawati (praktik di Margono). Mereka baru mau menyapa Saya setelah Saya beri hai. Setelah itu Saya papasan sama Ika Yulitasari (praktik di Margono) Saya beri dia hai dan dia menanggapi Saya dengan sangat baik.

Mungkin kita semua masih syok. Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, suasana hati Saya sampai terbawa ketika Saya dan teman-teman Saya masuk ke ruang responsi, dengan ibu Paul.

Keluar dari cerita yang tadi. Rasanya gelo. Kecewa berat ketika hari Senin ini Saya datang ke kampus untuk responsi dengan dosen Saya. Ekspektasi yang selama ini ada di dalam kepala Saya ternyata tidak sama dengan fakta yang terjadi.

Masa-masa praktik Saya di Rumah Sakit sudah berakhir sejak tanggal 29 Agustus yang lalu. Hari ini adalah saat dimana kita semua melakukan responsi untuk menjelaskan semua yang telah kami lakukan selama di Rumah Sakit. Pada awalnya Saya pikir Saya akan ditanya macam-macam secara mendetail mengenai hal-hal apa saja yang telah Saya kuasai dan sebagainya, tapi eh ternyata responsi dengan ibu Paul cuma begini saja. Percuma Saya mempersiapkan diri matang-matang dari rumah karena tugas-tugas Saya pada akhirnya tidak ada yang dikoreksi. Ajaib!

Saya tidak mengerti dengan cara kerja penilaian dari orang-orang seperti ibu Paul. Sepele, tapi mengerikan. Beliau hanya menilai kami berdasarkan seberapa banyak cerita yang bisa kami ungkapkan. Ini berarti bahwa untuk bisa mendapatkan nilai yang baik dari ibu Paul, kita hanya perlu banyak bicara.

Untuk yang ke dua kali Saya merasa hampir saja ditelanjangi oleh dosen Saya sendiri, tapi pada saat itu Saya tidak mau. Sejak awal Saya sudah tidak mau. Sebenarnya yang paling Saya khawatirkan adalah, ini akan mempengaruhi nilai-nilai Saya di masa depan.

Tapi bukankah kemarin Saya sudah mantap bilang kalau nilai sudah tidak lagi menjadi hal yang penting?

Ya, memang, tapi kalau usaha keras Saya di sana tidak dihiraukan seperti ini ya rasanya jadi kecewa juga. Tidak ada satu pun tugas-tugas Saya yang beliau sentuh. Saya hanya ditanya, sudah mengerjakan tugas berapa banyak, sudah mencapai target berapa banyak, setelah itu kami cuma diminta untuk cerita mengenai suka-duka kami di Rumah Sakit. Beliau bilang, kita bisa mendapatkan nilai B hanya dari tolok ukur bahwa kita bisa mengungkapkan semua yang telah kita lakukan di sana secara lepas. Istilah mudahnya, semakin banyak kita bicara, maka akan semakin banyak pula nilai yang akan kita dapatkan. Masuk nilai keaktifan katanya. Menurut Saya lebih tepat kalau disebut sebagai nilai perkembangan.

Saya sudah bukan anak-anak lagi. Sering sekali, Saya merasa seperti telah menjadi orang yang jahat. Mungkin karena Saya yang terlanjur tahu terlalu banyak. Tapi ini sudah menjadi bakat alam, dan Saya tidak bisa menghindarinya.

Saya punya satu pertanyaan: Bagaimana jika Saya tidak bisa menceritakan semuanya secara lepas karena Saya tidak tertarik?

Saya mau tanya, apakah ketika Saya tidak tertarik dengan lingkungan Rumah Sakit, itu juga akan mengurangi nilai Saya atau cara pandang ibu sebagai seorang ners terhadap Saya? Apakah Saya tidak memiliki jiwa seorang perawat?

Saya punya banyak sekali cerita, bu. Banyak sekali; kalau ibu sedang membaca tulisan ini. Tapi Saya butuh waktu untuk bisa menuliskan semuanya. Sejak kemarin Saya sudah disibukkan dengan begitu banyak tugas dari kampus. Dan sekarang, tugas-tugas yang telah Saya kerjakan siang-malam dengan susah payah tersebut malah tidak dikoreksi sama sekali. Saya tahu mungkin karena ibu bisa mendapatkan koreksi tugas-tugas Saya dengan mudah melalui diklat. Tapi rasanya tetap saja gelo bu.

Saya jadi ingin makan kateter.

Mungkin kalian semua yang telah mengenal Saya secara fisik sempat memiliki harapan bahwa setelah Saya menjalani praktik di Rumah Sakit selama sebulan, akan ada perubahan yang signifikan dalam diri Saya. Kalian harap Saya akan jadi lebih banyak bicara, lebih ramah, lebih banyak tertawa dan lebih mudah dalam bercerita. Ya, Saya memang telah berubah. Saya telah berubah banyak, tapi itu terjadi ketika Saya di sana. Entah kenapa ketika Saya kembali lagi ke sini, roh Saya terasa disentak-sentak secara mendadak. Sudah Saya bilang sejak awal bahwa Saya itu orangnya sangat bergantung pada lingkungan di sekitar Saya karena Saya sangat peka dengan semuanya. Sejak pagi tadi Saya memakai baju seragam hari Senin Saya, Saya sudah merasakan firasat tersebut. Sampai pada akhirnya Saya melangkah keluar dari tempat kos, hingga memasuki pintu gerbang kampus, Saya langsung merasa pusing. Terlalu banyak kenangan yang telah terjadi. Saya khawatir kalau Saya sampai tidak bisa berubah, seperti yang telah Saya janjikan.

31 Agustus 2015