Berjalan dengan sangat tidak lancar. Sore ini Saya kembali ke kampus untuk bertemu dengan Ibu Wina, sama persis seperti apa yang telah direncanakan sebelumnya. Tapi Saya masih juga tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Saya hanya bertemu dan berbicara dengan beliau selama bahkan kurang dari sepuluh menit, dan pertemuan itu sama sekali tidak memberikan kepastian apa-apa mengenai di mana sebenarnya Saya akan ditempatkan nantinya pada saat praktik. Percuma Saya capek-capek menunggu dari jam 8 pagi. Beliau bilang Saya harus minta konfirmasi lagi ke Ibu Paul.
Waktu itu Ibu Wina memberikan pertanyaan yang sangat terbuka kepada Saya. Dia menanyakan tentang “bagaimana”. Apa hasil akhir yang dapat Saya simpulkan setelah diberi waktu cukup lama untuk berpikir? Apakah Saya mau berubah?
Saya jawab bahwa Saya bisa mengusahakan itu semua. Apa yang Saya katakan kepada beliau ini adalah sebenar-benarnya jawaban. Alasan Saya ingin berubah adalah karena Saya mengerti bahwa cara hidup Saya selama ini sudah sangat salah. Ini semua sama sekali tidak ada kaitannya dengan Margono atau apa saja yang berhubungan dengan itu. Karena bagaimanapun juga, semakin Saya dipaksa untuk berubah hanya sebagai jalan untuk memenuhi persyaratan dalam memperjuangkan diri Saya sendiri agar dapat kembali direkomendasikan sebagai mahasiswa yang bisa melaksanakan praktik di RS Margono, justru itu malah akan semakin membuat Saya tidak mau melakukannya. Mengapa? Karena itu bukan merupakan keinginan Saya. Itu adalah keinginan RS Margono.
Selama ini para mahasiswa yang lain bisa bebas dipindahkan atau meminta pindah dari tempat praktik mereka ke tempat praktik yang lain sesuai dengan keinginan, dan yang Saya lihat, para dosen juga bersikap biasa-biasa saja. Tapi kenapa ketika Saya dipindahkan dari tempat praktik Saya sebelumnya, sepertinya kok Saya dibedakan sekali. Keputusan para dosen mengenai tempat praktik Saya yang terjadi saat itu seolah menjadi sesuatu yang sangat fatal. Padahal kalau mereka tidak bersikap sampai sebegitunya, sebenarnya Saya tidak akan merasa apa-apa. Saya merasa baik-baik saja ditempatkan di RS mana pun. Yang membuat Saya menjadi merasa bermasalah adalah ketika orang lain tidak setuju dengan apa yang terjadi pada diri Saya, sedangkan Saya sendiri merasa baik-baik saja dengan itu. Saya tidak keberatan dengan label bodoh, sebaliknya, Saya juga tidak keberatan dengan label pintar.
Saya percaya bahwa pada dasarnya masing-masing orang tahu dan akan berhasil menempatkan diri mereka pada tempat yang mereka anggap nyaman dan sesuai. Dan Saya percaya bahwa kelak mereka semua akan dapat hidup dan menghidupi diri mereka dengan itu. Kenyataan aktual dan tuntutan hidup mereka–lah yang telah membuat mereka jadi tidak dapat melakukan itu pada saat yang sama. Seperti halnya kenyataan bahwa Saya saat ini sedang berkuliah di jurusan keperawatan.
Ibu Wina mengatakan kepada Saya bahwa alasan beliau sampai memanggil Saya ke ruang dosen adalah karena beliau pikir kemampuan Saya dalam bidang akademis sangat disayangkan karena tidak dibarengi dengan kemampuan komunikasi dan keaktifan yang bagus. Saya mengambil kesimpulan bahwa beliau merasa khawatir kalau ilmu yang Saya peroleh nantinya akan sia-sia dikarenakan oleh ketidakmampuan Saya ini. Sebenarnya tidak sampai begitu juga. Saya telah membuat berbagai macam aplikasi berbasis kode sumber terbuka, dan Saya senang melakukan itu. Karena Saya melakukan semuanya tanpa tekanan. Saya juga telah memperoleh penghasilan dari itu. Saya bahkan sudah menggunakan penghasilan Saya tersebut untuk membantu orangtua Saya membiayai kuliah Saya. Membiayai makan dan minum Saya di sini. Kemudian mungkin kamu bertanya, “Kenapa kamu dulu tidak masuk saja ke jurusan pemrograman?”
Dengan sangat menyesal, Saya hanya bisa menjawab: ceritanya sangat panjang.
Ibu Paul adalah salah satu dosen sekaligus koordinator mahasiswa di kampus Saya yang memiliki tugas khusus untuk menentukan ke mana para mahasiswa akan melaksanakan praktik. Sejak awal Saya bertemu dan diajar oleh beliau, sebenarnya Saya sudah tahu kalau beliau itu tidak biasa, tidak seperti dosen-dosen yang lain. Teman-teman Saya yang lain mungkin bisa dengan mudah dikelabuhi oleh senyum dan canda beliau, tapi Saya tidak. Kesan pertama yang bisa Saya tangkap dari beliau adalah, beliau sangat penyendiri. Mungkin tidak secara fisik, namun secara psikis. Betapapun beliau dapat berbaur dengan para mahasiswa atau dengan sesama dosen, atau dengan para satpam, Saya tetap masih memandang beliau sebagai seseorang yang penyendiri. Karena Saya tahu, apa yang ada dalam batin beliau tidak pernah sama dengan apa yang terlihat di luar. Saya bisa membedakan mana sosok beliau yang benar-benar sedang ceria, dan mana sosok beliau yang hanya sedang berusaha untuk tampak ceria.
Sama halnya seperti yang lain, Saya juga bisa membaca suasana hati beliau. Saya bisa dengan mudah menyadari bahwa ada hal yang tidak biasa dengan cara beliau melihat Saya. Ketika beliau melihat Saya, Saya tahu bahwa saat itu Saya sudah diberi label. Sejak saat itu, Saya jadi cenderung berusaha untuk menghindari beliau, karena Saya tahu bahwa akan ada sebuah tuntutan khusus yang ingin beliau bebankan kepada diri Saya untuk memenuhi sesuatu hal.
Pada akhirnya Saya memberikan jawaban sesuai dengan apa yang Ibu Wina mau dari Saya, karena sejak awal masuk Saya juga sebenarnya sudah bisa menebak apa isi dari pikiran beliau. Dari situ Saya berusaha untuk menjadi orang yang memiliki mental biasa-biasa saja. Ketika orang biasa ditanya atau diajak berdiskusi mengenai bagaimana sih caranya agar kita bisa berubah menjadi lebih aktif lagi dari sebelumnya? Maka dengan mudah Saya bisa menjawabnya:
Untuk dapat menjadi orang yang lebih aktif, Saya harus bisa…
- Menjadi orang yang percaya diri
- Menjadi orang yang sering bertanya
- Menjadi orang yang sering menjawab pertanyaan
- Menjadi orang yang sering menyapa
- Menjadi orang yang terbuka dan mau berbaur dengan yang lain.
Itu adalah pertanyaan yang sangat mudah untuk dijawab secara teori. Saya bisa dapat nilai 100 setiap hari hanya dengan memberikan jawaban-jawaban seperti itu kepada semua orang. Tapi kemudian, apa esensinya? Apa efeknya bagi Saya setelah memberikan jawaban-jawaban tersebut? Menjadikan Saya dapat bersikap lebih biasa? Tidak. Saya sudah bukan anak-anak lagi yang bisa dibujuk dengan cara seperti itu.
Masalah utama yang telah menyebabkan Saya menjadi tidak bisa bersikap biasa adalah karena selama ini Saya tidak pernah diperlakukan seperti biasanya.
Saya sadar bahwa selama ini Saya sedang sakit. Sakit jiwa. Semua orang berusaha membantu Saya untuk keluar dari itu. Itu adalah naluri normal yang akan selalu ada dalam diri setiap orang. Mereka harus menolong Saya ketika ada sesuatu yang terlihat tidak beres pada diri Saya. Sayangnya saat ini Saya sedang tidak ingin dibantu atau diperhatikan oleh siapapun. Saya yang menyebabkan diri Saya menjadi banyak masalah, dan oleh sebab itu Saya juga yang harus menyelesaikan semua masalah ini.
Saya benar-benar tidak tahu bagaimana caranya agar Saya bisa bahagia seperti yang lain, karena Saya sendiri bahkan tidak paham dengan siapa sebenarnya diri Saya. Selama ini, yang bisa dan biasa Saya lakukan untuk mengatasi masalah Saya adalah dengan cara pergi ke tempat yang jauh, pergi ke tempat yang tidak Saya kenal, pergi ke tempat dimana tidak ada orang yang mengenal Saya. Saya akan pergi ketika Saya sudah merasa tidak sanggup lagi hidup dalam lokasi tertentu atau hidup bersama orang-orang tertentu.
Saya hanya menginginkan satu kesempatan dari kalian untuk membiarkan Saya pergi. Bukan sekarang, tapi suatu saat nanti, ketika waktunya sudah tiba. Saya ingin bertemu orang-orang baru. Saya ingin melupakan kenangan-kenangan Saya yang tidak menyenangkan dan kembali menjadi orang yang baru di tempat yang baru.
Saya akan merasa baik-baik saja selama Saya tidak diganggu dan dikhawatirkan. Bersikaplah seperti biasa kepada Saya, maka Saya akan bersikap biasa saja. Jika ingin memperhatikan Saya, perhatikanlah Saya dari kejauhan, jangan sampai Saya mengetahuinya, agar Saya bisa menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri Saya kepada kalian secara alami tanpa tekanan.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah peduli dan mengkhawatirkan keadaan Saya. Saya juga sekaligus ingin meminta maaf apabila Saya masih belum bisa menjadi pribadi seperti apa yang seharusnya. Setiap orang memiliki batasan kemampuan mereka sendiri-sendiri. Kamu tidak boleh memaksa seekor burung pinguin untuk terbang meskipun kamu tahu bahwa mereka punya sayap.
Saya ingin berubah menjadi lebih baik lagi. Telah lama Saya memikirkannya. Selama ini mungkin sebenarnya memang ada satu cara. Satu cara yang sebelumnya belum pernah Saya coba, satu cara yang mungkin akan mengubah semuanya menjadi lebih baik, atau justru sebaliknya, menjadi lebih buruk. Yaitu dengan cara “terbuka”. Dan jika memang, hanya ini saja cara yang bisa Saya lakukan sekarang untuk dapat mengubah diri Saya menjadi lebih baik lagi, maka Saya akan melakukan itu. Demi kebaikan Saya. Demi kebaikan semua orang.
Saya ingin menunjukkan buku harian ini kepada Ibu Paul.
6 Juli 2015
0 Komentar