Awalnya kita mau gabung satu kos sama Patrick dan Uli di Banjarnegara seperti yang telah direncanakan, tapi akhirnya tidak jadi karena meskipun biaya akan jauh lebih murah, tetap saja, satu kamar untuk empat orang itu rasanya pasti tidak akan nyaman. Belum lagi mengenai barang-barang pribadi kita yang akan diletakkan bersama dengan barang-barang pribadi mereka. Dan lagipula, setelah Saya cek tempat kos yang ditawarkan oleh Patrick, tempatnya juga tidak begitu menarik. Antara laki-laki dan perempuan dicampur. Bukan, bukan satu kamar boleh ada laki-laki dan perempuan. Cuma tidak ada batasan yang ketat mengenai perpisahan antara kamar laki-laki dan kamar perempuan. Pada awalnya Saya mau saja mengambil tempat kos di situ, karena pikiran Saya saat itu adalah hanya ingin mendapatkan tempat tinggal saja, sekedar untuk tidur dan istirahat. Tapi Santoso lebih suka dengan tempat kos yang cenderung sepi, yang hanya berupa rumah tinggal biasa.
Pada akhirnya kami berdua mendapatkannya. Letaknya berada di belakang RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara, dekat dengan sebuah mushola di dalam sebuah gang kecil. Menurut Saya rumahnya bagus, lebih bagus dari tempat yang Saya lihat sebelumnya. Televisi ada, kompor ada, kamar mandi ada, listrik bebas, air minum bebas, dan kadang kalau pagi, kami suka dibuatkan teh hangat sama yang punya rumah. Satu bulan cuma bayar 300.000 rupiah untuk dua orang dalam satu kamar. Dan karena memang jumlah kamarnya cuma ada satu.
Kesan pertama Saya masuk, ada sesuatu yang lain yang telah lama tinggal di situ selain si pemilik rumah. Tapi kesan tersebut berangsur-angsur hilang setelah satu hari berlalu.
Pemiliknya seorang wanita yang sudah tua. Beliau tinggal sendirian di situ. Dinding-dinding rumahnya kokoh. Pintunya dipenuhi dengan kunci gembok. Paling cerewet kalau sudah ngomong soal kunci gembok.
Beliau juga sudah pernah naik haji. Terlihat banyak foto di dinding rumah beliau yang sedang bersama anak-anaknya. Namanya mbah Parman. Saya tidak tahu usianya berapa. Tapi yang jelas, pasti sudah lebih dari 60 tahun. Hobinya menjahit. Kalau malam hari suasana di sini sepi dan dingin. Dan ketika semua orang telah tertidur, maka pada saat itu akan terdengar sayup-sayup suara mesin jahit yang sedang digunakan. “Ejegejegejegejeg…”
Mistis.
Kalau hari sudah pagi, kami akan melihat banyak jarum pentul berceceran di lantai. Mungkin karena mata dan genggaman tangan beliau sudah melemah, jadi tangannya akan gemetar ketika sedang membawa kotak jarum pentul, sampai tumpah-tumpah.
Di seberang rumah, di samping mushola adalah sebuah rumah seorang anak laki-lakinya (yang juga sudah tua).
Beliau juga kenal dengan beberapa orang dosen dari STIKes Harapan Bangsa. Ketika Saya tanya ke beliau, “Ibu kenalnya sama dosen siapa saja di sana?”
Beliau jawab, “Oh, Saya kenal sama itu… bu Nova, terus juga sama pak Madyo.” Itu sih yang Saya ingat. Katanya dulu juga sudah pernah ada beberapa mahasiswi dari kampus Saya yang tinggal di sini. Dipercayakan sama pak Madyo katanya.
Hari petama berantakan. Saya ditempatkan di ruang Anyelir, kelas tiga. Jadi ceritanya, pas waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, kita semua diperbolehkan untuk istirahat salat dan makan. Waktu itu sebagian besar dari kelompok Saya berpikir kalau prosesi penyerahan hari itu sudah selesai. Hanya terdiri dari pertemuan di aula dengan para pengurus Rumah Sakit yang berkepentingan, pengenalan lokasi praktik dengan cara keliling Rumah Sakit, dan perkenalan dengan seorang perawat pembimbing kami yang pertama —namanya bu Tri— untuk menentukan jadwal shift dan sebagainya. Eh, tapi ternyata… setelah istirahat berakhir sudah langsung mulai shift saja. Jadwal belum dibuat. Semua anak dianggap sedang shift siang. Konsentrasi kita semua sepertinya sedang tidak ada yang beres. Beruntung Saya sempat tanya ke Devi waktu itu, “Dev, kita hari ini udah selese kan?”
Tahu tidak? Waktu itu Saya baru saja selesai makan siang dan ganti baju, mau bobo cantik. Tapi kemudian Saya malah dapat pesan balasan begini: “Ine ya urung lah pik. Cpt ngeneh balik”
Mampus.
Kita berdua bergegas datang lagi ke Rumah Sakit. Ternyata kelompok Saya yang hanya terdiri dari enam orang ini memang hampir semuanya tidak ada yang masuk.
Miskomunikasi. Waktu itu aslinya yang ada cuma Devi dan Yuli. Lalu beberapa saat kemudian Saya dan Santoso datang ke ruang perawat. Padahal status Saya saat itu adalah penanggung jawab kelompok besar anak-anak kampus di Banjarnegara. Rada panik begitulah pokonya. Tiba-tiba Saya jadi berlagak rajin dan banyak tanya, supaya dikira aktif dan sebagainya. Maklum, suasana di ruang perawat yang sangat sempit, dan juga beberapa orang mahasiswa yang begitu terlihat sibuk keluar-masuk ruangan. Melihat mereka yang terlihat sangat sibuk, Saya sebenarnya merasa agak minder. Merasa seperti tidak mengerjakan apa-apa. Tapi Saya tidak begitu memikirkannya, karena dulu Saya juga sudah pernah mengalami bagaimana rasanya hari pertama bekerja, dan rasa awal-awal masuk kerja di mana saja ya memang seperti itu.
Pembimbing praktik Saya saat itu sepertinya tidak begitu banyak komentar, atau mungkin sudah, tapi sebelum Saya datang ke ruangan. Saya tidak tahu. Saya merasa tidak dapat firasat buruk apa-apa mengenai orang-orang di Rumah Sakit. Sebaliknya, yang Saya lihat paling judes justru malah salah satu kakak tingkat dari STIKes yang sama. Perempuan. Sepertinya familiar, dan Saya yakin dia juga sudah pernah melihat Saya sebelumnya. Waktu itu dia menoleh ke Saya dan bergumam dengan tatapan mata seperti orang mabok, “Baru pertama masuk sudah …”
Sabar.
3 Agustus 2015
1 Komentar
Bayu Handono
baru pertama masuk sudah apa?
datang terlambat?