Mungkin akan lebih mudah Saya jalani masa-masa berkabung ini andaikan kamu bilang kepada Saya secara tegas kalau kamu membenci Saya, sekeras-kerasnya di depan muka Saya, sehingga Saya bisa memiliki alasan yang kuat untuk melupakan kamu. Akan tetapi kamu tidak pernah membenci Saya, sedikit pun tak terlihat dalam raut wajahmu bahwa kamu membenci Saya. Saya hanya melihat ketakutan, bukan kebencian.
Terkadang, Saya merasa bahwa Saya masih memiliki kesempatan ke dua. Ketika Saya telah mantap untuk menyerah dan mencoba untuk membuka hati pada orang lain, pada saat itu kamu menunjukkan kepada Saya bahwa seolah harapan itu masih ada, namun ketika Saya mulai berhasil bangkit dan dapat membangun kembali harapan Saya kepada kamu, pada saat itu kamu menunjukkan bahwa sudah tidak ada lagi harapan untuk Saya. Itu, yang sebenarnya telah membuat Saya sangat stres sepanjang empat bulan ini.
Tiga hari ini fokus perhatian Saya tertumpah sepenuhnya kepada kepanitiaan BEM untuk membantu para mahasiswa baru menjalani masa-masa orientasi di kampus kami. Melihat wajah-wajah pucat mereka mengingatkan Saya akan masa-masa ospek Saya dulu. Dilihat dari sisi mana pun, tetap tak terbayang kalau dulu Saya juga pernah mengalami masa-masa seperti ini. Peran Saya di sini memang tidak begitu penting, hanya sebagai kakak pendamping. Tapi setidaknya Saya telah memasuki posisi yang tepat, sesuai dengan kemampuan Saya.






Ada beberapa alasan yang membawa Saya masuk ke dalam organisasi di kampus. Pertama, Saya ingin keluar dari zona nyaman Saya. Saya ingin mencoba sesuatu yang baru, ingin merasakan bagaimana sulitnya menjadi karakter yang bukan merupakan diri Saya. Ke dua, Saya kangen dengan masa-masa awal ketika Saya memasuki kampus ini. Saya ingin kembali merasakan masa-masa tersebut, selain juga untuk menghilangkan rasa jenuh dikarenakan rutinitas kuliah yang itu-itu saja (ini adalah cara paling sopan untuk bolos kuliah). Ke tiga, Saya ingin melakukan sesuatu untuk kampus, mencoba memberikan kontribusi apa saja untuk kampus semampu Saya. Karena mau tidak mau, dengan kuliah di sini maka Saya telah menjadi penghuni tempat ini juga. Ke empat, Saya ingin membuat kenang-kenangan yang indah di kampus ini. Saya harap kelak Saya bisa menceritakan masa-masa kuliah Saya di sini kepada orang lain di masa depan dengan isi cerita yang lebih bernilai, seperti apa yang sedang Saya lakukan sekarang. Ke lima, Saya ingin menghindari seseorang.
Rian
17 September 2015 yang lalu, sore hari. Semua anak kelas bahasa Inggris tingkat intermediate sedang menunggu dosen masuk untuk mengajar, ketika beberapa jam sebelumnya kami juga telah mengikuti kelas bahasa Inggris di ruang sebelah bersama dosen yang lain untuk mengatasi masalah jadwal kelas bahasa yang sempat tertunda di hari-hari sebelumnya. Di kelas bahasa sebelumnya, Saya sempat sedikit menyindir Rian mengenai keadaan dia dengan mantannya saat ini. Pada saat itu kita sedang bermain kuis bahasa Inggris, setiap yang menang (yang paling cepat membaca animasi ketikan keyboard di layar) diminta untuk menciptakan pertanyaan dari kata yang berhasil tersusun kepada pasangannya, dan pada saat itu kebetulan Saya mendapatkan kata “why”. Saya tanya ke Rian, “Why don’t you love her?”
Mendengar pertanyaan itu, dia tampak berpikir… sampai akhirnya dia mengerti dengan maksud Saya dan kemudian dia menjawab, “Oh, because I HATE her.”
Antara tatapan mata yang dendam berikut ekspresi wajah tertawa, menunjukkan bahwa dia sudah tidak lagi mempedulikan wanita tersebut. Berdasarkan kabar angin, katanya hubungan mereka berakhir karena orang ke tiga. Tapi yang membuat Saya kaget adalah, orang ke tiga yang dia maksud ternyata merupakan teman sekelas Saya sendiri.
Teman makan teman? Saya tidak tahu. Bukan merupakan hak Saya untuk mengorek-orek masa lalunya sampai sejauh itu, mengingat peristiwa tersebut juga sudah berlangsung cukup lama. Mungkin saja kejadiannya adalah, orang ke tiga yang dia maksud sebenarnya adalah bukan teman sekelas Saya, melainkan orang lain. Dan saat itu kondisi mereka berdua adalah sudah tidak ada lagi hubungan khusus, sehingga seiring berjalannya waktu, teman sekelas Rian yang Saya maksud tersebut kemudian memacarinya.
Cinta itu buta.
Kadang Saya suka iseng tanya ke Rian, “Rian, kapan kamu mau punya pacar lagi? Sebagai seorang teman kan Aku jadi ikut senang juga kalau misalnya kamu bisa dapat pacar lagi.”
Tapi setiap kali Saya tanya masalah itu, dia selalu mengelak dan mengatakan kalau tugas-tugas di kampus itu jauh lebih penting dibandingkan dengan wanita.
Pada kelas bahasa Inggris berikutnya, sikap Rian jadi agak aneh. Dia tanya serius ke Saya mengenai bagaimana kok bisa hidup Saya begitu santai, tidak terpikir untuk memiliki pacar atau hubungan khusus dengan wanita. Bagaimana caranya agar dia bisa hidup seperti Saya. Saat itu dia mengeluh kepada Saya dan bilang kalau kehidupan dia yang sekarang benar-benar sangat terganggu hanya karena masalah yang sedang dia alami tersebut.
Ekspresi wajahnya terlihat putus asa.
Rian adalah orang pertama di kelas yang berhasil tahu mengenai rahasia-rahasia Saya di sini. Mengenai isi pikiran Saya, mengenai tumpahan jiwa Saya. Orang ke tiga di STIKes Harapan Bangsa setelah ibu Wina dan ibu Paul.
Entah bagaimana, saat itu Saya hanya melihat jauh ke dalam pandangannya dan tanpa pikir panjang Saya memutuskan untuk berbagi rahasia Saya kepadanya. Saya bilang ke dia, “Rian, kamu mau baca buku harianku tidak? Buku harianku ada di internet. Nanti Aku beri tahu alamatnya. Tapi syaratnya, kamu tidak boleh menyebarkan rahasia ini ke siapa-siapa.”
Cara Saya dalam memilih orang-orang kepercayaan itu tidak sama dengan cara kamu dalam memilih. Ketika kamu menganggap seseorang sebagai orang yang dapat dipercaya apabila orang tersebut dapat menjaga rahasiamu rapat-rapat, maka bagi Saya, seseorang baru bisa Saya percayai untuk menjaga rahasia Saya apabila pada saat itu Saya dapat mencapai sebuah titik keseimbangan bahwa, terserah apakah orang tersebut akan menyimpan rahasia Saya atau pun menyebarkan rahasia Saya kepada semua orang, pada dasarnya keputusan yang orang tersebut ambil sama sekali tidak akan merugikan Saya. Meski saat itu Saya telah meminta Rian untuk menyimpan rahasia Saya dari siapa pun, tapi dalam batin Saya sebenarnya Saya tidak pernah membebankan permintaan Saya tersebut kepadanya. Jadi Rian, terserah apakah kamu akan menjaga rahasia Saya atau pun menyebarkan rahasia Saya kepada semua orang di dunia ini, Saya tidak akan punya masalah dengan itu. Saya tidak akan membebani kamu, sebagaimana Saya yang juga tidak membebani ibu Paul dan ibu Wina.
Kembali ke hari-hari orientasi mahasiswa baru. Ada satu kejadian menarik yang terjadi sepanjang tiga hari masa-masa orientasi kemarin: Sutikno jatuh cinta!


Wanita yang ada di foto namanya Risma, dari program studi kebidanan. Saya masih ingat, dulu, pertama kali Saya melihat wanita tersebut sedang duduk di samping tempat parkir di sisi gedung D pada acara PORSENI tahun lalu. Di sebelahnya tersandar sebuah tas jinjing berukuran cukup besar, entah apa isinya. Mungkin isinya baju. Sementara di sebelah Saya ada Rifa, yang sedang duduk bersama dengan Yunissa, memakai baju berpola kotak-kotak warna biru. Waktu itu Rifa tanya ke Risma, “Mbak, temen-temen udah pada mudik apa belum?”
Kakak Perempuan
Rifa punya kakak perempuan yang kuliah di jurusan kebidanan, di kampus yang sama. Kalau tidak salah, ketika Saya ospek dulu Saya pernah memperhatikan seorang calon mahasiswi yang sedang berbicara di depan yang mengatakan kalau alasan dia masuk ke STIKes Harapan Bangsa adalah bukan murni karena ingin menjadi seorang perawat, melainkan karena untuk ikut kakaknya yang juga sedang kuliah di sini. Saat itu, wanita yang Saya lihat sedang berdiri dan berbicara memakai mikrofon mungkin adalah Rifa.
Pas awal-awal, Saya pikir Risma adalah kakak perempuan Rifa karena Rifa memanggil dia dengan sebutan mbak. Dulu Rifa pernah cerita ke Saya kalau dia tidak dipegangi laptop karena laptop dia —yang merupakan milik bersama— sedang dipakai sama mbak–nya untuk praktik. Jadi sepanjang kuliah, kadang dia suka pinjam netbook Saya untuk mengerjakan tugas atau sekedar menggunakannya sebagai perantara untuk bertukar berkas dari flashdisk yang satu ke flashdisk yang lain.
Sabtu, 19 September 2015 di gedung C lantai dua. Saya mencoba untuk menguatkan dugaan Saya mengenai hubungan antara Rifa dengan Risma dengan cara iseng dan sok menebak kalau dia adalah orang Tegal. Saya tanya ke Risma sambil nunjuk-nunjuk, “Eh, kamu orang Tegal ya?”
Tapi dia bilang dia bukan orang Tegal. Jadi… di sini bisa Saya simpulkan bahwa Risma bukan merupakan kakak perempuan dari Rifa.
Saya sudah bisa melihat gelagat Sutikno dan Risma yang tidak biasa saat itu. Entah bagaimana, mereka berdua jadi terlihat lebih “akrab”. Malam hari saat perjalanan pulang, Saya melihat Sutikno menghentikan Risma yang sedang mengendarai sepeda motor, hendak menyeberang jalan, untuk meminta nomor ponsel tentunya. Dan ya, semuanya terlihat jelas sekarang.
Hari-hari berikutnya, Sutikno jadi sering melamun dan bertanya ke Saya, “Eh, caranya supaya bisa jadi lebih dewasa itu bagaimana ya?” Dia tanya ke Saya soal bagaimana caranya agar bisa terlihat lebih dewasa.
Saya paham bahwa saat itu Sutikno sedang jatuh cinta. Bagi Saya, pertanyaan-pertanyaan semacam itu sangat umum diungkapkan oleh laki-laki yang sedang naksir kepada seseorang. Saya juga begitu. Ketika Saya sedang naksir kepada seseorang, Saya jadi cenderung memiliki keinginan untuk menjadi orang yang lebih dewasa. Karena pendapat laki-laki mengatakan bahwa, secara umum, yang namanya wanita itu pasti tidak akan suka dengan tipe laki-laki yang kekanak-kanakan.
Sebagai seorang teman, Saya sering terpikir mengenai Sutikno semenjak dia mengatakan kepada Saya kalau saat itu dia sedang naksir kepada Risma. Waktu itu, yang Saya pikirkan mengenai Sutikno cuma satu.
Berkali-kali Sutikno mengucapkan terima kasih kepada Saya karena Saya telah membantu dia dalam memperjelas hubungan antara dia dengan Risma. Proses jatuh cinta, pendekatan dan penembakan yang terjadi hanya dalam kurun waktu tiga hari saja memang terlihat mustahil dan aneh, tapi kenyataannya itu terjadi pada mereka.
Ingin tahu bagaimana proses penembakan itu terjadi? Beberapa teman Saya ada yang berhasil merekam kejadiannya, tapi sayangnya Saya masih belum sempat meminta salinannya. Padahal ada satu adegan yang ingin sekali Saya lihat kembali, misalnya ketika Sutikno sedang bertekuk lutut dan memberikan bunga untuk Risma. Jadi, mereka berdua diseret ke tengah panggung dimana di situ sudah berjejer dua buah kursi. Di depan semua panitia, akhirnya Sutikno dipaksa untuk menembak Risma karena semua orang sebenarnya juga telah menyadari apa yang sedang terjadi dengan mereka.
Setelah kejadian itu, Saya berpesan kepada Sutikno agar dia bisa menjaga hubungannya dengan Risma baik-baik. Sebagai seorang teman, Saya tidak ingin dia mengalami pengalaman sakit yang sama dengan Saya. Selain itu, Saya juga mengingatkan dia agar bisa lebih mandiri dan percaya diri, karena Saya tidak bisa terus-menerus memberikan saran dan petunjuk kepadanya soal Risma, atau soal bagaimana cara menangani wanita secara umum. Kadang Saya merasa aneh juga, kenapa dia minta banyak saran ke Saya yang notabene belum pernah berpacaran, padahal dia sendiri dulu sudah pernah berpacaran beberapa kali.
Mengenai kegagalan Saya dalam mendapatkan seseorang, mungkin, salah satu alasan yang membuat Rifa tidak menyukai Saya adalah karena sifat kekanak-kanakan Saya.
Penerimaan
Beberapa hal yang Saya suka dari kampus ini, bukan karena fasilitas yang lengkap atau juga karena penampilan fisik para mahasiswa di sini, melainkan karena di sini Saya telah melihat begitu banyak impian yang gagal. Sebagian besar mahasiswa yang masuk ke jurusan keperawatan mengaku tidak memiliki minat sedikit pun untuk masuk ke bidang ini. Begitu pula dengan para dosen.

Dan mungkin juga dengan ibu Paul. Tidak semua orang bisa dengan mudah mencapai titik sensitif mereka hanya dengan melihat kata “harapan”. Kemarin sore Saya melihat beliau sedang berdiri sendirian memperhatikan papan poster bertuliskan “Pohon Harapan”. Di situ tergambar sebuah pohon berukuran besar dengan cabang-cabang yang kosong, tertempel kertas-kertas perekat dengan tulisan-tulisan hasil goresan pena dan spidol warna-warni berisi harapan-harapan para mahasiswa baru terkait dengan keputusannya masuk ke bidang keperawatan. Strategi bisnis yang bagus menurut Saya. Memanfaatkan perasaan dan harapan orang-orang untuk meningkatkan popularitas materi seminar yang dibawakan dengan cara menciptakan kesan yang membekas.
Saya tidak tahu apa yang sedang beliau pikirkan mengenai tulisan-tulisan tersebut saat itu. Saya juga tidak tahu sebenarnya ibu Paul dulu memiliki keinginan untuk menjadi orang yang bagaimana dan seperti apa.
Tahap acceptance atau tahap penerimaan merupakan tahap terakhir dari proses berduka menurut Kübler Ross. Apabila seseorang telah berhasil memasuki tahap ini, maka orang tersebut bisa dikatakan sudah siap untuk memulai kehidupan yang baru. Walaupun mungkin, rasa sakit itu masih akan tetap ada dan tetap membekas sepanjang masa. Itu manusiawi.
Semuanya butuh proses. Karena yang menjadi penting dalam hal ini adalah bukan mengenai bagaimana sakit itu hilang, melainkan mengenai bagaimana rasa terbiasa ini perlahan muncul dan berkembang untuk menerima dan mengalahkan rasa sakit tersebut, untuk semakin memperkuat kamu.
Seiring berjalannya waktu, kamu akan menyadari bahwa sesuatu yang sedang kamu perjuangkan tersebut sebenarnya sama sekali tidak penting untuk kamu, tidak bisa membuat hidup kamu menjadi lebih baik, melainkan sebaliknya. Perlahan tapi pasti, kamu akan mulai dapat membanding-bandingkan antara pengorbanan yang telah kamu lakukan dengan hasil yang kamu dapatkan dari pengorbanan tersebut. Hingga kamu dapat memperoleh sebuah kesimpulan bahwa: bahkan kalau pun pada akhirnya kamu berhasil mendapatkan seseorang yang kamu perjuangkan tersebut, hasil akhir yang kamu dapatkan nanti tidak akan sebanding dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah kamu lakukan. Ketulusan hati kamu, kerinduan kamu, doa-doa yang kamu berikan untuk dia, rasa sakit hati kamu, dan kekuatan kamu untuk menahan sedih dan amarah. Ketika itu kamu akan menyadari bahwa seseorang yang kamu perjuangkan tersebut sebenarnya tidaklah se–berharga yang kamu pikirkan selama ini. Karena cinta yang tak terbalas, pada akhirnya akan menyadarkan kamu akan sebuah pemahaman bahwa: rasa cinta yang kamu rasakan kepada dia sebenarnya tidak pernah lebih besar dari rasa cinta kamu kepada dirimu sendiri.
Setelah Saya pikir-pikir lagi, mungkin saat itu Saya hanya merasa terobsesi dengan kamu. Hal itu Saya sadari setelah Saya memikirkan semuanya, sepenuhnya, dari segala sudut pandang. Ketika Saya mencoba mengubah sudut pandang Saya mengenai pasangan kamu saat ini, entah mengapa persepsi Saya mengenai kamu jadi berubah. Ketika Saya bayangkan kamu berpacaran dengan Rian misalnya, Saya merasa baik-baik saja. Akan tetapi ketika Saya bayangkan kamu berpacaran dengan dia, Saya jadi merasa marah. Saya tidak bilang kalau dia itu buruk. Hanya saja, Saya melihat begitu banyak kejanggalan dari hubungan kalian, benar-benar tidak habis pikir mengenai kamu. Demi Tuhan, keputusan yang telah kamu ambil itu benar-benar salah! Dan kamu akan mendapatkan masa depan yang buruk apabila kamu meneruskannya. Saya tidak bisa dibohongi.
Waktu telah berlalu begitu lama. Perasaan yang tadinya cinta kini telah berubah menjadi sekedar perasaan ingin memiliki, karena Saya merasa bahwa masa depan kamu tidak akan baik jika kamu terus bersama dia. Semuanya kini berubah menjadi sekedar obsesi untuk menyelamatkan kamu dari masa depan yang buruk, bukan untuk hidup bersama kamu.
Ada orang yang pantas untuk ditangisi, dan ada pula yang tidak. Saya tidak bisa berbohong kalau sampai sekarang Saya memang masih tidak terima dengan keputusan yang telah kamu ambil, akan tetapi, setidaknya sekarang Saya sudah bisa membuang kamu.
Sudah empat bulan lebih Saya menjalani masa-masa depresi. Banyak hal yang terjadi. Sekarang adalah saatnya bagi Saya untuk menerima segalanya. Semua yang terjadi, semua yang Saya lihat dari kamu dan semua orang yang berhubungan dengan kamu. Saya tahu bahwa, meski sekarang keadaan Saya sudah membaik, akan tetapi rasa sakit Saya masih tetap dapat terus dan terus kambuh lagi selama Saya masih berada di lingkungan kamu. Karena meski faktor predisposisi Saya sudah berlalu, akan tetapi jika faktor-faktor presipitasi Saya masih tetap dapat Saya lihat dan dengar sepanjang hari, maka saat itu rasa sakit Saya akan kambuh lagi. Dan jika keadaan ini sampai berlangsung selama lebih dari enam bulan, itu artinya Saya telah positif gangguan jiwa.
Karena Takut Berharap Lagi
Masih membekas dalam ingatan Saya, peristiwa satu hari sebelum pelaksanaan caping day waktu itu. Jum’at, 31 Juli 2015, sore hari, sekitar jam empat. Mulai terlihat oleh Saya, perlahan-lahan para mahasiswa terpencar-pencar berjalan kaki dan bersepeda motor untuk pulang ke rumah dan tempat kos masing-masing. Pelaksanaan gladi bersih caping day telah seluruhnya selesai dilaksanakan di kampus.
Saya masih berada di sekitaran kampus. Entah mengapa, saat itu dada Saya terasa begitu berat. Sesak serasa tidak ingin berada di tempat itu lagi untuk selamanya. Saya bergegas menuju ke ruang dosen dan berusaha mencari bu Wina. Ada satu permintaan yang ingin sekali Saya sampaikan. Setelah beberapa kali tengak-tengok dan bertanya ke orang yang ada di ruang dosen, pada akhirnya Saya menemukannya. Beliau sedang memakai daster warna hijau #9BD3A4
berbahan kaus. Saya menyapa beliau, “Ibu, bisa bicara sebentar?”
“Iya kenapa?”
Waktu itu Saya benar-benar kebingungan, sampai-sampai Saya tidak tahu harus bicara bagaimana. Saya menawarkan beliau untuk berbicara dengan Saya di luar. Saya mengajak beliau sampai ke luar pintu ruang dosen, tapi ketika Saya telah sampai di bagian luar pintu, Saya tidak tahu harus pergi ke mana. Waktu itu bu Wina seolah mengerti dengan apa yang terjadi dengan Saya dan beliau pun menawarkan Saya untuk mengobrol di dalam. Dia sempat ikut-ikutan panik juga karena ternyata meja kerja beliau masih berantakan. Biasalah… ada buku-buku, pulpen, map, foto, boneka dan hiasan meja yang berserakan. Karena hari sudah sore, beberapa dosen sudah pulang sehingga bilik-bilik mereka kini tidak terpakai lagi. Bu Wina mengajak Saya untuk duduk di dalam bilik dosen yang terletak tepat di sebelah kiri pintu masuk. Kita berdua duduk.
Saya meminta izin untuk bernapas sebentar, dan beliau bersedia untuk menunggu Saya sampai Saya siap untuk bicara.
“Ibu, Saya mau tanya, apakah untuk praktik skill lab yang akan dilaksanakan di semester-semester berikutnya, pembagian kelompok masih sama dengan yang sebelumnya?”
Beliau menjawab, “Tidak juga. Itu tergantung dari bagaimana koordinator skill lab membaginya.”
Saya merasa sedikit lega saat itu. Kemudian Saya bertanya lagi, “Mungkin tidak bu, kalau misalnya di semester-semester berikutnya, urutan absen Saya diloncatkan saja dari kelompok yang lama, sehingga besok Saya bisa berada di kelompok yang berbeda?”
Beliau bilang bisa. Itu bisa diatur sedemikian rupa. Sesaat Saya melihat beliau tampak berpikir sebentar, dan kemudian memantapkan jawabannya lagi, “Iya, bisa… bisa…”
“Saya minta tolong ya bu.”
Semuanya berjalan lancar sampai beliau menanyakan tentang alasan mengapa Saya ingin keluar dari kelompok yang lama. Berkali-kali beliau membujuk Saya untuk memberitahukan alasannya tapi Saya tetap tidak mau karena Saya tahu kalau beliau sebenarnya sudah mengetahui alasannya melalui tulisan-tulisan Saya di sini yang telah beliau baca. Beliau bilang beliau bersedia untuk mengusahakan itu dengan syarat Saya bersedia untuk mengungkapkan alasannya melalui mulut Saya sendiri secara langsung kepada beliau.
Bagi Saya, itu adalah syarat yang berat. Sangat berat. Sampai-sampai Saya harus menguncupkan kedua telapak tangan Saya di depan mulut sebagaimana para penganut agama Hindu sedang berdoa. Mencoba menahan mulut Saya agar tidak terbuka. Saya menggeleng-gelengkan kepala Saya, menutup mata Saya, berusaha untuk melakukan pertahanan diri dari segala intimidasi yang dilakukan oleh beliau.
Sampai pada akhirnya Saya menangis di tempat.
Bu Wina mendiamkan Saya selama beberapa menit. Cukup lama Saya pikir, sampai dia beranjak dari tempat duduknya dan kemudian mengambilkan Saya sekotak tisu dari meja dosen yang lain. Beliau bertanya kepada Saya, apakah yang membuat Saya sakit hati itu adalah yang perempuan atau yang laki-laki.
Saya tidak bisa menjawabnya, saat itu Saya cuma bisa nangis. Diskusi kami berdua berakhir pada satu kesimpulan bahwa, Saya akan merasa baik-baik saja selama Saya tidak melihat mereka berdua sedang bersama-sama. Kemudian beliau bertanya, “Loh, berarti tidak masalah dong kalau besok kamu masuk di kelompok yang sama? Kan mereka berdua tidak bareng satu kelompok?”
Saya jawab, “Saya takut ngarep-ngarep lagi bu.”
Saya takut kalau nanti hari-hari Saya akan habis digunakan untuk mengharapkan sesuatu yang mustahil. Saya stres, tidak tahu apa yang harus Saya lakukan dengan keadaan Saya yang seperti ini. Di satu sisi, Saya menginginkan agar takdir Saya bisa berubah karena Saya merasa bahwa Saya memiliki potensi untuk mendapatkan takdir tersebut. Tapi setelah Saya pikir-pikir lagi, mendapatkan sesuatu yang Saya inginkan atas dasar perasaan kasihan dari orang lain juga tidak akan membuat Saya merasa lebih baik. Dan satu-satunya cara yang bisa Saya lakukan untuk mengobati diri Saya sendiri sekarang hanyalah dengan cara berusaha menghindari orang-orang yang telah membuat Saya sakit hati selama mungkin. Saya bilang kepada beliau bahwa apa yang sedang Saya lakukan sekarang merupakan terapi Saya untuk menyembuhkan Saya dari depresi, dan oleh karena itulah Saya berusaha untuk meminta pertolongan dari beliau dengan sangat, yaitu untuk memisahkan Saya dari mereka berdua. Tapi kemudian beliau menyimpulkan satu hal yang justru membuat Saya jadi bimbang lagi. Beliau mengatakan bahwa apa yang sedang Saya lakukan ini bukan merupakan bentuk terapi, melainkan hanya sebuah usaha untuk lari dari masalah, lari dari kenyataan.
Pada saat itu beliau berpesan kepada Saya agar Saya bisa lebih tegar dan berusaha untuk menerima kenyataan. Beliau ingin Saya berusaha untuk membuka hati kepada wanita yang lain, dan tidak lagi menyibukkan diri untuk merancang dan menciptakan dunia Saya sendiri seperti apa yang sedang Saya lakukan hari itu.
Pada akhirnya, Saya tetap tidak bisa merekayasa keadaan, untuk sekarang dan di masa depan. Saya putuskan untuk tidak lagi meminta bantuan kepada beliau dan orang lain demi membantu Saya merancang dunia palsu milik Saya. Bagi Saya, satu orang dapat mengetahui apa yang sedang terjadi pada diri Saya sudah cukup untuk menopang dagu Saya sebentar agar tidak menunduk lagi. Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, Saya berangkat ke Banjarnegara untuk menjalani praktik pertama Saya di Rumah Sakit.
Ada satu hal yang aneh sebenarnya, yang telah terjadi sebelum kami semua menjalankan praktik di Rumah Sakit. Menurut daftar yang diberikan oleh ibu Paul, pada awalnya Rifa ditempatkan di RSUD Banjarnegara, dan Saya ditempatkan di RSUD Margono. Akan tetapi, karena sesuatu hal akhirnya Saya dipindahkan ke RSUD Banjarnegara. Itu membuat Saya khawatir kalau Saya sampai harus berada di satu Rumah Sakit bersama Rifa. Tapi di hari ketika buku panduan dibagikan, ternyata Rifa telah dipindahkan ke RSUD Margono tanpa sepengetahuannya. Dia tampak kebingungan sekali saat itu. Saya tidak tahu apakah ibu Paul ada sangkut-pautnya dengan ini, mengingat beliau adalah koordinator PKK1, dan beliau juga sudah tahu mengenai keberadaan jurnal Saya. Aneh, karena cuma satu orang saja yang dipindahkan. Cuma Rifa.
Mungkin ini semua terjadi karena hasil campur tangan Tuhan. Jadi, Tuhan memindahkan takdir Saya di RSUD Margono menuju RSUD Banjarnegara untuk memindahkan Rifa dari RSUD Banjarnegara menuju RSUD Margono, melalui tangan ibu Paul.
Satu bulan kemudian, Saya kembali ke Purwokerto untuk menjalani aktivitas kuliah harian seperti biasa. Sejak saat itu, hubungan komunikasi antara Saya dengan Rifa dan teman-temannya benar-benar terputus.
23 September 2015
1 Komentar
Muhamad Hanafi
Wah deritamu, kuliah yang banyak cewek cakepnya, galau mulu ya? Hahahahaha
Harus kuat-kuat iman, serius.