Wajib

Amalan wajib itu seperti pajak. Sifatnya memaksa. Dan rutin. Salat, mengaji, bekerja dan belajar. Semua orang bisa melakukan itu dengan baik, diluar dari sepengetahuan kita apakah mereka itu melakukan semuanya secara terpaksa atau tidak, paham atau tidak dengan apa yang sedang mereka kerjakan. Sehingga tidak sempurna menurutku, kalau misalnya ada orangtua yang menilai calon-calon menantu mereka hanya dari sisi kelebihan menganai apakah dia itu orangnya rajin salat, lancar mengaji, rajin bekerja dan pintar, serta suka memakai pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang alim. Aku tidak bilang kalau sifat-sifat ini tidak penting. Aku hanya merasa kalau menilai pribadi seseorang dari hal-hal ini saja rasanya masih belum cukup.

Salat, mengaji, kerja dan belajar. Semua itu adalah kegiatan yang bisa dilakukan dengan cara terpaksa dan dipaksa, baik itu melalui paksaan secara langsung dari pihak-pihak tertentu ataupun melalui respon komunitas terhadap apa yang mereka perbuat di lingkungannya.

Seorang wanita tidak memakai hijab di negerinya sendiri karena rata-rata wanita di negeri mereka tidak memakai hijab, dan mereka tampak baik-baik saja. Ini masalah tekanan dari komunitas. Karena kalau mereka berhijab mereka justru akan dikucilkan. Namun ketika wanita tak berhijab tersebut dipaksa untuk (atau karena untuk alasan tertentu harus) tinggal di negeri Iran misalnya, nanti lama-lama wanita tersebut juga akan memakai hijab. Karena komunitas telah memaksa mereka untuk memakainya. Seminimal-minimalnya secara emosional. Misalnya karena perasaan tidak enak dengan para tetangga atau semacamnya. Sebagian besar wanita di sana memakai hijab, oleh karena itu jika ada seorang wanita yang tidak memakai hijab, maka wanita tersebut bisa dipastikan akan dikucilkan. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk mengikuti apa yang orang lain lakukan untuk alasan penerimaan akan keberadaan. Karena manusia adalah makhluk sosial.

Lancar atau tidaknya seseorang dalam menunaikan kewajiban, bagiku semuanya tergantung dari faktor lingkungan yang mereka tinggali saat itu. Diluar dari pendapat yang mengatakan bahwa panggilan juga memungkinkan seseorang untuk menjadi lebih baik. Tapi bukankah keberhasilan seseorang untuk masuk ke dalam suatu lingkungan yang baik itu juga merupakan sebuah bentuk panggilan? Malah, wujudnya lebih konkret. Tidak ada yang gaib-gaib, dan bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan.

Amalan sunnah itu lebih efektif untuk menilai apakah seseorang itu adalah orang yang baik atau tidak. Karena untuk melakukan amalan yang sunnah, seseorang harus mampu berinisiatif sendiri. Selain itu, dalam amalan yang sunnah juga tidak terdapat hukuman apapun yang akan dibebankan kepada seorang pelaku jika mereka memutuskan untuk melanggar atau mengingkari untuk mengerjakan amalan tersebut. Sehingga jika ada orang yang mampu melakukan sesuatu yang pada dasarnya tidak ada salahnya untuk dilanggar, maka perbuatan tersebut nilainya jadi lebih spesial.

Berbeda dengan amalan yang wajib. Orang mungkin melakukan amalan yang wajib cuma karena takut akan dosa, karena sudah terbiasa (karena rutinitas, karena reflek, karena memang sudah terampil), dan bukan karena murni atas dasar kesadaran atau perasaan cinta terhadap Tuhan mereka.


Dengan dituliskannya uneg-uneg ini, Aku sama sekali tidak memiliki maksud untuk memprioritaskan yang sunnah melebihi yang wajib. Di sini Aku hanya sedang berpikir dari sisi pelaku yang melakukan perbuatan, bukan dari sisi prioritas sebuah perbuatan.

Kalau ditanya soal yang mana yang lebih penting antara amalan yang wajib dan amalan yang sunnah, maka tentu saja yang lebih penting adalah amalan yang wajib. Atau bahkan mungkin kamu akan mengatakan kalau kedua-duanya itu sama pentingnya. Tapi kalau ditanya soal amalan mana yang lebih sulit untuk dikerjakan, maka Aku berpendapat kalau amalan sunnah itu jauh lebih sulit untuk dikerjakan dibandingkan dengan amalan yang wajib, karena untuk melakukan amalan-amalan yang sunnah, seseorang harus bisa berinisiatif sendiri.

5 Juni 2014