Beberapa hari yang lalu Aku sempat membaca sebuah artikel mengenai anak-anak indigo. Artikel tersebut berisi tentang penjelasan bakat indigo pada seseorang secara umum, disertai dengan pemberian referensi ekstra, berupa daftar rinci mengenai ciri-ciri fisik dan tingkah laku yang biasa tampak pada anak-anak dengan bakat indigo. Dalam pesan-pesan terakhir pada artikel tersebut tertulis saran-saran agar para pembaca tidak memberikan cap buruk/aneh kepada orang-orang indigo agar blablabla.
Dari situ Aku malah jadi merasa lucu. Di satu sisi si penulis ini mencoba untuk mengajak para pembacanya agar tidak memberikan cap aneh kepada orang-orang indigo, tetapi tidak jauh dari paragraf yang baru saja kubaca itu, beberapa paragraf di atasnya jelas-jelas tertulis secara rinci mengenai ciri-ciri fisik, perilaku dan hal-hal aneh yang terdapat pada orang indigo.
Dia memang tidak mengucapkannya secara tersurat bahwa dia itu sedang memberikan stigma aneh kepada orang-orang indigo, tetapi hal-hal yang dia tuliskan sebelumnya itulah yang justru telah memancing orang lain agar menganggap orang indigo itu sebagai orang yang aneh.
Selain itu, manusia juga tidak seharusnya distandarisasikan seperti itu. Yang punya bentuk kepala beginilah, yang punya ketajaman gigi begitulah, yang punya tempramen seperti itulah, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa yang sedang Anda bicarakan itu adalah orang-orang spesial. Walau bagaimanapun juga, setiap orang tidak akan mungkin bisa memiliki ciri fisik yang sama. Masalah terbesar yang akan terjadi jika Anda terus membuat daftar ciri-ciri fisik semacam itu adalah akan terciptanya sebuah pemahaman dalam diri masyarakat mengenai wujud orang-orang indigo secara kasat mata. Itu akan membuat masyarakat menjadi terbiasa untuk menandai orang lain dari segi fisik. Hanya dengan cara melihat sepintas, tanpa berpikir panjang. Tidak memanusiakan manusia, melainkan hanya menganggap manusia sebagai sebentuk benda. “Oh, dia itu orangnya begini, berarti dia itu indigo.” “Oh, dia itu orangnya seperti itu, berarti dia itu introvert.” Bukankah itu juga sudah termasuk dalam salah satu bentuk “pemberian label” terhadap orang-orang indigo/introvert? Dan Anda adalah salah satu penyebabnya!
Selain itu, nanti akan kasihan juga para indigo dan introvert yang tidak berhasil masuk ke dalam kriteria standarisasi fisik dan tingkah laku yang telah Anda buat. Usaha mereka untuk memperoleh kepercayaan dari orang-orang di sekeliling mereka akan jadi semakin dipersulit. Karena setiap kali mereka ingin mengungkapkan masalah ke-indigo-an dan ke-introvert-an mereka kepada seseorang, maka orang yang mereka ajak bicara tersebut akan langsung tidak percaya hanya karena mereka melihat ciri-ciri fisik orang indigo tersebut tidak sama seperti halnya ciri-ciri fisik yang mereka pahami dari referensi yang mereka dapat.
Tidak masalah jika Anda ingin menuliskan mengenai ciri-ciri khusus, kepribadian, bentuk fisik atau apapun itu yang berhubungan dengan orang-orang berkebutuhan khusus, akan tetapi jangan sampai lah melebih-lebihkan ceritanya. Kita ini manusia, bukan bahan penelitian!
Sebuah artikel Aku anggap sebagai artikel yang melebih-lebihkan jika artikel tersebut sampai mampu membuat para pembacanya reflek memberikan respon “wah”, “astaga”, “luar biasa” atau “ckckckckkk…”, meski hanya dari dalam hati mereka. Dalam bentuk bahasa apapun, meskipun tulisan tersebut telah dibuat sedemikian rupa dengan menggunakan bahasa yang resmi dan ramah-tamah.
Kalau tulisan-tulisan Anda sampai mampu menimbulkan histeria semacam itu, maka itu artinya Anda punya sedikit masalah mengenai tujuan utama Anda dalam menuliskan artikel tersebut.
Entah apakah Anda hanya sedang berusaha untuk populer, ataukah karena Anda memiliki mimpi untuk menjadi orang indigo atau introvert, tapi tidak kesampaian. Orang-orang yang pada akhirnya memutuskan untuk melakukan meditasi dan ritual-ritual aneh hanya agar bisa memiliki kemampuan untuk melihat hantu. Supaya bisa dikira kalau mereka itu indigo.
Penulis memberikan saran agar tidak lagi menganggap orang-orang indigo sebagai orang yang aneh, tapi penulis itu sendiri malah telah melakukannya secara tidak sadar. Hal ini, seharusnya bisa memberikan sedikit penjelasan mengenai mengapa kami menjadi sangat mudah merasakan depresi dan serasa ingin muntah-muntah setiap kali mendapati sikap orang-orang di sekeliling kami yang terlihat go**ok seperti itu. Memang, dari mulut mereka, mereka mengatakan bahwa mereka akan menghargai kami. Sangat menghargai kami. Bersungguh-sungguh akan menghargai kami. Akan tetapi fisik dan tingkah laku mereka justru melakukan hal yang sebaliknya.
Itu semua adalah reflek yang terdapat pada kalangan mayoritas. Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Mereka berusaha untuk menghargai kami, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga tidak mengerti mengenai apa-apa yang sebenarnya kami inginkan, sehingga mereka jadi terkesan sok tahu.
Setiap kali kami berbicara dengan orang lain, kami seolah seperti sedang berbicara dengan orang-orang psikopat. Kami berusaha untuk membujuk mereka agar tidak lagi membunuh orang-orang, karena yang namanya membunuh itu keji dan sangat dilarang. Akan tetapi mereka justru malah balik bertanya, “Loh, memangnya apa yang salah?” dan kemudian berkata, “Membunuh itu menyenangkan! Dan itu juga bisa membuat orang yang dibunuh menjadi senang!”
Yang menjadi masalah di sini sama sekali bukan soal orang-orang di sekeliling kami yang tidak menghargai kami, akan tetapi soal orang-orang disekeliling kami yang entah bagaimana tidak berhasil menyadari dan memahami bahwa apa yang sedang mereka perbuat kepada kami itu sebenarnya sangat tidak kami suka.
Nalar mereka tidak sampai.
6 Mei 2014
2 Komentar
yanto cungkup
saya malah belum tahu arti anak indigo mas, bisa dijelasin? maklum katrok. hehehe
Taufik Nurrohman
@yanto cungkup — Mungkin kurang lebihnya sama. Cuma beda bakat saja.