Bikin Kartu Mahasiswa

Saya tidak pernah sakit keras. Saya tidak pernah di-infus. Saya juga jarang terkena jarum suntik. Terakhir kali Saya terkena jarum suntik seingat Saya adalah ketika Saya disunat.

Kalaupun Saya sakit itu paling sakit kecil-kecilan yang biasa terjadi secara rutin. Batuk, pilek, demam. Biasanya sakit macam begini datang pada saat pergantian musim, pada saat menjelang Ujian Nasional dan pada saat menjelang bulan Ramadan. Setelah Saya baca-baca artikel di internet tentang jenis-jenis batuk dan penyebabnya, mungkin penyakit batuk Saya termasuk ke dalam kategori batuk psikogenik, yaitu penyakit batuk yang disebabkan karena faktor emosi dan psikologis.

Setiap kali Saya sedang berada di depan komputer karena sedang serius membuat sesuatu, atau ketika Saya berada di depan buku gambar, terkadang Saya mengalami batuk-batuk. Tapi setelah lepas dari itu, atau ketika pekerjaan telah selesai, batuk-batuk Saya langsung hilang. Mungkin karena waktu itu Saya sering tahan napas juga kali ya, makannya Saya jadi batuk-batuk?

Tapi tiga hari sebelum hari raya kemarin Saya sakit lumayan parah. Nggak tahu sakit apa. Mungkin semacam Tipes. Panas, demam, batuk-batuk, pusing. Saya jadi makin was-was karena beberapa minggu ke depan Saya harus pergi ke kampus untuk urusan pembuatan kartu mahasiswa. Yang membuat Saya khawatir sebenarnya bukan semata-mata soal sakitnya. Saya cuma merasa minder. Perawat kok sakit? Bagaimana bisa merawat pasien kalau sakit begini?

Syukur, beberapa hari setelah itu pada akhirnya Saya bisa sembuh juga dan pagi tadi Saya berhasil pergi ke kampus dalam keadaan sehat wal’afiat. Meskipun tetap saja, ada orang yang mengira kalau Saya masih kelihatan seperti orang sakit. Orang ini tidak tahu kalau sebelumnya Saya memang benar-benar mengalami sakit. Ketika Saya sakit waktu itu, Saya sampai-sampai harus tidak berpuasa di tiga hari terakhir bulan Ramadan, sampai hari raya.

“Bu… bu…”

Dia menoleh.

Bu, kalau mau buat kartu mahasiswa perginya ke mana ya bu?”

“Kamu baru masuk atau sudah di semester baru?”

“Baru masuk.”

“Coba tanya di ruangan di sebelahmu. Di dalam ada namanya mbak Eli.”

Saya akhirnya masuk lagi ke ruangan yang sudah lama Saya kenal di kampus ini sejak pertama kali Saya mendaftar sampai sekarang. Ternyata pengurusnya tidak banyak. Orangnya ya cuma itu-itu saja. Mugkin mereka serba bisa.

“Ya, ada yang bisa Saya bantu?”

“Saya mau buat kartu mahasiswa.”

“Mari lewat sini…”

Dia memperhatikan wajah dan gerak-gerik Saya, “Mas, sakit ya mas? Lemes banget.”

Yah… Saya masih dikira sakit juga sama bu Eli. Dari sononya Saya orangnya memang sudah lemas begini, lunglai, lemah gemulai. Saya juga tidak tahu kenapa perangai Saya selalu kelihatan lemas begini. Tipikal orang-orang yang biasa duduk berlama-lama di depan komputer atau buku gambar.

Mungkin karena Saya jomblo.

Autumn

Oya, waktu hari raya kemarin sahabat Saya tidak datang berkunjung. Mungkin memang sudah menjadi garis takdir. Sepertinya Saya memang harus fokus ke dunia Saya yang sekarang dan melupakan sebentar masa lalu Saya yang agak kelam. Percaya tidak percaya, dunia Saya telah terpotong. Ketika dulu kakak Saya berencana untuk menguliahkan Saya, dia pernah berandai-andai begini, “Fik, kalau besok kamu kuliah pasti temen-temenmu semuanya bakalan masih muda-muda banget. Tapi nggak apa-apa kok. Nggak bakalan kentara.”

‘Nggak bakalan kentara’ yang dimaksud di sini adalah bahwa jika Saya membaur dengan mereka, maka mereka tidak akan menyadari kalau usia Saya sebenarnya sudah berada lima sampai enam tahun lebih tua dari mereka. Yah, begitulah cara tangan Tuhan bekerja. Usia Saya sekarang sudah 22 tahun, tapi secara fisik Saya masih tetap kelihatan seperti anak usia 17 tahunan. Dibandingkan dengan anak-anak SMK, Saya juga masih terbilang kelihatan jauh lebih muda dari mereka karena fisik Saya yang kecil seperti tokoh kartun. Saya tidak berotot. Kulit Saya putih (sebenarnya kuning). Saya tidak suka berkumis. Wajah Saya tidak punya tulang-tulang yang menonjol. Saya juga tidak memiliki jakun yang mencolok.

Tapi sebenarnya ada untungnya juga si punya fisik begini. Yaitu ketika Saya bisa membaur dengan orang-orang yang lebih muda dan tetap terkesan seumuran dengan mereka. Sejak dulu Saya selalu dianggap sebagai anak kecil, anak bawang yang kalau main Kasti tidak pernah boleh kena sekok. Anak cemen dan sebagainya. Kalau keadaan yang sekarang Saya agak merasa lebih percaya diri begitu. Jadi merasa lebih ngemong. Apalagi mayoritas mahasiswa di sini adalah wanita. Siapa tahu bisa untuk shock terapy. Atau malah jadi biang shock? Haduh!

Sebenarnya Saya grogi sekali kuliah di kampus yang isinya mayoritas adalah wanita. Saya yakin di sini ada mahasiswa laki-laki, lebih dari sepuluh orang, karena Saya lihat di foto-foto mahasiswa ada cukup banyak juga mahasiswa laki-lakinya. Cuma ya itu, karena kampus ini sepertinya lebih diutamakan untuk wanita, Saya kadang jadi ragu dengan apa yang sedang Saya pakai. Sebenarnya jas yang Saya pakai ini adalah jas untuk wanita atau laki-laki? Bagaimana ya, kalau nanti di kartu mahasiswa Saya malah jadi kelihatan seperti laki-laki yang memakai baju wanita? Aduh, jadi makin a-i-u-e-o. Kalau sampai Saya nanti malah kelihatan seperti banci, mungkin bakalan Saya coplek saja itu foto dan bilang kalau kartu mahasiswa Saya rusak karena digigit sama kucing!

11 Agustus 2014