STIKes

Waktunya sudah hampir tiba. Setelah Aku bersabar dan menunggu begitu lama pada akhirnya Aku bisa juga sampai ke titik ini. Pagi tadi, sekitar jam delapan. Aku menuju ke sekolah SMK-ku yang dulu. Aku hendak melegalisir beberapa fotokopi Ijazah dan halaman rapor untuk keperluan pendaftaran kuliahku yang semoga saja semua urusannya bisa selesai pada bulan Januari nanti.

Semuanya berjalan sangat lancar. Ada beberapa hal kecil yang mengganggu memang, tapi jika kulihat kembali melalui sudut pandang secara umum, hal-hal tersebut sama sekali tidak masuk ke dalam kategori kegagalan rencana yang diciptakan oleh umat manusia. Aku hanya terlalu perfeksionis.

Seseorang di Koperasi, namanya pak Edi, guru agamaku dulu, sebenarnya sudah memperhatikanku sejak tadi. Hingga pada akhirnya dia bertanya padaku di saat Aku baru saja selesai memasukkan kertas-kertas fotokopi itu ke dalam stopmap.

“Sudah sampai ke mana sekarang kamu jang?”

Meski empat tahun sudah berlalu, tapi ternyata orang-orang di sini masih sangat ingat dengan siapa Aku. Ya iyalah Aku ini kan sangat lain! Bahkan jika Aku difoto bersama dengan anak-anak yang lain, Aku juga pasti akan tampak sangat kontras. Bukan cuma berbeda dari segi fisik saja tapi juga dari segi energi yang selama ini mungkin telah kukeluarkan tanpa sadar hingga membuat fisik mereka menjadi terpengaruh.

Aku menoleh.

Dia menebak, “Jakarta?”

Aku berusaha untuk memposisikan fisikku menuju ke keadaan santai dan kemudian berkata, “Ah nggak. Di sekitar sini saja.”

Berhenti sejenak. Di situ Aku mulai melihat ekspresi wajah yang sangat kontras dengan ekspresi ketika ia mengucap kata “Jakarta”. Pada saat ia mengucapkan itu, ekspresi wajahnya terlihat sangat meyakinkan, jadi Aku jamin perkataannya tadi itu bukanlah merupakan bagian dari basa-basi. Dia berpikir kalau Aku sudah sampai ke Jakarta, hingga kemudian Aku menyangkal tebakannya itu, raut wajahnya terlihat seperti sedang berpikir dan seolah berkata, “Loh kok bisa?”

Obrolan berlanjut (silakan tebak sendiri apa saja yang kami bicarakan saat itu). Sebenarnya Aku bisa memaklumi ekspresi wajahnya yang spontan seperti itu, yang sudah begitu lama menjadi sesuatu yang sangat umum dipancarkan oleh umat manusia yang suka bertanya mengenai kabarku saat ini, karena sebagian besar anak yang bersekolah di SMK jurusan otomotif memang seharusnya berakhir pada profesi sebagai seorang pekerja di PT. Dan yang terpenting adalah, lokasi kerjanya pasti tidak akan jauh-jauh dari kota Jakarta!

Terlalu banyak kosakata “Jakarta” yang telah kusimpan di dalam kenanganku. Seolah nama kota ini telah dijadikan sebagai standar ungkapan untuk menentukan kesuksesan orang lain: Cuma orang-orang yang sudah sampai ke Jakarta saja yang bisa disebut sebagai orang sukses. Seperti halnya kebiasaan orang-orang Jawa, terutama di Banyumas (setahuku), yang tidak akan merasa sudah makan kalau dia belum makan nasi! Meskipun sebelumnya dia sudah makan mi ayam atau baso sampai sepuluh piring, tapi kalau belum makan nasi, itu artinya dia masih belum makan.

Entahlah. Atau… mungkin karena dia melihat fisikku yang sekarang sudah tampak seperti orang Jakarta.

Dulu Aku itu orangnya sangat pemalu, sedangkan sekarang sudah tidak separah seperti yang dulu. Saat ini memang masih, tapi Aku sudah punya kemampuan untuk mengendalikan kekuranganku itu di waktu-waktu yang genting.

Aku selama ini telah mendapatkan bantuan dari alam. Percaya tidak percaya. Aku bisa memberikan beberapa buktinya kalau kamu mau tahu!

Jadi, beberapa saat sebelum Aku diminta untuk memfotokopi ulang berkas-berkas yang kubawa, Aku mendapatkan sebuah bantuan kecil. Aku harus memfotokopi ulang mereka semua ke Koperasi karena berkas yang ingin dilegalisir harus diberi semacam transparasi berupa cap tanda tangan dari Kepala Sekolah terlebih dahulu (jadi di sekolahku, Kepala Sekolah sama sekali tidak terlibat dalam urusan legalisir. Semuanya dipercayakan ke TU. Itu peraturan sekolahku. Masa bodoh, Aku tidak tahu cara yang benar itu seharusnya yang seperti apa). Saat itu ibu pengurus TU bertanya padaku sembari membolak-balikkan kertas-kertas fotokopi milikku di atas meja. Sambil duduk, “Ini mau dilegalisir untuk keperluan apa?”

Kujawab, “Untuk kuliah.”

Saat itu Aku masih dalam keadaan berdiri di samping meja dan sedikit bergerak-gerak kecil.

“Oh. Mau kuliah di mana?”

Tepat di saat beliau menanyakan itu, pada saat yang bersamaan seorang guru pria datang masuk ke ruangan sambil lalu menyuruhku untuk mengenakan sendal saja ketika masuk ke ruang TU, suara mereka berdua berpapasan!

“Itu sendalnya dipakai saja mas tidak apa-apa… | Oh. Mau kuliah di mana?”

Dan itu adalah kesempatan yang sangat bagus untukku agar bisa menghindar dari pertanyaan si ibu pengurus yang tadi. Jadilah Aku berjalan sedikit gugup keluar dari ruang TU untuk mengambil sendal dan kembali memakainya (anak mbajug pakai sendal ketika ke sekolah!) sambil sayup-sayup menjawab dengan nada tak jelas, “Di… diii… di sekitar Purwokerto saja, Bu.”

Mengapa Aku menyebut peristiwa kedatangan seorang guru pria yang kemudian menyuruhku untuk kembali mengenakan sendal itu sebagai sebuah bantuan dari alam?

Karena saat Aku ditanya itu, Aku lupa sebenarnya nanti Aku itu mau kuliah di mana! Aaaaaaakkk…!!!! Kan keterlaluan lah kalau mau kuliah saja nama tempat kuliahnya tidak tahu! Dari situ Aku merasa telah terbebaskan dari masa-masa memalukan yang seharusnya ditimpakan padaku.

Sekarang Aku sudah ada di rumah dan sedang menuliskan ini, dan Aku kembali membaca catatanku soal alamat kampus tersebut. Aku berencana untuk mendaftarkan diri kuliah di… STIKes Harapan Bangsa Purwokerto.

“Ooooooooooooooooooooooooooooohhh… Iya. Lupa!”

Bukan cuma pertanda alam dari dunia nyata saja, dari dunia maya pun ada!

2013-12-26 (tanggal pengambilan gambar cuplikan) – Lee, akper ki dudu akademi perempuan yo singkatane, dadi yo ono lanange baraang…
Seorang kenalanku di Facebook berbicara soal Akper.

Seolah sedang berusaha untuk memotivasiku, Aku diperlihatkan sebuah status dari seorang kenalanku di Facebook yang saat itu sedang berbicara soal Akper, padahal Aku sama sekali tidak memiliki ikatan dengan orang tersebut secara dekat (cuma sebatas kenalan dalam dunia blog. Dia juga tidak pernah tahu soal blog ini), dan Aku tidak pernah sekali pun membicarakan soal rencana kuliah ini di jejaring sosial (perintah dari mbakyu).

Mbakyu melarangku untuk membicarakan soal ini di jejaring sosial. Ada beberapa alasan yang menyebabkan dia melarangku untuk membahasnya, atau mencari tahu informasi soal seluk-beluk jurusan tersebut kepada kenalan-kenalanku di dunia maya. Padahal Aku punya seorang kenalan yang memilki profesi sebagai perawat. Aku sudah mengatakan itu padanya tapi dia bilang tetap tidak boleh. Tidak tahu apa alasannya, tapi Aku percaya saja. Selama ini Aku hidup di antara orang-orang dengan naluri yang luar biasa, jadi untuk apa Aku harus ragu soal itu?

Itu cuma dua contoh kecil. Jika kamu adalah tipe orang yang tidak percaya dengan hal-hal gaib seperti pertanda alam atau naluri, maka kamu boleh mengabaikan perkataanku di atas. Aku mempercayai ini, karena hal-hal ini tidak terjadi padaku sekali saja. Ini terjadi seumur hidupku! Dan kebersediaanku untuk memutuskan mempercayai hal ini juga membutuhkan waktu yang lama! Aku juga pernah berada pada masa-masa tidak percaya dan menganggap bahwa semua ini hanyalah merupakan peristiwa kebetulan.

Aku percaya bahwa setiap orang pada dasarnya mempunyai penolong alami mereka tersendiri di dunia, tapi tidak semua orang bisa menyadari akan pertolongan-pertolongan itu. Berbicara soal malaikat, yang kita tahu paling cuma ada sepuluh. Tapi bagaimana dengan yang puluhan ribu lainnya?

Aku juga sebenarnya tidak suka membicarakan hal-hal gaib seperti ini karena kupikir lingkup masalahnya tidak sesuai dengan gaya tulisanku di sini selama ini. Tapi saat ini sepertinya situasinya sudah cukup tepat. Jadi Aku bisa sedikit-sedikit mencuri kesempatan untuk mengungkapkan beberapa rahasia yang selama ini sebenarnya ingin sekali kuberitahukan tapi tidak pernah sampai karena Aku takut kalian semua akan menganggapku gila.

Kembali ke masalah rencana kuliah, sebenarnya Aku tidak punya motivasi tersendiri untuk bisa diterima. Semuanya berdasar pada kepasrahan. Setelah tidak berhasil mencapai mimpi-mimpiku terhadap ilustrasi, kemudian Aku tidak berhasil lagi untuk mencapai mimpi-mimpiku terhadap dunia perkembangan web. Dan kini, Aku akan menyerah lagi dari bidang alternatif itu untuk memasuki bidang yang baru lagi. Sebuah bidang yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku selama ini.

Bagi kalian yang kebetulan sedang berada dalam situasi yang sama sepertiku mungkin akan merasakan satu ganjalan yang sama di dalam hati dan pikiran. Kita selalu ingin bertanya, sebenarnya Tuhan itu ingin kita menjadi apa? Pada saat awal-awal Aku dilahirkan ke dunia, Aku telah didekatkan dengan orang-orang yang pandai menggambar dan melukis. Saat itu Aku sudah merasa cocok saja dengan bidang ilustrasi. Sampai saat ini! Dan Aku berharap dengan sungguh-sungguh agar kelak Aku bisa hidup sebagai seorang ilustrator profesional. Tapi ternyata gagal. Dan saat itu Tuhan kembali mengantarkanku menuju bidang keahlian TI melalui peristiwa yang sebenarnya tidak begitu mengenakkan saat itu. Kemudian tahun ini Aku gagal juga mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang yang profesional dalam bidang tersebut. Aku bingung.

Move On!

Apapun itu, Aku hanya tidak ingin berpikir terlalu panjang soal ini. Aku juga berharap agar Aku bisa segera diberi kemampuan untuk berhenti menulis secara total di web ini, tepat setelah Aku mempublikasikan jurnal ini. Mulai sekarang, Aku ingin kembali lenyap dari zona nyamanku saat ini, lalu berusaha untuk memulai memasuki bidang yang baru lagi. Lagi!

Aku tidak boleh hilang fokus.

26 Desember 2013