Selamat Natal

Membicarakan soal hukum boleh atau tidaknya mengucapkan “selamat” atas dirayakannya hari-hari besar yang terjadi pada umat non-muslim sebenarnya sangat sensitif. Tidak berbeda seperti halnya ketika kita membicarakan soal mana agama yang paling benar, atau mana orang yang lebih kafir. Betapapun tinggi ilmu agama yang kamu miliki, ketika kamu sudah berani untuk memulai membicarakan masalah-masalah semacam ini, maka bisa dipastikan kamu itu sedang mencoba untuk mencari keributan. Bahkan jika ternyata niatmu bukan untuk itu, orang lain akan tetap menganggapmu sedang berusaha mencari keributan. Jika kemudian ternyata kamu tidak berhasil mengerti bagaimana orang-orang bisa berpikir bahwa kamu itu sedang mencari keributan, maka itu artinya kamu yang punya masalah.

Sebenarnya ilmu agamaku tidak cukup matang untuk membicarakan soal ini. Khususnya mengenai pengucapan hari raya Natal untuk orang-orang Kristen.

Di sini Aku hanya ingin mencoba untuk menjelaskannya secara damai, murni dari sisi kemanusiaan tanpa adanya keterlibatan akan fatwa-fatwa agama yang membingungkan yang seringkali hanya akan menimbulkan konflik, dikarenakan oleh perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, orang-orang yang hobi menggunakan fatwa-fatwa untuk menyalahkan orang lain, orang-orang yang hobi menggunakan fatwa-fatwa untuk menunjukkan bahwa dia adalah kebenaran.

Walau bagaimanapun, Aku selalu merasa bahwa fokus masalah yang sering dibahas oleh orang-orang yang ahli dalam “bidang” ini sebenarnya tidak jauh-jauh dari usaha untuk menciptakan standar-standar egois sebagai penentu bagaimana seseorang bisa disebut sebagai orang yang bertoleransi terhadap umat beragama lain, dan juga bagaimana seseorang bisa disebut rukun dengan umat beragama yang lain. Yang ujung-ujungnya tetap saja hanya akan berakhir pada penentuan mana yang lebih beriman dan mana yang tidak. Tai kucing! Aku menyebut ini salah karena selama ini mereka hanya menilai standar kerukunan antar-umat beragama dari ucapan “Selamat Natal” saja. Aku tidak bilang semua, tapi sebagian pasti iya.

Menurutku orang-orang yang selama ini berusaha untuk membuat sanggahan-sanggahan agar mereka bisa membenarkan mengenai pengucapan “selamat Natal” secara umum kepada orang-orang Kristen hanya merasa paranoid bahwa orang-orang Kristen itu semuanya tidak akan toleran dan tidak akan bisa memaklumi jika kita tidak mengucapkan “selamat Natal” kepada mereka.

Dari mana mereka bisa tahu kalau orang-orang Kristen akan membenci kita jika kita tidak mengucapkan “selamat Natal” kepada mereka? Ataukah selama ini mereka cuma berburuk sangka saja kepada orang-orang Kristen? Apakah kalian pikir dengan tidak mengucapkan “selamat Natal” kepada orang-orang Kristen, itu artinya kemudian orang-orang Kristen akan memerangi kita?

Seluruh umat beragama (yang diakui oleh dunia) itu cinta damai! Tidak mungkin hanya dengan tidak mengucapkan “selamat Natal” saja, itu akan membuat kita semua menjadi bermusuhan. Justru pembahasan yang sangat mendetail seperti inilah yang seringkali malah menimbulkan perpecahan. Kalian semua terlalu sensitif. Terlalu merasa bahwa selama ini kalian punya musuh. Padahal tidak ada yang sedang memusuhi kalian.

Seseorang yang tidak mengucapkan “selamat Natal” kepada orang-orang Kristen di sekitar mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa orang tersebut tidak bertoleransi kepada mereka. Hancurlah kamu jika selama ini kamu tetap bertahan pada pemikiran bahwa standar toleransi antar-umat beragama yang baik hanya ditentukan oleh ucapan itu saja.

Aku yakin, kalau saja kita bersedia untuk menjelaskan batasan-batasan agama kita mengenai pengucapan “selamat hari raya …” ini kepada mereka, mereka juga pasti akan bisa mengerti dan memaklumi.

Apa sih sebenarnya yang selama ini kalian khawatirkan? Takut diperangi? Takut dibenci? Kalian sendirilah yang menciptakan kebencian itu sejak awal.

Dan yang terpenting adalah, mohon bedakan antara tidak mengucapkan “selamat Natal” dengan secara terang-terangan mengucapkan, “Hai! nama Saya Taufik Nurrohman. Dan Saya tidak mengucapkan selamat Natal kepada kalian semua! Wahai orang-orang Kristen!!!”

Itu adalah dua hal yang berbeda. Kita tidak mengucapkan “selamat Natal”, bukan karena kita tidak mau mengucapkannya. Kita hanya tidak berinisiatif untuk mengucapkan itu.

Mengapa? Karena orang-orang Kristen di sekeliling kita tidak pernah menyuruh kita untuk menyelamati mereka. Kecuali jika mereka menyuruh kita untuk mengucapkan selamat kepada mereka atas dirayakannya hari besar agama mereka. Di sinilah toleransi bisa digunakan. Silakan ucapkan “selamat Natal” kepada mereka jika kamu memang mau, karena saat itu kamu mengerti dan memaklumi bahwa orang Kristen yang sedang memintamu untuk mengucapkan “selamat Natal” itu tidak tahu mengenai larangan-larangan dalam agamamu akan pengucapan “selamat” itu. Itu wajar kan? Orang Kristen tidak tahu soal hukum-hukum Islam itu wajar kan?

Tapi tentu saja, pasti akan selalu ada kesempatan untuk menjelaskan kepada mereka jika kamu mau, bahwa kamu itu memiliki batasan-batasan tersendiri mengenai pengucapan “selamat” ini di dalam agama yang kamu anut. Jangan takut untuk meminta maaf dan mengucapkan bahwa kamu tidak bisa mengucapkan “selamat Natal” kepada mereka karena agamamu melarangnya. Bukan cuma orang Islam saja yang punya toleransi. Mereka juga punya! Jadi jangan meremehkan agama-agama lain seperti itu!

Kalian tidak mau meminta maaf dan menyempatkan diri untuk menjelaskan larangan-larangan agamamu mengenai pengucapan “selamat” itu? Dan lebih memilih untuk mengucapkan “selamat Natal” saja begitu? Sombong sekali kamu yang tidak mau meminta maaf. Dan malasnya kamu yang malah lebih memilih untuk menggunakan jalan pintas, yaitu dengan cara mengucapkan “selamat Natal” saja tanpa babibu sehingga komunikasi kalian dengan orang-orang Kristen itu bisa dipersingkat. Itukah yang kalian maksud sebagai kerukunan antar-umat beragama?

Bagiku, kata-kata ini jauh lebih baik:

“Mohon maaf, Saya tidak bisa mengucapkan itu karena agama Saya melarangnya. Saya bisa membantu kalian memasangi pohon-pohon Natal, memasangi lampu-lampu hias dan menata ruangan perayaan yang diperlukan, tapi Saya tetap tidak bisa ikut merayakannya ataupun menyelamati kalian. Saya melakukan semua ini atas dasar rasa kemanusiaan saja tanpa melibatkan unsur-unsur perbedaan agama sedikitpun. Saling membantu atas nama kemanusiaan, bukan atas nama agama. Saya harap hal ini bisa dimengerti oleh kalian.”

dibandingkan dengan ini:

“Hai! Selamat Natal! Dan selamat tinggal!!!”

Aku yakin tidak ada satupun orang Kristen yang akan merasa senang dengan kata-kata-formalitas-atas-nama-toleransi-antar-umat-beragama seperti itu. Itu cuma omongan di mulut saja. Tidak akan ada gunanya. Tidak diselamati juga tidak akan masalah.

23 Desember 2013