Berlagak Antusias
Beberapa orang gemar menanyakan tentang solusi dari suatu masalah yang sebenarnya tidak ingin dia pecahkan. Mereka melakukan itu biasanya hanya untuk menunjukkan eksistensinya terhadap orang/pembimbing yang mereka idolakan (atau bahasa gaulnya caper).
Aku pikir itu adalah sifat kekanak-kanakan yang wajar jika Aku mencoba utuk melihat mereka dari sudut pandangku yang saat itu bukan merupakan pembimbing yang sedang mengajari mereka. Setiap orang yang ingin bersungguh-sungguh untuk mempelajari dan menyerap ilmu yang diberikan oleh guru favoritnya pasti akan mengalami masa-masa ingin diperhatikan seperti itu.
Penanya: “Kalau misalnya Saya ingin menjadikannya seperti ini apakah akan berhasil?”
Yang ditanya: “Berhasil tidak berhasil itu ada banyak faktornya. Cobalah sendiri, dan lihatlah sendiri apakah teori yang kamu buat itu akan menghasilkan kesimpulan yang diinginkan atau tidak.”
Penanya: “Untuk mengetahui apakah sebuah zat itu adalah zat asam, apakah warna kertas lakmus ini nantinya akan berubah menjadi merah atau biru, atau yang lain??”
Yang ditanya: “Celupkan kertas tersebut pada zat asam yang Saya sediakan di dalam cawan tepat di depanmu. Dan lihat apakah warnanya nanti akan berubah menjadi merah atau biru, atau malah jadi warna-warni seperti pelangi.”
Penanya: “Terus, kalau untuk pembahasan yang begini bagaimana Pak??”
Yang ditanya: “Nanti dulu! Baru lima menit Saya menjelaskan kamu sudah tanya-tanya lagi. Kalau kamu sudah paham yang ini baru akan Saya jelaskan materi selanjutnya.”
Penanya: “Kalau misalnya begini bagaimana? Kalau misalnya Saya ingin seperti itu bagaimana?”
Yang ditanya: “… Kalau pertanyaanmu Saya jawab, apakah kamu benar-benar akan mengimplementasikanya? Atau, kamu hanya sedang mencoba untuk bertanya sembarangan saja?”
Pada kenyataannya, tidak akan ada seorang gurupun yang berani menjawab pertanyaan dari sang siswa dengan nada bicara seperti contoh dialog yang Aku tuliskan di atas. Meski secara pribadi Aku merasa bahwa jawaban-jawaban yang tegas seperti itu justru akan mendidik mereka. Mungkin untuk orang-orang yang sudah selayaknya dianggap dewasa. Terutama untuk menunjukkan sebuah pendidikan bahwa, seseorang itu hendaknya bertanya ketika dia sedang membutuhkan saja, dan ketika dia sedang tidak bisa melakukannya sendiri atau tidak bisa menemukan jawabannya secara mandiri. Kalau setiap siswa hanya mengandalkan sang guru yang mereka anggap pintar dan mengesankan untuk memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mereka, lalu usaha mereka untuk belajar itu ada di sebelah mana? Justru, itu hanya akan menimbulkan kesan manja dan malas untuk berusaha.
Banyak hal sebenarnya yang bisa orang lakukan untuk menemukan berbagai jawaban dari pertanyaan-pertannyaan mereka sendiri tanpa harus bertanya. Hanya dengan melakukan sedikit gerakan fisik, maka jawaban bisa segera Anda dapatkan!
Sesulit itukah? Apa sih susahnya mencelupkan kertas lakmus ke dalam zat asam untuk melihat hasilnya sendiri? Kecuali… kalau kamu itu tidak punya tangan dan kaki untuk bergerak dan tidak punya logika untuk berpikir mencari solusinya. Itu baru namanya kesulitan.
Aku juga pernah mengalami masa-masa seperti itu dan melihat orang-orang seperti itu ketika sedang bersemangat dalam belajar. Mungkin Aku hanya berharap agar sang Tutor yang membimbingku bisa merasa terkesan padaku atau agar sang Tutor bisa menyadari bahwa saat itu Aku memang benar-benar sedang memperhatikan. Akan tetapi, seorang guru yang peka dan benar-benar peduli terhadap ilmu yang sedang dia coba berikan agar bisa bermanfaat tentunya bisa dengan mudah memahami gelagat siswa dan siswi semacam ini. Dan kupikir, itu adalah saat-saat membimbing yang paling menyebalkan dan memuakkan untuk dibuat serba ramah-tamah. Hanya saja… mau bagaimana lagi?
Malu bertanya, sesat di jalan. Terlalu banyak bertanya adalah pemborosan komunikasi. Begitu menurutku.
29 September 2013
0 Komentar