Robekan
Kusadari bahwa uang yang diberikan kakakku semalam sudah robek di bagian tepinya. Aku tahu dia tidak sengaja melakukan itu karena matanya memang sudah lama tidak bisa melihat jelas sejak SMA. Bukan, bukan rabun. Cuma minus sedikit. Hampir semua wanita mengalami itu (hehe).
Pada kenyataannya, meski robekan uang yang terbentuk hanya sekecil ini namun ternyata tetap bisa membuat orang dengan mata normal mengalami kesalahan yang sama (Itu jika mataku normal). Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya. Bukan soal uang robek atau mengenai mata kakakku. Ini soal pengalaman lama yang tidak begitu menyenangkan. Pagi itu kuteriaki kakakku untuk memintanya mengganti dengan uang yang masih layak!!!
Luar biasa. Kupikir Aku sudah berhasil melupakannya. Tapi uang robek ini benar-benar mengingatkanku kembali kepada gaji pertamaku di hari kerja pertamaku.
Malam itu, entah tanggal berapa Aku sudah lupa. Ketika Aku mendapatkan gaji pertamaku setelah sebulan bekerja, begitulah. Di sini kami semua bisa dibilang bekerja secara serabutan. Bekerja di toko bukan berarti terus bekerja di toko. Kita bisa saja diminta untuk menangani sablon dan mengepel lantai jika perlu. Mengenai tempat kerja Aku rahasiakan saja, jika kalian sudah pernah membaca ceritaku dulu, saat pertama kali Aku mendapat pekerjaan Aku yakin kalian akan segera tahu di mana peristiwa ini terjadi.
Wajar saja jika dia menggajiku dengan uang tunai apa adanya, seperti sedang memberikan kertas tisu. Pekerjaanku adalah pekerjaan serabutan. Dia memberikan sejumlah uang itu padaku begitu saja, tanpa bungkus dan tanpa ritual khusus. Rp 250.000,00 kini di tangan*.
Tidak ada peristiwa aneh yang terjadi padaku. Kecuali gerak-gerik Bude yang sedikit berbeda dan terkesan sedang menyembunyikan sesuatu. Aku hanya merasakan sedikit tawa dalam hati ketika kulihat ia tergesa-gesa mencoba menumpuk uang kertas itu dengan urutan yang benar. Tiga lembar uang kertas. Seperti anak kecil saja.
Tapi tidak lama kemudian masa-masa itu hilang begitu saja saat kusadari bahwa ada sesuatu yang salah.
Ya, sejak awal Aku memang sudah salah saat berada di sini: Uang seratus ribu rupiah yang robek di bagian ujungnya dengan sangat rapi. Entah robekan dari mana tapi robekannya benar-benar sama persis dengan uang dua puluh ribuan yang kudapatkan sekarang. Bukan sekedar robek, tapi juga hilang ujungnya. Uang cacat!
Kuharap suatu saat Aku akan mengetahui dari mana asal robekan yang senada itu. Seperti berasal dari sebuah mesin, atau mungkin penjepit kasir supermarket yang terlalu kencang?
Aku rasa tidak. Sangat samar dan akan menghancurkan semua jernih payah orang lain kupikir. Ada sedikit perasaan kecewa dalam diriku ketika kutahu (semua orang juga pasti tahu) bahwa dia memiliki begitu banyak stok uang kertas yang sejenis, yang masih baru maupun yang sudah lumayan usang, namun secara terang-terangan dia memberiku gaji dengan uang baru yang sudah robek. Gadis cantik yang sudah tidak perawan.
Meski hanya satu lembar, tapi bukan itu masalahnya. Ini soal penghargaan kerja keras, bukan soal jumlah gaji atau keadaan uang. Ketika seorang pegawai mendapatkan gaji sedikit, mungkin itu masih bisa dibilang wajar karena pegawai itu sadar bahwa mereka bekerja untuk mendapatkan gaji yang kecil. Tapi mendapatkan sensasi dari mendapatkan gaji yang tidak terduga seperti ini rasanya jauh lebih tidak menyenangkan. Seperti ingin muntah di depan pintu majikan dan kemudian menggeser-geserkan telapak kaki pada seluruh tanah di depan pintu yang sudah dilumuri muntahan agar seluruh halaman rumahnya dipenuhi dengan muntahan.
Ini adalah salah satu masalah sederhana yang setidaknya harus kuakhiri di antara sekian banyak masalah yang lain. Aku tidak ingin semuanya bertumpuk tanpa penyelesaian. Itu adalah isi pikiranku ketika memulai tidur untuk beristirahat sampai pagi menjelang. Tampaknya ini memang masalah kecil, tapi harga diri itu tidak boleh kalian kecilkan dimanapun tempatnya dan siapapun orangnya! Aku peringatkan itu!
Jadi…
Jadi… kemudian Aku masih berada di toko, tidak jadi menghancurkan toko. Duduk menyamping memperhatikan jalan raya, berada dalam lamunanku sendiri. Sementara baru beberapa pembeli yang datang. Mengingat toko ini adalah toko minuman paket (bukan eceran), kalian bisa menebak bahwa pelanggan-pelanggan yang datang pasti terdiri dari para penjual juga. Hanya saja dalam versi eceran. Warung dan toko-toko kecil. Cukup ramai, tempatnya juga sangat strategis. Lalu lalang kendaraan terjadi setiap hari, sepanjang malam.
Tidak. Saat dini hari jalanan menjadi kosong. Rasanya seperti sedang melihat pangkalan pesawat terbang. Aku ingin tiduran di tengah jalan raya. Bersih sekali. Lampu-lampu menyala di dalam kegelapan yang bersahabat, dan jalan raya yang halus diliputi sedikit embun, membuat mereka berhasil memantulkan cahaya lampu di atasnya dengan sangat baik.
“Itu dia!!!” Uang seratus ribuan yang kutunggu dari tadi. Akhirnya Aku bisa mulai berpikir jernih. “Tukar-Tidak-Tukar-Tidak-Tukar-Tidak…”, hanya itu saja isi pikiranku. Jika Aku menukar uang ini dengan yang baru maka Aku akan menyelesaikan masalahku secara diam-diam, namun kupikir ini tidak mudah. Bukan hal yang tidak mungkin jika malam ini Aku akan kembali mendapatkan masalah baru. Di mana-mana, atasan itu selalu benar, dan bawahan adalah sesuatu yang selalu salah dan kalah. (Silakan protes jika ini salah).
Sempat terpikir untuk tidak jadi mengambilnya, tapi kemudian kuputuskan untuk mengambilnya dan menukar uang robek yang kudapatkan dengan uang seratus ribuan yang masih kinclong. Aku sadar bahwa Aku akan mendapatkan masalah baru malam ini, tapi Aku bukanlah tipe yang suka mengalami kesalahan dan kebenaran yang sama berkali-kali. Singkatnya, ini adalah peperangan!
Tetetoet
Ternyata benar. Bukan sore atau malam hari, tapi pagi hari saat toko baru dibuka, setelah semalam kita menyetorkan uang hasil penjualan kepada majikan, pagi harinya Aku dipanggil. Dalam wajah kantuknya dia bilang dengan nada yang lembut seperti ini, “Kamu kalau nerima uang yang teliti… jangan sampai seperti ini… Nih, lihat. Uang robek seperti ini harusnya tidak bisa dipakai lagi. Pokoknya kamu sama Rozak harus tanggung jawab.”
Wew! Tanggung jawab? Enak saja. Setelah mendapatkan uang robek Aku juga harus memberikan uangku untuk mengganti rugi? Ini sih namanya rugi dua kali lipat. Sudah mendapatkan uang robek diminta membayar pula.
Aku sempat mencoba cuek dengan ketidakseriusan itu dan memilih untuk mengatakan “Ya, akan kami ganti selembar gadis tak perawan itu dengan gadis yang lebih perawan.”
Tapi melihat dari segi kenyataan bahwa diriku sendiri kini sedang dilanda ‘kebohongan’, maka Aku mencoba membatalkannya dan mengumpulkan segenap tenaga dalam. Jika Aku tidak menolak saat itu, maka sama artinya Aku dengan terang-terangan membohongi diriku sendiri.
Aku memiliki sebuah tip sederhana untuk meningkatkan keberanian jika kalian mengalami masalah yang sama sepertiku. Pikirkan ini: “Mungkin kita memang tidak memiliki cukup keberanian untuk membela diri, tapi setidaknya kita memiliki cukup banyak kemarahan untuk menolak”.
Dan berhasil. Aku menampilkan gaya lamaku dalam berperang. Berpura-pura menjadi anak kecil yang lugu: wajah tanpa ekspresi. Kukatakan padanya dengan santai, “Itu uang Ibu.”
“ … Uang ibu bagaimana?”
“Itu uang Ibu, yang Ibu gunakan untuk menggaji Saya.”
“Ah, apa iya?” ekspresi takutnya mulai tampak.
“Iya.”
Kujawab datar tanpa ekspresi. Aku sibuk memperhatikan reaksinya. Bagiku, itu merupakan salah satu peristiwa yang menyenangkan. Memperhatikan reaksi orang lain dengan seksama karena kata-kata yang kuucapkan. Rasanya benar-benar menyenangkan, di luar masalah yang sedang terjadi saat ini. Aku ini bukan tipe orang yang banyak bicara. Ada cukup banyak hal sederhana yang bisa menghibur.
Itu adalah pembelaan terakhir yang kuucapkan. Tidak ada hal buruk yang terjadi. Hanya salah tingkah yang tampak dari pihak lawan dan akhirnya dia membiarkan semuanya, “Ya sudah, kamu nyapu dulu sana!”
Dan Akupun menyapu halaman rumah majikanku seperti biasa. Kali ini Aku menyapu halaman untuk membersihkan muntahan imajinatif yang sudah kuluber-luberkan di penjuru halaman. Kupastikan semuanya tampak bersih. Jangan khawatir!
Oya, saat itu sebenarnya Aku juga sempat menempelkan label harga di uang robek tersebut. Kalian tahu label harga? Itu, semacam deretan kertas tempel putih berpetak-petak yang biasa dijadikan tempat untuk menuliskan harga secara manual dengan pena. Seperti stiker tempel, hanya saja berupa kertas polos dimana di belakangnya sudah mengandung lem.
Dalam kertas yang kutempelkan itu Aku sempat menuliskan sebuah pesan kecil seperti ini:
“Hargai kerja keras Saya”
Entah majikanku melihatnya atau tidak. Bahkan mungkin dia sudah membuang uang itu. Aku tidak begitu peduli, bahkan tidak berharap demikian. Intinya Aku sudah menang! Menang untuk mengikuti kata hatiku, bukan mengikuti alur hidup yang normal.
Hmmm… Sudahlah. Itu sudah berlalu. Kupikir, jika uang dua puluh ribuan robek yang kudapatkan saat ini kutukarkan dengan yang baru secara diam-diam, mungkin Aku akan membuat orang lain merasakan kekecewaan yang sama seperti yang kualami dulu. Aku tidak ingin itu terjadi. Di sini Aku sedang berada dalam posisi seperti Bude saat itu. Tapi Aku tidak jadi melanjutkannya. Kuputuskan untuk mengambil uang robek itu kembali dan menyimpannya dalam kotak. Uang itu, kuharap tidak akan pernah Aku gunakan. Kalau perlu akan kubuang.
2 Juli 2012
* Pada tahun 2012, Rp 250.000,00 setara dengan sekitar 2500 butir permen.
apakah ini kisah nyata?
BalasHapuspanjans sekaliii
Omongan kosong mas. Heheheheheeeee...
Hapusngomong2 itu foto masnya bukan?
HapusHehehe cerita yang menarik mas,walau hanya menceritakan kisah uang yang robek......
BalasHapusKalau sudah robek gitu ditukarkan di bank masih bisa nggak ya?
mantep juga ceritanya bang
BalasHapustapi bagus B-)
ini asli apa beneran bang ceritanya?