Loading…

Pemberontakan Tingkat Satu

Saat-saat terberat dalam kehadiran fakta bahwa dunia bekerja pada hakekatnya tidak akan pernah bisa kita setel sesuai dengan kehendak kita. Mau tidak mau kita sendirilah yang harus memilih, antara diam dan bertahan tanpa keinginan untuk mengubah paling tidak sedikit saja lingkungan yang telah kita benci ini ataukah memilih untuk memberontak hingga final. Hingga sang penguasa memecat kita. Hingga pada akhirnya kita bisa tunjukkan kepada mereka bahwa merekalah yang membutuhkan kita, bukan kita yang membutuhkan mereka. Meskipun kuragukan bahwa Aku tidak membutuhkan mereka. Benarkah Aku tidak membutuhkan mereka? Cukupkah alasan bahwa seorang majikan telah mulai berani berdusta padaku dapat dijadikan sebagai media dasar terciptanya sebuah pemberontakan?

Autumn Dawn

11 April 2011. Ketika malam itu adalah saat-saat yang kupikir akan menjadi satu permulaan baru yang gemilang, dimana perasaan emosi, stres dan keletihan raga ini telah hilang lepas terobati masa-masa rehat sehari. Cukup sehari saja bagiku untuk menghapuskan perasaan-perasaan benci kepada mereka semua. Ingin sekali rasanya kuhilangkan semua prasangka buruk ini layaknya beberapa hari yang telah lalu. Namun mereka tak memberiku cukup banyak waktu untuk berpikir sejenak dan memutuskan bahwa mereka bukanlah sepasang penjahat. Mereka terlalu labil untuk berdiri tegak, dan terlalu bergelombang untuk menggaris datar. Hingga tak kuasa lagi diri ini tuk mengambil butir demi butir nilai-nilai positif dari tiap-tiap serpihan dalam hati dan jati diri mereka. Aku sudah mulai kehilangan rasa percaya sampai saat itu tiba.
Ketika secara pribadi Pakde memanggilku malam itu dan secara terang benderang memintaku untuk libur selama sehari saja dalam sebulan. Jangan bercanda!

Untuk yang ke sekian kalinya, ini adalah sikap Pakde yang paling keterlaluan dan sangat kekanak-kanakan. Bagaimana mungkin seorang penguasa dari begitu banyak pegawai tak bisa memberikan solusi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja selain memaksa kami, khususnya Aku, untuk bekerja tanpa berhenti layaknya di zaman perang, dunia kerja paksa dan penjajahan masa lampau yang sudah lama ketinggalan kereta. Ini adalah sebuah kesewenang-wenangan. Dan ini adalah saat dimana Aku seharusnya memberontak. Sebelum semuanya terlambat. Karena Aku tahu, betapapun jahatnya Pakde dan Bude, pada dasarnya mereka juga sebenarnya tahu mengenai keadaan kami. Namun bisnis tetaplah akan menjadi bisnis. Bisnis harus tetap berjalan, dan mereka tidak mempunyai mental yang cukup untuk bertindak dengan cepat dan benar.
Pengaturan gaji yang berantakan, pembagian kerja yang berantakan, waktu istirahat yang berantakan dan rumah yang berantakan.

Di sini seperti neraka. Sebuah rumah dengan begitu banyak kamar dan toilet di sana-sini layaknya di penjara. Hampir tak ada jendela. Kebanyakan hanyalah sebuah ventilasi kecil yang tertutupi oleh sebilah kaca belah dengan celah napas terbatas. Warna cat dinding menyipit mata dan lalu-lalang anak-anak mereka yang hiperaktif makin membuatku benci akan keadaan tempat ini. Dan satu hal baru yang membuatku makin membenci mereka adalah tentang begitu tak bisa kupercayanya bahwa Pakde sebegitu teganya mendustaiku dengan menidakbolehkanku untuk libur bekerja dengan alasan bahwa Aku masih dalam masa percobaan. Lalu bagaimana dengan Ovi, Wiwi dan teman-teman lainnya yang notabene masih lebih junior dariku? Bahkan tiap kali kumohon izin untuk pulang kepada Bude, yang selalu Bude tanyakan terlebih dahulu bukannya “apa kamu sudah satu bulan?” melainkan “apa kamu sudah dua minggu di sini?” Itu adalah salah satu bukti kuat yang menunjukkan bahwa mereka telah berbohong padaku. Mereka pikir Aku hanyalah seorang anak lugu bodoh yang tak bisa memberontak dan bersedia bekerja keras walau tanpa digaji. Mereka salah besar! Karena Aku mempunyai harga diri yang tinggi. Jika kalian tidak menghargaiku, maka baiklah. Aku akan menghancurkan sendi-sendi kalian sedikit demi sedikit. Jangan pernah berbohong lagi padaku, karena Aku benci pembohong! Dan Aku benci kebiasaan-kebiasaan buruk kalian. Kalian adalah masa laluku yang buruk di masa depan. Haruskah kuhancurkan rumah kalian sedikit demi sedikit sampai rata dengan tanah? Ataukah kuhancurkan saja toko ini dan kubiarkan kalian memecatku sampai pingsan?

Tidak bisa. Aku tidak bisa melakukan itu. Harusnya Aku bisa, namun Aku tetap tidak bisa. Aku tidak tahu kenapa.
Hai kalian! Kenapa Aku tidak bisa membencimu, mu, mu dan mu semuanya? Aku ingin sekali membenci kalian, namun Aku tidak bisa! Aku tidak tahu kenapa. Kalian begitu membuatku frustasi! Oh Tuhan… sekarang apa yang harus kulakukan? Bahkan sampai detik ini, masih ada saja yang kuragukan akan nasib baik yang telah Anda janjikan padaku beberapa tahun yang lalu. Saat ini Aku hanya bisa pasrah merelakan segala yang ada kepada Anda. Karena kupikir, ini semua hanyalah langkah awal untuk menuju sesuatu yang lebih besar.

Tuhan, benarkah Anda sungguh ada di samping Saya kali ini? Satu bulan hidup di sini tanpa waktu istirahat bagiku sama saja dengan mati tanpa meninggalkan badan. Ketika kuingat Anda, hatiku serasa tercabut naik lebih jauh lagi ke atas langit. Ketika mimpi-mimpi alam nyata terasa begitu berat kuhayati hari ini, saat itu yang bisa kulakukan hanya pasrah melemaskan ulu hati sampai ke titik yang serendah-rendahnya. Persepsi duniawi kini telah berubah arah menuju perenungan masa silam. Masa-masa dimana Aku begitu menginginkan satu langkah perubahan.
Tong Sampah. Aku masih ingat itu. Setahun yang lalu… Aku ingin sekali menjadi tong sampah. Dan ini semua harusnya telah menunjukkan bahwa Aku telah berhasil mewujudkan apa yang Aku inginkan dulu.

Senja itu Aku duduk di atas sepeda motor sahabatku yang terparkir dengan mantap di depan toko. Memandang perpanjangan jalan raya yang semakin mengerucut ke ujung sana. Senja hari yang indah dimana kelap-kelip lampu bison besi dan bebek-bebek tanpa sayap tampak berkilauan melintas tanpa beban. Bunyi derum-derum mesin bensin yang sangat khas itu… makin membuatku begitu terhanyut dan memberikan sebuah perasaan hangat dalam hatiku.
Aku memejamkan mata. Kurasakan angin senja berhembus dengan lembut ke seluruh badanku. Ke sisi-sisi leherku dan ke dua daun telingaku yang dingin membeku. Tak ada perasaan gentar apapun saat itu. Sungguh hari yang aneh.

Saat itu Aku duduk di atas sepeda motor ini. Tapi gambar ini bukan merupakan gambar pada saat kejadian. Karena saat itu posisi sepeda motor tidak berada di sebelah “sana” melainkan berada di sebelah “sini”. Dan saat itu keadaan masih sore. (Sumber foto: Sunardi - Hasil potretan iseng Rozak dengan ponsel Sunardi)

Satu hal. Aku hanya berharap, saat-saat sulit ini tidak akan membuat perasaan kedua orangtuaku menjadi was-was. Kukatakan bahwa Aku baik-baik saja di sini.
Hari-hari terasa begitu cepat berlalu, ketika pagi hari Aku bekerja seperti biasa, begitu seterusnya sampai malam menjemput. Setelah itu Aku langsung tertidur. Tak ada waktu untuk bersenang-senang di sini. Setiap hari, yang kuinginkan hanyalah mendapatkan waktu istirahat selama mungkin di sini. Walau tanpa teman, walau tanpa selamat malam.

Kuputuskan untuk membatalkan rencana bodoh itu. Aku sudah merelakan semuanya. Sebab Aku yakin, bahwa ada sesuatu yang sangat baik di balik semua kisah ini. Cita-cita besar akan memunculkan cobaan yang besar. Pagi bekerja, siang bekerja, sore bekerja, malam bekerja. Kemudian langsung istirahat. Begitu seterusnya hari-hari yang kulalui di sini. Berharap agar sebulan segera berlalu, dan Aku bisa kembali berkumpul dengan keluarga lagi. Walau sehari. Walau sedetik. Aku tak peduli.
Jangan menangis. Jangan jadi anak cengeng. Tetap semangat menjalani kehidupanmu yang baru, dan teruslah jaga amanah yang telah diberikan kedua orangtuamu, terutama ibumu: makan yang banyak, biar tetap sehat dan kuat.
Selamat ulang tahun.

11 – 21 April 2011

0 Komentar

Top