Loading…

Antara Air Mineral, Mekanika dan Matematika

Ada lima macam usaha yang kutahu, yang telah dikelola oleh majikanku di sini. Yang pertama adalah toko emas, yang ke dua toko kerudung, yang ke tiga toko minuman kemasan sekaligus pengisian galon air mineral, yang keempat sebuah bengkel resmi sepeda motor Honda AHASS, dan yang terakhir adalah sekumpulan sapi dan kambing yang lucu di belakang. Kupikir, begitu banyaknya usaha yang dikelola oleh majikankulah yang selama ini telah membuat kepekaan mereka terhadap para pegawai menjadi berkurang. Selama ini kepekaan-kepekaan mereka terhadap manusia telah tergantikan oleh kepekaan-kepekaan mereka terhadap peluang bisnis. Dan itu adalah salah satu dari sekian banyak kekurangan dari majikanku di sini. Banyak orang mengatakan bahwa majikan di sini bawel, cerewet, boros, bikin bingung dan lain sebagainya. Aku tidak bisa menyangkal semua pernyataan mereka, karena jujur saja, Aku juga mulai merasakan apa yang mereka rasakan. Dan semua itu terasa semakin jelas ketika seorang seniorku, mas Rozak, sempat keceplosan curhat mengenai latar belakang pekerjaannya di sini. Di sebuah toko air minum kemasan, yang untuk alasan penjagaan nama baik bagi segenap keluarga, dengan tanpa rasa terpaksa Aku harus merahasiakan nama toko, lokasi spesifik dan orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap nasib mas Rozak. Kalian benar-benar sudah keterlaluan dan tidak memiliki rasa kemanusiaan! Untuk cerita kali ini dan seterusnya, Aku akan menamakan majikanku sebagai Pakde, sementara istrinya akan kunamakan sebagai Bude.

Hari ini pekerjaanku sudah dipindahkan. Dari yang tadinya bekerja di loteng sebagai asistennya mas Daryoto menjadi seorang agen air minuman kemasan. Atau bahasa kerennya: penjual minuman (hehe). Dan begitulah pada akhirnya. Setelah sekitar sebulan Aku hinggap di tempat ini, dalam waktu yang tidak begitu lama mulailah mereka terpecah satu per satu, keluar dari sini untuk alasan-alasan yang tidak bisa ditunda-tunda, seperti pernikahan dan kuliah. Dua orang wanita di toko air minum memutuskan untuk berhenti, mbak Ella memutuskan untuk berhenti karena hendak menikah, sementara mbak Imah keluar karena hendak melanjutkan kuliahnya. Mas Rozak bilang, sejak awal mbak Imah memang bekerja di sini hanya untuk mengisi libur semesternya saja, sehingga dia hanya bertahan selama tiga bulan. Dan pada akhirnya… toko inipun sepi oleh pegawai. Hanya tinggal mas Rozak saja, yang telah bertahan bekerja di sini selama tiga tahun!

Perlahan-lahan Aku mulai dialihkerjakan semenjak tanggal 3 Maret sampai sekarang. Tinggal kami berdua saja. Sepasang pria beda usia namun memiliki beberapa kesamaan. Itu membuat kami berdua menjadi lebih terbuka satu sama lain.

.... Kusadari ada sesuatu yang hilang di bagian ini, dan sepertinya juga ada di beberapa bagian lain. Paragrafnya cukup panjang, jika Aku tidak salah ingat. Entah apa yang menghilangkannya, mungkin itu karena kesalahan pengeditan yang pernah Aku lakukan suatu hari. Sepertinya Aku memang tidak diperbolehkan untuk mengingat-ingat bagian ini lagi () ....

mbok ya lebih diutamakan ke Mas Rozak dulu daripada Nardi. Lagian secara teknis Mas Rozak juga kan udah lebih dulu ndaftar daripada Nardi.”

Aku lupa dialog selanjutnya apa. Saat itu kami berdua terlalu sibuk mengurusi tugas masing-masing. Yang jelas, satu hal baru yang kuketahui di sini adalah, di balik sifat Rozak yang terbilang tidak serius dan banyak bercanda itu, ternyata di dalam hatinya juga terdapat konflik-konflik berat tersendiri yang telah lama dipendam. Ternyata selama ini dia tengah menunda cita-citanya sebagai seorang mekanik hingga tiga tahun berjalan.
Seringkali Rozak berkata padaku setiap dia melihatku yang sedang murung atau tampak stres di toko. Dia bilang begini, “Kita itu harus bisa menikmati hidup, Pik. Jangan mikirin masalah melulu… Nikmatilah hidupmu! HAHAHAHAHAHA…”
Selalu saja begitu perkataan yang keluar dari mulutnya, hingga terkadang Aku merasa jengah sendiri tiap kali kudengar perkataannya yang weleh-weleh itu.
Pada awalnya kupikir Rozak adalah tipe orang yang sama dengan orang-orang sok bijak pada umumnya yang hanya bisa berkata tanpa tahu apa makna penderitaan yang sesungguhnya. Namun sekarang ceritanya sudah lain lagi. Bagiku, dia adalah seseorang yang terlalu sabar dan terlalu pasrah pada hidup. Hidup dalam penantian tak jelas selama tiga tahun di sebuah toko kecil, dimana hanya dia sendirian yang bertahan. Sementara pegawai-pegawai lain seperti Aku, dengan begitu mudahnya keluar dari pekerjaan tanpa ada rasa bersalah. Pelanggan-pelanggan setia toko ini yang selalu bilang, bahwa cuma Rozak saja satu-satunya pegawai di sini yang tidak berganti.

Dan dengan masuknya Sunardi ke bengkel AHASS, terkadang Aku merasa khawatir jika sampai Rozak jadi berkonflik dengan Sunardi. Seorang anak remaja yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang semua ini. Terlebih sekarang dia sedang semangat-semangatnya menjalani training otomotif di Jogjakarta selama seminggu untuk menguji kelayakan kenaikan pangkat pertamanya.

Orang-orang di sini ada yang tahu nggak, soal masalah ini? Seperti anak-anak di toko emas atau…”
“Nggak ada, Pik. Ini masalah pribadiku sendiri”, katanya bergegas mengecek tangki-tangki stok air mineral dalam sebuah ruangan bersekat plat aluminium.
Hanya tinggal beberapa galon terakhir, ketika pada akhirnya rekan bicaraku itu berkata, “Pik. Kamu jangan bilang-bilang sama Nardong, ya!”

Sepertinya dia khawatir jika sampai rahasia pribadinya itu kusebarkan pada orang lain, terutama Nardi, sahabat karibnya.
Jangan khawatirkan soal itu. Aku tidak akan pernah menceritakan masalah ini kepada siapapun yang belum tahu di sini.

Beberapa saat kemudian sebuah mobil bak terbuka berwarna biru tua keluar dari pintu gerbang. Bergerak maju perlahan dan berbelok tepat sampai di depan pelataran toko, saat itu sisa-sisa pembicaraan kami mulai menghilang ketika muncul seorang tokoh ke tiga bernama Rossy (mas Rossy) yang keluar dari pintu kokpit. “Gimana? Udah siap semua?”

Waktu tenggang yang cukup singkat bagi kami untuk memahami kepribadian masing-masing. Hingga pada akhirnya Rozak mengangkat galon-galon itu ke mobil, bersama mas Rossy menumpang di ruang kemudi sambil leyeh-leyeh. Sayup-sayup mereka berdua menghilang dari pandanganku.

Phi

Ganti lagi nih ceritanya. Sepertinya memang belum cukup sampai di situ saja ceritanya berakhir. Rasa-rasanya memang tidak adil jika Aku hanya menceritakan permasalahan pribadi dari pihak ke dua saja. Dan dalam minggu-minggu ini, pada setiap malam hari menjelang tutup toko. Itu adalah saat-saat terberat bagiku dimana Aku harus berusaha menghilangkan trauma masa laluku sendiri. Saat-saat terberat untuk menjalani fase kritis pertamaku dalam pekerjaan: Matematika pembukuan.

Bagi kalian mungkin mudah mengetahui dan menghitung semua barang yang dikeluarkan, jumlah uang hasil penjualan, potongan dan semua hal yang berhubungan dengan sistem penjualan di toko. Tapi bagiku tidak semudah itu. Aku mempunyai sebuah kelemahan fatal yang mungkin tidak semua orang mengetahuinya.
Aku ini sangat lambat dalam bidang matematika.

Entah ini semacam kelainan bawaan atau bukan, namun semenjak Aku memasuki wilayah matematika pertengahan, saat itu baru kusadari bahwa Aku tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk menghafal angka. Aku tidak bisa menghafal angka!
Seperti yang pernah kubilang dulu, bahwa Aku adalah seorang anak visual. Kurang lebihnya begini; Anak visual adalah seorang anak yang akan lebih mudah memahami sesuatu jika objek yang dipelajari dapat dibayangkan sepenuhnya. Contoh mudahnya seperti cara kerja mesin, warna, gambar dan logika bahasa dalam konteks hipotesa definisi.

Angka adalah sesuatu yang paling sulit kupelajari selama ini. Karena setiap kali kucoba untuk mengklasifikasikan mereka sebagai objek, maka angka-angka itu malah menjadi tampak terlalu umum. Mereka semua hanya terdiri dari sepuluh macam kriteria saja, yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 0. Betapapun banyaknya perbedaan susunan angka yang satu dengan yang lain pun sama sekali tidak bisa membantuku untuk paling tidak sedikit memberikan kemampuan dalam menghafal mereka.

Setiap mata uang yang masuk dan keluar dari toko begitu mudahnya kulupakan. Dan itu bukan disebabkan karena kelalaian. Aku memang tidak bisa atau sangat sulit dalam menghafal angka-angka. Itulah yang selama ini telah membuat perhitungan kami menjadi kacau balau. Terkadang kami mengalami kelebihan pemasukan, atau sebaliknya, kekurangan pemasukan. Hasilnya? Ya kami berdua harus pintar-pintar merekayasa nota pembelian dan dokumentasi stok barang.
Dan yah… itu adalah salah satu kenakalan yang sering kami lakukan di toko. Namun betapapun nakalnya kami di toko, tidak pernah terbesit sedikitpun dalam benak kami untuk mengambil sejumlah uang yang tersisa ketika kami mengalami kelebihan pemasukan karena kesalahan dokumentasi. Biasanya kami akan menyembunyikan sisa-sisa uang itu di bawah laci untuk digunakan kembali besok pagi sebagai modal. Atau kami juga terkadang membuat semacam daftar pembelian barang fiktif agar sisa-sisa uang yang berlebih itu bisa dimasukkan juga ke dalam pembukuan. Meskipun, memang, jika dilihat dalam daftar stok barang dagangan akan kelihatan juga kebohongan kami hehehe…
Yap! Yap! Yap! Tapi itu masih mending daripada harus kekurangan pemasukan. Karena jika sampai itu terjadi, maka uang pribadi kamilah yang akan menjadi taruhannya! Pokoknya, di sini suka-duka ditanggung bersama lah!
Untungnya, kejadian-kejadian fatal itu hanya berlangsung selama beberapa hari saja. Sampai tanggal , secara ajaib perhitungan-perhitunganku mulai membaik. Aku sudah mulai terbiasa dengan sistemnya. Walau perlahan tapi … mungkin. Mungkin AKu sudah bisa melupakan trauma itu.

Ada sebuah trauma tersendiri ketika Aku masih duduk di kelas dua SMP dulu. Dan masalahnya tidak jauh-jauh dari matematika. Saat itu, kalau tidak salah kami semua sedang mengerjakan soal tentang teori garis singgung lingkaran. Dan kebetulan Aku mendapatkan jatah untuk maju ke depan kelas, mengerjakan soal matematika yang saat itu kupikir tidak sesuai dengan usiaku.

Kalian tahu nilai Phi? Phi adalah 3,14. Atau ada juga yang menyebutnya 22/7. Saat itu, karena Aku sudah terlanjur deg-degan, panik takut tidak bisa mengerjakan, Aku malah terpeleset melakukan sebuah kesalahan yang terlalu mendasar dan tolol untuk ukuran seorang anak kelas dua SMP di masa itu. Saat itu kutuliskan Phi sebagai 3,15.
Dengan begitu semangatnya kuhitung semua angka itu sesuai dengan rumus dari pak guru.
Sip. Semuanya sudah beres! Kuselesaikan pekerjaanku itu dan mengakhirinya dengan dua buah garis sejajar mendatar tepat di bawah angka hasil. Kucoretkan dengan mantap. Sreeet! Sreeet!!!
Kuletakkan kapur tulisnya di atas meja, dan sekali waktu kuperhatikan beberapa orang siswa dan siswi yang terbilang mahir dalam bidang studi matematika.

Aneh. Mereka semua tampak canggung melihatku seolah ada sesuatu yang tidak beres.

Aku duduk di kursiku, dan kulihat hasil pekerjaanku di papan tulis. Pada saat itulah baru kusadari, bahwa Aku memang benar-benar sudah tidak beres! Saat itu rasanya ingin sekali kuhapus semua pekerjaanku di papan tulis dan memulainya dari awal lagi. Namun pak Edi, guru matematikaku sudah terlanjur beranjak dari kursinya dan maju menghadap ke papan tulis. Saat itu nampak jelas dari balik kacamatanya, raut muka yang sangat masam. Hampir-hampir tangan kanannya menyentuh hasil pekerjaanku, namun kemudian dia memutuskan untuk menahan reaksi tangannya itu.
Suasana menjadi hening untuk sesaat….

“Oke, murid-murid. Ini sudah betul, ya!” Pak Edi menyentuh pekerjaanku di papan tulis.

Dadaku serasa tertusuk lembing. Bahkan untuk ukuran seorang guru secerdas dan seramah dia masih bisa juga melakukan sebuah kejahatan besar dengan mencoba mengajak semua muridnya untuk berbohong. Semuanya demi Aku. Mereka pikir semuanya demi Aku. Namun mereka semua salah besar! Apa yang telah mereka lakukan justru semakin membuatku bertambah minder.
Semua anak terdiam.
Begitu juga Aku.

Sebenarnya saat itu ada beberapa orang anak yang ingin meralat pekerjaanku, namun pak guru sudah terlanjur memutuskan bahwa pekerjaanku sudah betul, ya mau bagaimana lagi?
Saat itu Aku benar-benar merasa menjadi anak yang paling bodoh di sekolah. Anehnya, guru dan teman-temanku semuanya tidak ada yang berani memperbaikiku. Satupun tidak ada yang berani. Mereka semua merasa kasihan padaku. Karena mungkin, Aku memang telah dilahirkan sebagai seorang anak dengan wajah melankolis. Dan bisa dibilang Aku juga merupakan satu-satunya murid terkecil di kelas. Kurus, berkulit putih, berambut gondrong dan masih suka menangis di kelas.

Sampai sekarang Aku masih belum bisa melupakan masa laluku itu. Namun betapapun rumitnya hubunganku dengan bidang studi matematika, itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Aku benci matematika. Aku suka matematika. Hanya saja, jika teorinya sudah tidak bisa diterapkan dalam logika, maka Aku tidak akan suka lagi mempelajarinya. Malas rasanya mempelajari sesuatu yang tidak bermanfaat.

Ketika Aku masih duduk di kelas tiga SMK, Aku pernah sekali bertanya kepada Yono, teman sebangkuku di kelas Teknik Mekanik Otomotof 4 (TMO4). Saat itu kita sedang mengerjakan soal teori matematika Salah Mutlak. Aku bertanya padanya, “Yon, sebenarnya Salah Mutlak itu apa? Sebenarnya Salah Mutlak itu kita sedang menghitung apa? Kenapa Salah Mutlak harus nol koma lima?” Dan beberapa pertanyaan mirip lainnya yang mengarah pada ketidakpahamanku akan perhitungan-perhitungan seperti Integral, Peluang, Limit Fungsi dan Matriks.
Bahkan Yono, yang terbilang handal dalam bidang studi matematika pun tidak bisa memberikan jawaban yang maknyos padaku.

“Pokoknya yang namanya Salah Mutlak ya begini. Menghitungnya begini. Aturannya begini.”

Itu saja yang selalu dia katakan padaku.

Aku tidak suka model-model belajar seperti itu. Model-model belajar yang hanya mementingkan aspek KEBISAAN. Sedangkan mengenai pemahaman dan manfaat dari hal-hal yang mereka pelajari sama sekali tak dihiraukan. Asal tahu saja, ilmu itu sebenarnya sama dengan agama. Ketika kita begitu mudahnya menerima sebuah teori tanpa mencari tahu apa sebenarnya tujuan kita mempelajari teori tersebut, maka suatu saat nanti kita juga akan tersesat dengan apa yang telah kita pelajari.

Bagiku, menjadi orang bodoh itu tidak masalah. Karena bodoh itu pada dasarnya lebih baik, daripada harus menjadi pintar namun tidak cerdas. Mungkin untuk saat-saat awal kita memang tampak menguasai ilmu tersebut ketika pada akhirnya kita berhasil menyerap semuanya dengan baik. Namun pada kenyataannya, justru kitalah yang dikuasai oleh ilmu. Ilmu memerintahkan kita untuk begini, maka kita akan melakukan begini. Pernahkah sekali saja dalam hidup kalian bertanya kapada para pengajar; Kenapa harus begini? Kenapa bukan begitu? Apa gunanya Saya mempelajari ini? Apakah ilmu ini dapat bermanfaat secara langsung bagi Saya?

Berbicara soal ilmu itu memang tidak mudah untukku. Aku ini bukan tipe orang yang dapat dipaksakan seperti kalian. Selama ini aku berpikir, daripada harus sibuk menguasai sesuatu yang hanya akan memenuhi memori otak saja, lebih baik sibukkan saja diri kita untuk menguasai ilmu-ilmu yang kita sukai. Efisien dalam berpikir, dan efektif dalam mengambil keputusan.
Namun sekarang, sepertinya Aku memang harus memahami lebih dalam lagi mengenai matematika. Sebuah teori sederhana yang bahkan masih belum bisa kukuasai “dengan kurang baik”. Akuntansi. Aku benar-benar membutuhkan suasana itu dalam hatiku. Ya, sebenarnya Aku cukup menguasai suasananya saja. Agar Aku bisa lebih teliti dalam berhitung, dan tidak terlalu rumit dalam berpikir. Hingga hari ini. Tanggal . Aku telah berhasil membuktikan kepada Tuhan, bahwa untuk pertama kalinya Aku merasa telah berhasil menguasai suasana ini. Semoga ini bisa bertahan lama.

Sudah cukup lama kuceritakan ketidakberesanku ini pada Rozak. Tepatnya pada saat Aku mengalamu frustasi berat karena kesalahan perhitungan yang terlalu sering terjadi. Aku sudah lupa tanggal kejadiannya. Anehnya dia suka sekali tertawa dan meledekku habis-habisan karena saking seringnya Aku melakukan kesalahan. Tampaknya memang tidak serius, namun Aku tahu pasti dalam hatinya, bahwa dia juga sebenarnya tahu tentang tanggung jawab terbesarnya sebagai seorang senior. Karena ketika seorang junior melakukan kesalahan, pasti seniorlah yang akan kena hukuman.

Andaipun masih ada waktu, sebenarnya bisa saja Rozak memperbaiki kesalahan dalam “tugas matematika”-ku itu. Namun waktu sudah menunjuk jam . Dan itu artinya antara hidup dan mati. Apakah akan selesai tepat waktu atau tidak. Karena jika tidak, maka Bude sudah siap menerkam kami dari kejauhan! Dia akan mengomeli kami habis-habisan, karena megira kami kerjanya hanya main-main saja di toko.

Susah senang ditanggung bersama. Satu-satunya syarat untuk bisa bertahan hidup di sini adalah kami harus bisa membuang jauh-jauh rasa kepedulian kami terhadap tanggapan-tanggapan ataupun ucapan-ucapan pedas yang dilontarkan majikan kepada kami. Pokoknya, di sini kami harus bisa menjadi orang bandel! Cuek dan bandel.
Karena kami berdua memiliki tujuan hidup yang lebih penting.
Rozak yang selama ini masih menunda cita-citanya sebagai seorang mekanik, sementara Aku, yang selama ini masih menunda cita-citaaku sebagai seorang….

Yang jelas, apapun yang kami lakukan di sini pada dasarnya masih belum sesuai dengan tujuan hidup kami. Namun beruntungnya kami sudah bisa sedikit menikmati keadaan ini. Bagi kami, sesama pegawai adalah sahabat sejati, sementara atasan kami hanyalah angin lalu.

“Nah, lumayan tuh. Udah ada perkembangan.” Mas Rozak bergumam padaku sambil berkacak setengah pinggang. Sementara Aku yang sedang duduk membungkuk langsung menghempaskan buku tebal itu dan melemparkan punggungku ke belakang. Saat itu rasanya lega… sekali. “Slameeet, slameeet….”

8 – 15 Maret 2011

2 Komentar:

  1. panjang bener ceritanya mas ..
    berawal dari kerja di sebuah toko kecil, menceritakan waktu smp juga, merenung, akuntansi, sampai ke hal-hal yang kayaknya aneh .
    tapi anehnya lagi, pas aku baca " Namun waktu sudah menunjuk jam 08:00 malam " di jam pojok kanan bawah layar komputerku pas tertera jam 20:00 .. jadi merinding malahan saya ..
    aneh memang komentar saya ini, tapi ini memang benar terjadi ..
    btw ini cerita memang absurd banget buat saya pahami .. hehe ..
    sip mas taufik ..

    BalasHapus
Top