Surat Panggilan
17 hari berlalu sejak pengiriman surat lamaran. Dan dalam waktu sesingkat itu pula Aku mendapatkan informasi pemanggilan dari sahabatku di Bekasi. Perasaanku aneh! Entah, apakah Aku harus berteriak kegirangan atas datangnya berita baik ini, ataukah justru Aku harus mulai merasa panik dengan berbagai kemungkinan buruk yang akan terjadi yang mungkin justru akan semakin memperlemah kepercayaan diriku untuk terus maju sebagai seorang lelaki yang masih hijau? Ketidaksiapan mental dan fisik yang sangat mengganggu memang menjadi salah satu faktor penyebab terombang-ambingnya semagat dan niatan hati yang sudah siap untuk mati sebelum berperang. Dan satu hal, yang jelas-jelas terlihat bagiku sendiri secara pribadi, Aku memang mesti menilik kembali sebuah kenyataan yang tidak mungkin bisa dipungkiri lagi, bahwa Aku adalah seorang remaja.
“Apa tujuan hidupmu?” Itu adalah sebuah pertanyaan yang selalu kupikirkan setiap kali Aku sedang berada dalan sebuah pilihan sulit, dimana keinginan pribadi dan sebuah hal menyebalkan yang mungkin justru baik bagiku sedang berada dalam dua jalan yang berbeda. Hanya satu jalan saja yang bisa kupilih, antara mengikuti ambisiku dan melepaskan semua kewajibanku agar Aku bisa hidup bahagia, ataukah Aku harus mengikuti kewajibanku dan melepaskan semua ambisi hidupku hingga akhirnya Aku hidup dalam kekecewaan? Sebuah kehidupan yang jelas-jelas sealu dialami oleh orag dewasa?!
Sebenarnya, tujuan hidupku sangatlah sederhana. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang merasa bahagia dengan segenap kelebihan yang telah dilimpahkan Tuhan padaku. Aku ingin hidup dengan bakatku! Aku ingin bertanggung jawab sebagai seorang pemilik bakat, yaitu dengan menjadikan semua bakatku ini sebagai matapencaharian dan aktivitas hidup agar Aku bisa segera mlupakan semua kekuranganku. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, sepenuhnya. Namun kewajiban dan seiring berjalannya waktu yang tidak bersahabat ini memang semakin memaksaku untuk keluar dari apa mauku dan apa diriku, menuju ke dalam lubang pemaksaan perubahan masa hidup. Aku, mau tidak mau harus menjadi orang dewasa.
Jam . Bus yang sedang kami naiki ini pada akhirnya berangkat juga! Sebuah bus kelas Ekonomi, dimana Aku sedang duduk di kursi nomor 11, sementara kakak iparku yang menemaniku berada tepat di sebelahku, kursi nomor 12. Dan, yah… pada akhirnya Aku lebih memilih menjalankan kewajibanku daripada memperjuangkan cita-citaku. Kewajibanku sebagai seorang anak terakhir, yang mau tidak mau harus menopang harapan besar dari kedua orangtuaku. Karena memang begitulah kewajiban seorang anak terakhir, harus mampu menjadi seseorang yang jauh lebih baik dari anggota keluarga yang lainnya. Aku adalah harapan satu-satunya orangtuaku agar bisa menjadi benih baru yang akan merasakan kehidupan yang jauh lebih baik dari mereka. Aku adalah sebuah harapan yang hidup!
Kutatap langit malam dari balik jendela yang sudah mulai berembun. Bulan sabit tersenyum, namun samar-samar tertutup oleh kabut malam hari. Sepanjang malam, hanya bulan itu saja yang menjadi teman bicaraku dari hati ke hati, bukannya “seseorang” di sebelahku yang sampai sekarang entah kenapa masih begitu sulit kupahami. Entah, apakah Aku yang sulit memahami kepribadian kakak iparku, ataukah justru Aku, yang sulit dipahami oleh kakak iparku? “Hoahh… Aku benar-benar ingin pulang!”
Sepanjang malam… deret-deret perumahan di pinggir jalan selalu kuperhatikan seksama, berhubung Aku ini adalah seorang anak yang tidak tahu jalan, maka beginilah caraku untuk bisa meredakan kekhawatiranku. Aku menghafal jalan. Kuterus dan terus memperhatikan perumahan yang setiap detik akan menghilang jauh ke belakang, berharap agar Aku bisa segera frustasi, pusing dan pingsan di dalam bus sehingga kakak iparku akan menghentikan busnya dan segera membawaku pulang kembali ke rumah. Yap! Sebuah ide yang sangat luar biasa! Hahahahaha…
Sebenarnya, satu hal yang sedang kupikirkan saat ini adalah, benarkah ini adalah jalan keluar satu-satunya? Benarkah Aku sudah siap dengan semua ini?
Jujur saja, sebenarnya Aku sama sekali belum siap. Keadaanlah yang telah memaksaku untuk melakukan semua ini, seperti faktor usia yang masih muda dan sebuah kenyataan bahwa takdir cita-citaku ini sebenarnya masih sangat panjang. Banyak hal di dunia ini yang tidak bisa diperoleh hanya dengan berdoa dan berharap saja. Seseorang harus bekerja keras untuk mewujudkan cita-citanya… karena cita-cita itu harganya sangat mahal!
Seharusnya… hari ini adalah saat-saat yang paling tepat bagiku untuk memulai semua itu.
Obsesi datang dan pergi, namun waktu akan terus berjalan seiring usiaku. Hal yang terpenting, sebenarnya, dari semua peristiwa ini hanyalah tentang bagaimana caraku bisa berhenti berjalan tepat di saat obsesi itu muncul di hadapanku. Aku harus tepat waktu! Mau tidak mau Aku harus melakukannya, karena ini semua adalah takdir yang akan kubuat.
Jam . Kutatap kembali langit malam itu. Suasana gelap gulita di luar sana, sementara begitu terangnya di dalam sini. Sebuah pemandangan yang sangat kontras, kabut benar-benar telah menutupi semuanya. Kaca jendela yang sudah semakin dingin ini begitu mudahnya mengembunkan napas yang terhembus ke permukaan hingga dengan mudahnya Aku bisa menggambarkan sesuatu dengan jari tanganku. Jalanan aspal yang sudah banyak berlubang dan kelokan-kelokannya yang sangat tajam telah memperlambat gerak bus yang sedang kunaiki ini. Suara batuk-batuk mesin yang sudah tua, disertai dengan derak-derak pegas suspensi yang sudah rapuh dan berkarat ini terdengar begitu jelas di telinga. Sementara di dalam sini? Di dalam sini hanyalah terdiri dari sekumpulan orang yang berpikir sesuai dengan pikiran mereka masing-masing. Mengenai tujuan pibadi mereka, apakah mereka akan sampai ke tujuan dengan selamat?
Sepi! Tidak ada suara-suara keras yang sangat mengganggu. Yang ada hanyalah bisikan-bisikan kecil para penumpang, yang setiap lima menit sekali akan selalu diselingi dengan bunyi-bunyian cewek muntah yang terdengar sangat seksi. Owhhh… benar-benar sebuah keadaan yang sangat mendukung bagiku untuk ikut-ikutan muntah juga.
Aneh! Aku jadi ingat mengenai orangtuaku. Sejak dulu, setiap kali Aku hendak memint hal-hal sederhana seperti menu makanan baru, mereka pasti hanya akan menjawabnya sesuai dengan harapan mereka saja. “Besok, Fik, kalau kamu sudah kerja, kamu pasti bisa beli makanan yang enak-enak.” Perkataan-perkataan seperti itu terkadang membuatku begitu bersedih sebagai seorang anak. Terkadang Aku ingin menangis! Sepertinya mereka memang sangat berharap agar Aku bisa segera bekerja. Keadaan ekonomi orangtuaku yang terbilang pas-pasan itu ternyata memang telah berhasil menarik kebiasaan pemalasku ini menuju ke dalam dunia baru yang dipenuhi dengan tai kucing dan mawar berduri. Meskipun mengubah kebiasaan itu sulit, tetapi walau bagaimanapun juga Aku harus mampu berubah menjadi seseorang yang lebih responsif. Yah… Aku hanya tidak ingin dianggap sebagai seorang anak yang tidak tahu diri terhadap orangtua.
“Belum ngantuk, Fik?” akhirnya kakak iparku mengeluarkan suaranya.
“Ah? … Belum.” Kupalingkan wajahku ke luar jendela.
***
Jam . Aku terbangun dari tidurku. Kusadari, Aku sedang berada di sebuah SPBU. Mesin busnya masih berbunyi. Dari luar, lampu-lampu kecil berwarna merah yang membentuk mosaik huruf di tembok itu menunjukkan bahwa Aku sudah sampai di Cibitung. Langitnya gelap, kali ini bulan benar-benar telah tertutup awan sepenuhnya. Dia telah menghianatiku.
Sesaat kemudian busnya berjalan lagi. Maju, maju dan maju terus pantang mundur. Naik, naik dan naik terus ke atas seperti bison terbang di malam hari yang gelap gulita. Pada jam . Awalnya semuanya terlihat dipenuhi oleh bangunan-bangunan kecil yang sudah mulai gelap, hingga beberapa saat setelah itu terasa mulai beda. Sampai pada pepohonan kurus yang terakhir… kulihat dengan mata kepalaku sendiri, langit malam tanpa bintang, namun semakin ke bawah samar-samar terlihat hamparan samudera berlian yang sangat luas! Lampu-lampu perkotaan? Benarkah Aku sudah hampir sampai? Oh… sayang sekali, sekarang Aku sudah tidak mungkin bisa pulang. Dan dengan terlihatnya hamparan perkotaan di malam ini, sudah menunjukkan bahwa Aku sudah berada di wilayah takdirku yang lainnya lagi.
Dunia ini memang kejam. Setiap kali seseorang sedang berusaha untuk mendekati sebuah tujuan hidup, maka semakin jauh pula jarak antara diri mereka dengan tujuan-tujuan hidup mereka yang lainnya. Sama halnya seperti keadaanku sekarang ini. Semakin dekat jarak antara diriku dengan takdir-takdirku di Bekasi, rasanya semakin jauh pula jarak antara diriku dengan cita-citaku.
Huh… Aku harap ini cuma sementara. Selamat tinggal cita-cita, sampai jumpa lagi…
17 – 18 Juni 2010
coba di cek lagi... begiulah. paling penting adalah jalani hidup seperti air... mengalir apa adanya tanpa paksaan
BalasHapusSudah aku baca postingnya Sobat..
BalasHapusAku juga pernah punya pengalaman seperti itu,.
Kunjungan malam ini tuk cari pertemanan.
Sukses selalu