Obrolan Penghuni Dapur
Seorang anak dan ibunya dalam dapur. Berdiri di bawah pintu, seorang anak lelaki yang sejak tadi masih tetap menundukkan kepalanya sambil sedikit sempoyongan. Ada satu hal yang mengganggu pikirannya.
“Bu, kok bapa nggak nyervis-nyervis lagi, ya?” tanya sang anak yang sejak tadi merasa sedikit khawatir. Sejak lebaran yang lalu, entah kenapa ayahnya masih belum juga melanjutkan aktivitasnya sebagai seorang dokter elektronik.
“Kamu juga, sih. Kalo kamu yang ngomong sama bapa pasti mau. Sudah sejak kemarin, ibu coba ngomong sama bapa. Ehhh… ternyata, tetep saja nggak digubris”, kata sang ibu yang sedang sibuk-sibuknya membuat bumbu kacang. Siang itu adalah hari Jum’at.
Hingga kemudian sang ayahpun datang, beberapa menit setelah tadi anaknya pulang dari masjid. “Nah… Pak! Itu lho anakmu sejak kemarin pengen belajar elektronik kok nggak jadi-jadi, gimana?”
Mendengar pertanyaan sang istri yang membabi buta dan langsung pada pokok permasalahannya itu, sang suami yang masih mengenakan sarung dan peci itupun menjawab dengan tidak kalah membabibutanya.
“Blaaa… blaaa… blaaa… blaaa…”, entah apalah yang dikatakan bapa waktu itu. Kalimatnya terlalu panjang dan sangat abstrak. Tapi meskipun begitu, sebagai seorang anak, Aku lumayan bisa tahu arti tiap-tiap kata yang muncrat dari sela-sela kumisnya itu. Sepertinya ayahku kurang setuju jika Aku belajar elektronika. Dia bilang, barang-barang elektronik yang biasa bermasalah dalam proses perbaikannya terkadang bisa membuat emosi dan stres sendiri. Dia khawatir kalau Aku jadi orang stres!
“Harus selalu mempertimbangkan banyak hal dan mengorbankan banyak hal pula”, begitulah kira-kira kesimpulan dari semua perkataannya.
“pBapa ini gimana, sih? Yang namanya kerja di mana-mana ya memang bikin stres. Masih mending kalo stres gara-gara radio. Masih bisa dibanting! Lah, kalo sama orang?” kata ibuku sedikit emosi. Ibuku yang berprofesi sebagai guru Taman Kanak-Kanak sepertinya kurang setuju dengan pernyataan suaminya. Sepertinya dia agak tersinggung. Yah… namanya juga pergaulan antarsesama guru. Masih suka gunjing-sana-gunjing-sini. Apalagi kalo ibu-ibu. Wah!
Dan seterusnya dan seterusnya. Percakapan merekapun kini berubah menjadi perdebatan dahsyat yang menurutku masih kurang pantas jika disebut sebagai konflik rumah tangga. Hingga beberapa menit kemudian, perdebatan merekapun berakhir dan merekapun tertawa lagi. Seperti pengantin baru.
Dasar.
Ngomong-ngomong, yang sebenarnya mempunyai masalah di sini itu siapa, sih?
Nasib…, nasib. Setelah gagal menjadi pegawai industri, sekarang malah gagal juga masuk dunia elektronika. Sebenarnya masa depanku itu seperti apa, ya?
17 September 2010
salam sahabat
BalasHapusehm baca judulnya membuat saya kaget ternyata isinya sangan bermanfaat yach,hihihi unuik banget good luck
masa depan ditentukan oleh diri sendiri, sedabgka orangtua hanyalah sebagai motor penggerak yang mensupport anak2nya bisa sukses kelak.
BalasHapusjalani apa yang menurut kamu senangi .
BalasHapushave a nice life
seruu..keluarga yg "hangat" hrs bersyukur sob bs berada di kehangatan keluarga spt itu,ttg masa depan spt apa ?wah sy jg ada temenya rupanya..hihi
BalasHapussetuju sama fany... jalani apa yang kita senangi dan menjadi hobi kita... tapi tentunya yang positif!!
BalasHapusehm baca judulnya membuat saya kaget ternyata isinya sangan bermanfaat yach...
BalasHapushehe manttaapppp sobb..bapaknye jadi Dokter AC juga aja lahh hheheh
BalasHapus