Loading…

Bakat Saja Tidak Cukup

Tanggal 16 Oktober yang lalu Aku melanjutkan perjuanganku untuk mendapatkan pekerjaan. Kali ini lowongannya adalah Administrator Komputer. Semua kebutuhan seperti foto, ijazah, transkrip, dan lain-lain sudah kusertakan dalam surat lamaran. Aku menunggu sampai kurang lebih 23 hari tanpa keinginan untuk mencari lowongan lain. Aku hanya sedikit-sedikit mempelajari kembali teori komputerku yang sudah mulai hilang dari ingatan. Aku rasa semuanya memang sudah mentok sampai di sini. Aku sudah tidak tahu lagi harus mendaftar ke mana lagi. Semuanya terasa sulit bagiku. Sulit, karena Aku hanya memiliki kertas-kertas bukti yang terbatas.

Lavender Flower

Orang-orang memang tidak akan pernah percaya dengan kemampuan pribadi yang sebenarnya lebih jelas dibandingkan sekedar lembaran kertas bukti bakat seperti sertifikat. Mereka tidak akan pernah mempercayai bakat seseorang tanpa adanya kertas di belakangnya.
Itu yang sebenarnya paling membuatku muak dengan hidupku ini. Aku tidak bekerja, namun Aku juga tidak melanjutkan kuliah. Yang bisa kulakukan hanyalah mempelajari sesuatu. Apa saja. Tanpa bantuan fasilitas dan biaya. Aku hanya belajar sendiri, dengan kemampuanku sendiri dan dengan kelebihanku sendiri. Namun betapapun ahlinya diriku dalam bidang-bidang seperti ilustrasi, menulis dan komputer tidak akan pernah membawaku kepada kesuksesan. Karena apa yang Aku lakukan selama ini memang tidak akan pernah menghasilkan kertas.

Mereka tidak akan pernah mempercayai kemampuanku. Mereka hanya akan menganggapku sebagai seorang anak kecil yang bodoh, dengan orangtua yang aneh dan teman-teman yang tidak bisa kudekati.
Memangnya ada apa dengan kertas? Yang kutahu, para mahasiswa hanya menjalankan kuliah, belajar, lalu mendapatkan selembar kertas bukti saja. Tapi kita sendiri bahkan tidak pernah tahu apa yang ada dalam diri mereka. Apakah mereka belajar untuk bakat mereka, atau untuk nilai mereka?

Sekadar informasi pengalaman riset pribadiku saja, bahwa yang namanya nilai baik pasti akan didapatkan! Karena semua murid, baik siswa maupun mahasiswa memang akan selalu mengalami momentum yang akan memaksa mereka untuk belajar, yaitu ujian. Bukankah yang para guru nilai selama ini hanya tes akhirnya saja? Namun fatalnya mereka tidak pernah menghargai proses. Proses bagaimana seorang anak berjuang untuk menjadi lebih baik dan lebih berarti dari sebelumnya. Yang para guru dan masyarakat utamakan selama ini hanya “Peringkat Satu”! Mereka tidak pernah memperhatikan perkembangan orang-orang bernilai buruk.

Selama ini Aku memang tidak pernah suka dengan peringkat satu. Peringkat satu itu tidak berkembang. Sungguh, Aku lebih tertarik kepada anak-anak yang tadinya mendapat peringkat sebelas, kemudian menjadi peringkat sepuluh, sembilan, delapan, dan seterusnya. Itu namanya perkembangan. Dan kenaikan-kenaikan yang signifikan seperti itu bagiku jauh lebih baik dibandingkan dengan seorang anak yang selalu mendapat peringkat satu. Karena mereka bisa melampaui diri mereka!

Seseorang yang selalu mendapat peringkat satu artinya sudah mentok kemampuannya. Mereka tidak akan mampu lebih tinggi lagi. Dan jika mereka ingin melampaui diri mereka, idealnya, mereka harus mengalami masa-masa turun ke bawah dulu karena bosan (dan untuk mencoba gaya baru), karena mereka adalah manusia normal yang harus mengalami pasang surut, bukannya seperti robot atau komputer. Dan jika mereka berhasil naik lagi, maka kemampuan merekapun bertambah, meskipun pada akhirnya mereka akan berhenti pada peringkat satu juga.

Ketidakstabilan dalam prestasi itu sebenarnya tidak selamanya buruk. Bagiku, itu justru membuktikan ketidakpedulian seorang anak akan peringkat dan sanjungan. Mereka bisa mendapatkan nilai baik semau mereka, dan mereka bisa mendapatkan nilai buruk tanpa menyesal. Mereka belajar sesuai dengan kebutuhan mereka, dan mengabaikan apa yang tidak mereka sukai. Itu namanya berpikir efisien. Dan karena itulah mereka bahagia.
Tapi sayangnya, cara-cara berpikir seperti itu terkadang membuat orang menjadi tampak bodoh dan pemalas. Namun cobalah perhatikan film-film dengan tema kecerdasan sekelas Science Fiction. Bukankah tokoh-tokoh dengan otak cemerlang dan kemampuan pemecahan masalah yang luar biasa justru digambarkan sebagai orang-orang yang tampak bodoh, pemalas dan pembuat gaduh?

Ya, itu semua hanya teoriku saja (dan ekspresi kekesalanku selama ini), berhubung kabarnya Aku mempunyai kesempatan kecil untuk bisa diterima menjadi seorang Administrator Komputer, karena lawan perangku kali ini adalah seorang sarjana.

10 November 2010

2 Komentar:

  1. salam sahabat
    ehm memang bener kalau cuma bakat saja tanpa direalisasikan dengan beberapa tindakan dan sebuah dukungan pasti susah dari sini saya mengerti betapa pentingnya bakat saja tidak cukup.makasih yach

    BalasHapus
  2. Setuju..
    Tapi tidak lantas keterbatasan menjadikan kita pesimis kan? Tetap semangat, karena Tuhan akan 'memeluk' ikhtiar kita..
    Salam kenal, terima kasih sudah mampir ke blog saya (dulu), maaf saya baru sempat berkunjung..

    BalasHapus
Top